Make it Mine

18.08.00

Acha mengibaskan rambutnya yang masih sedikit menyisakan butiran gerimis. Dengan lega, dia menghempaskan tubuh di bangku café itu, tersenyum menikmati rasa hangat yang menyelimutinya. Acha lalu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku tulis berukuran besar dan kotak pensil. Sekilas, dia melemparkan pandangan ke luar jendela. Rintik gerimis yang menghiasi jendela café itu membiaskan cahaya lembut. Acha tersenyum. Dia selalu menyukai hujan, hujan yang selalu membawa inspirasi akan aliran kata.

Acha membuka bukunya, mencari lembaran terakhir yang telah dia tulisi. Tanpa sadar dia menggigit ujung pulpen di tangannya saat dengan serius membaca kalimat-kalimat terakhir dari tulisan tangannya.

Bunyi halus tatakan cangkir yang diletakkan di atas meja mengejutkan Acha. Dia mengangkat wajah, dan mendapati salah seorang pelayan di café itu tengah tersenyum di depannya.

“Large cappuccino, extra chocolate sprinkles…” kata waiter itu dengan senyuman ramahnya.

“Eh…”, Acha sedikit menggelengkan kepalanya, agak kebingungan. “Tapi… kayaknya saya belum pesen deh…” Acha mengerutkan kening. Begitu masuk tadi dia memang langsung menuju meja kesayangannya di café ini. Dan tadi dia memang belum sempat memanggil pelayan manapun untuk menyampaikan pesanan.

Pelayan tadi mengangkat bahunya dengan santai. “Tiap kali kesini kan kamu pesennya itu…”

Acha kembali terpana. Tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu. Sehingga tanpa berpikir lebih lanjut Acha langsung bertanya.

“Hah? Jadi kamu merhatiin aku?”

Sontak wajah di hadapannya langsung terlihat memerah. Acha tertawa kecil sambil menutupi bibirnya dengan tangan.

“Eh, maaf…” pelayan itu kini sedikit tertunduk.

Acha menggelengkan kepala dan tersenyum manis. Diam-diam dia justru merasa tersanjung. Apalagi sebetulnya, Acha kadang-kadang juga memperhatikan lelaki muda yang menjadi salah satu pelayan di café ini, entah kenapa. Mungkin karena senyumnya yang selalu terlihat ramah. Mungkin karena derai tawanya saat bercanda dengan teman-temannya sesama karyawan di café itu terdengar mengalun seperti alunan musik. Mungkin karena di balik senyumnya itu, dia sering terlihat duduk menyendiri sambil membaca, ketika tidak sedang sibuk melayani pembeli yang datang. Sedari dulu, seorang lelaki yang tengah membaca selalu membuat Acha merasa tertarik.

“Gak papa kok…” sahut Acha. Waiter tadi mengangkat wajah, dan tersenyum kembali. Tiba-tiba saja, kali ini Acha yang merasakan darahnya mengalir lebih kencang. Kenapa senyuman itu terlihat begitu menarik?

Pelayan tadi mengangguk kecil. “Silahkan…”

“Makasih…” sahut Acha.

Si pelayan tadi terlihat ragu sejenak. Lalu senyumnya muncul kembali, tapi kali ini terlihat sedikit gugup.

“Emm… boleh… kenalan gak?” akhirnya sebuah kalimat terlontar dengan sedikit terbata-bata.

Acha mengangkat alis, sedikit geli. Dia yakin, lelaki di depannya ini pasti telah mengumpulkan segenap keberanian untuk mengucapkan kalimat tadi. Lihat saja, wajahnya kembali nampak memerah.

Acha lalu tersenyum, dan mengulurkan tangan. “Acha…”

Rasa lega tersirat jelas dari wajah lelaki itu. Dia menjabat tangan Acha yang terulur ke arahnya, “Ozy.”

Semenjak hari itu, secangkir cappuccino tidak lagi menjadi satu-satunya alasan bagi Acha untuk berkunjung ke café itu.

***

“Nih…” Ozy meletakkan sebuah piring dengan sepotong cake coklat di atasnya di depan Acha. Sebuah strawberry segar yang menghiasi cake itu nampak menggiurkan.

“Eh, bonus apa gimana nih?” Acha mengalihkan pandangan dari buku tulisnya.

Ozy meletakkan secangkir latte di meja untuk dirinya sendiri, lalu membanting tubuh di kursi di depan Acha. Baki yang dia gunakan untuk mengangkat barang-barang tadi diletakkannya asal saja di tepi meja itu. Sebuah buku tebal yang tadi dikepitnya diletakkannya di atas meja itu juga. Ozy lalu menatap Acha sambil sedikit memiringkan kepala ke kanan.

“Nggak, itu jatahku hari ini…” jawab Ozy.

“Wah, kau baik sekaliiiii…” kata Acha, terkekeh kecil. Dia meletakkan pulpen di genggamannya, menepikan buku tulisnya, dan langsung meraih sendok kecil di piring itu.

Melihat kelakuan Acha, Ozy ikut tertawa. Baginya, Acha selalu menjadi alasan untuk merasa lebih bahagia, merasa lebih nyaman. Meskipun mungkin Acha tidak pernah menyadari hal itu. Seperti dia tidak pernah menyadari betapa Ozy sudah memperhatikan Acha semenjak kali pertama kedatangan Acha di café ini, empat bulan yang lalu.

“Proyekmu udah nyampe mana sih?” tanya Ozy, sementara Acha masih asyik dengan cake coklat itu. Cappuccino yang tadi dibawakan Ozy waktu Acha baru saja sampai di café itu masih tersisa sepertiganya.

Acha menatap Ozy dengan mata bulatnya, lalu mendesah. “Gak tau deh…”

“Lho, kenapa?”

“Akunya gak pede…”

“Iya… sampe sekarang aja aku aja masih gak boleh baca, dengan alasan itu juga…” Ozy melirik ke arah buku tulis di tepi meja. Acha mengikuti arah lirikan Ozy, dan dengan cepat meraih buku itu lalu mendekapnya di dada.

“Gak mauuuu… Kan aku maluuu…” seru Acha sambil menggeleng kuat-kuat.

“Pelit.”

“Pokoknya enggak. Kecuali nanti, kalo udah selesai.”

“Sekarang aja yuuuk… yah Cha ya.. Nanti aku kasih cake coklat lagi deh…”

Acha hanya menjulurkan lidah ke arah Ozy. “Nggaaaakkk… Ntar aja deh kalo udah bener-bener selesai.”

“Selesainya kapan?”

“Ni udah mau masuk endingnya kok”

“Trus kok kamu cerita kalo Nova suka sih? Artinya dia boleh baca dong?”

“Aaahh… Nova kan emang temen sebangkuku sejak kelas 10 dulu. Kalo dia sih gak papa.”

Ozy mengerucutkan bibirnya, berlagak merajuk. Tapi melihat bening bola mata Acha, Ozy tidak bisa menahan diri untuk melepas derai tawa.

“Eh, tapi beneran ya, ntar kalo sudah selesai aku baca yaaa…”

Ada jeda waktu dua detik sebelum Acha mengangguk. Ozy tersenyum melihatnya.

“Masih sepi ya?” tanya Acha, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Ozy mengangkat bahu dan menyandarkan punggungnya di bangku itu. “Biasanya memang jam segini masih sepi kok. Yang dateng ya segini-segini aja…” sahut Ozy sambil meraih buku yang tadi dibawanya, dan mulai membukanya. Sedetik kemudian, dia sudah larut dengan deretan kalimat dalam novel itu.

Di hadapannya, Acha menebarkan pandangan ke sekeliling café itu. Benar kata Ozy tadi, tidak banyak pengunjung yang datang saat itu. Hanya ada 2 meja lain yang terisi selain meja yang ditempati Acha dan Ozy. Seorang pelayan lain, yang kata Ozy bernama Gabriel, nampak tengah berbincang dengan dua orang pegawai lainnya. Bagi Acha, café itu selalu terasa nyaman. Dinding dengan tekstur batu bata merah, dengan beberapa lukisan yang didominasi warna jingga yang menghiasinya terlihat ramah. Lantai kayunya khas, lapisan pelitur yang berkilau memantulkan lampu penerangan yang terasa hangat. Selalu ada alunan halus musik yang terdengar menemani para pengunjung café. Semenjak pertama kali menemukan café ini empat bulan yang lalu, Acha selalu menghabiskan sorenya disini. Awalnya dia sudah cukup merasa senang menghabiskan waktu barang sejam di café itu bersama secangkir cappuccino yang menemaninya menulis. Tapi dua bulan lalu, semenjak perkenalannya dengan Ozy, waktu berkunjung Acha di café itu menjadi dua kali lebih lama. Karena kehadiran Ozy semakin menambah rasa nyamannya di café ini.

Bahkan mungkin Ozy sudah menjadi alasan utama bagi Acha untuk setia mengunjungi café ini. Karena entah untuk alasan apa, akhir-akhir ini Acha merasa sedikit tidak suka jika melihat Ozy tersenyum ramah saat melayani pengunjung lain. Acha lalu diam-diam melirik ke arah Ozy yang masih asyik dengan novel di hadapannya. Sebagian rambut Ozy nampak jatuh di keningnya, sedikit menghalangi sepasang alisnya dari pandangan. Karena dia masih menunduk menekuni buku di hadapannya, hanya sebagian dari wajahnya yang terlihat oleh Acha. Tapi Acha hafal lekuk wajah itu. Termasuk sepasang mata dengan sorot mata yang cerdas.

Entah merasa bahwa dirinya tengah dipandangi, tiba-tiba saja Ozy mengangkat wajah. Dia menatap Acha dengan pandangan bertanya, alisnya sedikit terangkat.

“Kenapa?”

“Ha?” Acha tidak siap ditanya seperti itu. Terlebih lagi, dia tidak siap menerima tatapan dari sepasang bola mata yang terasa langsung menghujam jantungnya.

“Kok ngeliatin? Baru nyadar kalo aku mirip Afgan?” kata Ozy, memperjelas pertanyaannya. Ekspresi wajahnya masih menunjukkan keseriusan, meskipun ada kilatan jahil di matanya

Dengan gemas Acha mengacung-acungkan garpu kecil yang tadi digunakannya untuk menyantap cake coklat.

“Kamu Zy… adalah orang dengan tingkat kepercayaan diri paling berlebihan yang pernah aku kenal!”

Ozy mendesah sambil menengadah. “Kamu dari dulu selalu begitu…Selalu sulit mengakui suatu kenyataan.”

Acha tidak menanggapi kata-kata Ozy tadi, perhatiannya teralih pada buku yang ada di tangan Ozy.

“Baca apa Zy?”

Ozy menurunkan wajah, dan dengan berseri-seri mengacungkan buku itu ke depan Acha, memperlihatkan sampul yang bertuliskan judul buku itu.

“Oksimoron! Novel terbarunya Isman nih! Suka banget!”

Acha mengangkat alis. “Isman itu, yang suaminya Primadonna Angela ya? Kalo Primadonna Angela-nya sih aku suka…” komentar Acha, sambil mengingat sejumlah novel karya penulis yang disebutkannya tadi.

Acha lalu menyandarkan punggung dengan pandangan sedikit menerawang. Dia menghela nafas panjang sambil mendekap kembali buku tulisnya. “Kapan ya aku bisa bikin novel sendiri sebagus Mbak Donna itu…”

Mendengar kata-kata Acha tadi, Ozy tersenyum. Meletakkan buku yang dibacanya tadi, dan melipat kedua tangan di atas meja.

“Pasti bisa Cha, suatu saat nanti. Suatu saat nanti, aku akan menghadiri peluncuran novel pertamamu untuk meminta tanda tanganmu di novelmu yang aku beli…”

Acha memandang Ozy yang tengah menatapnya, lalu tersenyum. Kata-kata Ozy selalu membuatnya merasa bersemangat kembali. Bahkan sepertinya, akhir-akhir ini Ozy sudah menjadi motivator utama bagi Acha untuk betul-betul menekuni kecintaan Acha pada dunia tulis-menulis.

“Doakan aja ya Zy….”

Ozy mengangguk. “One day, you’ll make your dreams come true. I’m sure. Selama kamu memang tidak hanya akan membiarkan itu sekedar menjadi mimpi. Maka cita-cita itu akan menjadi kenyataan yang kau miliki sepenuhnya untukmu…” kata Ozy dengan ekspresi sungguh-sungguh.

Acha menunduk, merenungkan kata-kata Ozy tadi. Tanpa sadar dia mengetuk-ngetukkan tepi buku tulis dalam dekapannya di dagu.

“One day, the dream that turns out to be reality will be yours…” kata Ozy lagi.

Acha mengangkat wajah, dan menemukan dukungan yang penuh ketulusan terpancar dari mata Ozy yang tengah menatapnya dengan teduh.

“Makasih Zy…”

Ozy kembali mengangguk. “If you keep on trying to make it yours, then it will be yours, someday…” Ozy mengulangi kembali kata-katanya.

“Seperti kata Jason Mraz…” tambah Ozy tiba-tiba. Membuat Acha mengangkat alis dengan heran.

“Ha? Kok tiba-tiba pake acara bawa-bawa Jason Mraz segala sih?”

Bukannya menjawab pertanyaan Acha, Ozy malah tersenyum. Lalu dia mulai bersenandung perlahan.

Wake up everyone

How can you sleep at a time like this

Unless the dreamer is the real you

Listen to your voice

The one that tells you to taste past the tip of your tongue

Lip and the net will appear

I don't wanna wake before the dream is over

I'm gonna make it mine

Yes i... I know it

I'm gonna make it mine

Yes I'll make it all mine

Mendengar nyanyian Ozy tadi, Acha tersenyum. Semakin menguatkan keyakinan dalam hati, bahwa kelak dia bisa memiliki mimpinya suatu saat nanti, mimpi yang menjadi suatu kenyataan.

Di depannya, Ozy masih terus menyanyi. Kali ini sambil mengetuk-ngetukkan kedua telunjuknya di atas meja, menciptakan irama yang mengiringi nyanyiannya.

I keep my life on a heavy rotation

Requesting that it's lifting you up

Up up and away

And over to a table at the gratitude cafe

Dengan dagu tertumpu pada tangan kanannya, Acha menikmati lantunan suara Ozy yang begitu khas.

And I am finally there

And all the angels they'll be singing

Ah la la la, ah la la la I la la la la love you

Acha mengangkat alis.

“Lho? Gak salah lirik?” cetus Acha refleks. Ingatannya akan lagu itu sepertinya sedikit berbeda dengan yang baru saja dinyanyikan Ozy tadi.

Ozy menghentikan nyanyiannya. “Salah yang bagian mananya?”

“Bukannya harusnya ‘I love this’? Bukan ‘I love you’ deh kayaknya…”

Ozy tersenyum kecil. “Gak papa deh. Lagian kalo di depan kamu gini nyanyinya, lebih enak kalo liriknya kayak yang aku nyanyiin tadi deh…”

Mendengar kata-kata Ozy tadi, Acha sontak merasa jantungnya berdegup dengan laju tak seperti biasanya. Acha menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang membara seiring dengan perasaan berbunga-bunga yang muncul begitu mendengar kata-kata Ozy tadi.

Mungkinkah Ozy serius dengan kata-katanya tadi?

Seakan tidak peduli dengan pengaruh kata-katanya tadi terhadap Acha, di depannya Ozy malah dengan santai melanjutkan nyanyiannya.

Acha mengangkat wajah, dan tanpa sadar tersenyum sendiri. Ozy memang seperti punya kekuatan magis, yang membuat orang lain ingin ikut tersenyum hanya dengan melihat senyuman di wajahnya.

Secangkir cappuccino, rintikan gerimis di luar sana, dan Ozy yang tengah menyanyi di depannya. Acha tahu, dia sedang menikmati salah satu sore paling indah dalam hidupnya.

***

Acha mengetuk-ngetukkan telunjuk di atas buku tebal yang ada di hadapannya. Dari sudut mata, dia melirik ke salah satu meja yang posisinya tidak jauh dari meja yang ditempatinya. Ozy sedang duduk berhadap-hadapan dengan seorang gadis yang masih mengenakan seragam SMA. Ozy nampak dengan sabar menjelaskan sesuatu pada gadis itu, yang sepertinya adalah salah satu murid privat Ozy.

Semenjak lulus SMA tahun lalu, Ozy memang tidak langsung melanjutkan ke bangku kuliah. Dia pernah bercerita pada Acha bahwa dia merasa tidak tega jika harus membebani Ibunya yang hanya membuka usaha dagang kecil-kecilan semenjak ayah Ozy meninggal dua tahun yang lalu. Sejak kelas 3 SMA Ozy sudah berusaha mencari uang tambahan untuknya dan adik satu-satunya, Keke, yang sekarang baru kelas 1 SMA. Kata Ozy, dia ingin menabung dulu untuk bisa membiayai kuliahnya sendiri nanti. Oleh karena itulah dia bekerja di café ini sepanjang hari, kemudian dilanjutkan dengan memberi les privat dari sore hingga malam hari. Diam-diam, kekaguman Acha pada sosok Ozy semakin bertambah melihat kemandirian Ozy.

Akhirnya, gadis itu membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan perasaan lega, Acha memperhatikan gadis tadi berdiri, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum melangkah keluar, gadis tadi sempat melambai ke arah Ozy, yang dibalas Ozy dengan anggukan kecil.

Ozy berbalik, lalu melangkah ringan menuju meja yang ditempati Acha. Dia duduk dengan santai di kursi di depan Acha.

“Siapa? Murid privat kamu ya? Kok dateng kesini sih? Rajin amat?”

Ozy mengangguk. “Mestinya sih dia privat sama aku Kamis sama Jum’at malam. Tapi tadi dia bilang besok dia ulangan harian Kimia. Jadi aja minta diajarin lagi sebentar. Untung café masih sepi, jadi masih bisa…”

“Alesan doang kali…” cetus Acha begitu saja.

Ozy mengangkat alis dengan heran. Kata-kata Acha tadi terasa janggal, apalagi nada Acha yang terdengar sedikit menyindir.

“Maksudmu?”

Acha menggeleng. Tiba-tiba merasa malu sendiri dengan kata-katanya tadi.

“Eh, mana?” tanya Ozy. Pandangannya lalu jatuh pada buku tebal yang ada di depan Acha. “Itu ya? Udah selesai diketik? Akhirnya kamu print?” tanyanya lagi sambil menunjuk buku itu.

Acha meraih buku itu, mendekapnya di dada sambil mengangguk pelan. Entah kenapa, sebersit keraguan muncul kembali di hatinya.

Di depannya, dengan senyuman lebar Ozy menadahkan tangannya. “Hayolo! Gak boleh ingkar janji!”

Acha mengerucutkan bibir, tapi menyerahkan print out tulisannya yang sudah dijilid rapi pada Ozy.

“Tapi janji jangan diketawain yaaa…” pinta Acha sedikit memohon.

Ozy menimang-nimang jilidan itu di tangannya. “Kritik dan saran boleh dong?”

Acha mengangguk cepat. “Ya bolehlah. Malah seneng kok…”

“Sip! Gitu dong…” Ozy terkekeh, lalu mulai membuka-buka ‘buku’ itu.

Acha melirik jam tangan, meraih tas dan menyelempangkannya di bahunya.

“Aku pulang dulu Zy…” Acha berdiri. Ozy mengangkat wajah, sedikit keheranan.

“Kok udah mau pulang aja sih Cha?”

“Ye… udah sore kaliii… Siapa suruh tadi asyik sendiri sama cewek yang tadi…” sahut Acha.

“Halah. Kalo jeles mah langsung bilang aja kenapa?” Ozy tertawa kecil.

Dengan sedikit gemas Acha meraih tisu kertas yang ada di atas meja, meremasnya menjadi sebuah gumpalan dan melemparkannya ke arah Ozy.

“Jeles apaan! Ngapain orang kepedean kayak kamu dicemburuin segala…” seru Acha. Meskipun dalam hati dia sendiri merasa ragu. Dia tadi memang merasa sedikit kesal melihat gadis tadi. Tapi tidak mungkin itu rasa cemburu kan?

“Ya udah sanaaa… Pulang gih… pulang…” Ozy mengibas-ngibaskan tangannya. “Lagian juga aku mau baca naskah dari calon novelis best seller ini nih…” kata Ozy dengan nada menggoda, mengacungkan print out yang tadi diberikan Acha padanya.

Acha tertawa kecil, lalu melangkah menuju pintu keluar. Dari tempat duduknya, Ozy menatap setiap gerak-gerik Acha. Sambil tersenyum, Ozy membalas lambaian Acha padanya sebelum gadis itu keluar dari café.

Ozy berdiri, mengepit buku tebal yang tadi diberikan Acha padanya. Dia lalu mengangkat cangkir bekas Acha tadi. Belum sempat dia berbalik, terdengar suara Gabriel memanggilnya.

“Zy! Ada yang nyari nih!”

Sambil mengerutkan kening, Ozy memutar tubuhnya. Dia memicingkan mata untuk melihat lebih jelas sosok yang berdiri di sebelah Gabriel di depan pantry. Sedetik kemudian, dia mengenali pria tersebut dan tersenyum lebar.

“Pak Duta? Apa kabar Pak…” dengan cepat Ozy melangkah mendekati pemilik café itu yang tersenyum ramah ke arah Ozy. Ozy lalu meletakkan buku dan cangkir yang tadi dibawanya di meja pantry, lalu menyalami Pak Duta.

Pak Duta balas menjabat tangan Ozy dengan hangat. “Baik Zy. Kamu gimana?”

“Alhamdulillah Pak…”

“Saya ada perlu dengan kamu. Bisa ngomong sebentar? Di dalam aja ya…”. Pak Duta lalu melangkah mendahului Ozy untuk masuk ke dalam ruangan kecil yang biasa digunakan untuk urusan-urusan administrasi café itu. Sementara Ozy mengerutkan alis. Berusaha menduga-duga urusan apa yang dimaksud oleh Pak Duta.

“Udah gih sana… Cepetan. Pak Duta nungguin lho…” tegur Gabriel sambil tersenyum, membesarkan hati Ozy. Ozy mengangkat bahu, lalu menyusul Pak Duta masuk ke dalam ruangan tersebut.

***

Dengan gugup Acha memandangi Ozy yang tengah melangkah mendekati mejanya. Sudah lewat seminggu semenjak dia menyerahkan print out hasil tulisannya pada Ozy. Entah kenapa, dia penasaran setengah mati ingin mendengar komentar Ozy tentang tulisannya itu. Dia benar-benar berharap Ozy menyukainya.

“Jadi, gimana? Udah dibaca?” tanya Acha begitu Ozy duduk dan meletakkan naskah milik Acha di atas meja.

Ozy tertawa kecil. “Udah dong…”

Acha menggigit bibir. Berusaha meredam kegugupan di dadanya. ‘Gimana? Bagus nggak? Jelek ya?”

Ozy menggeleng. “Nggak jelek kok. Bagus malah. Aku suka…”

Acha mendesah lega. Tapi sepertinya Ozy belum selesai dengan komentarnya. Dia malah membuka-buka naskah tersebut dan menyambung ucapannya.

“Aku suka ide ceritanya. Pilihan kata-katanya juga bagus. Tapi ada beberapa yang kayaknya bisa lebih diperbaiki lagi nih…”

Nafas Acha serasa terhenti sesaat. Apa? Jadi maksud Ozy, naskah dia masih ada kekurangannya? Terus kenapa dia tadi berkata kalau naskah itu bagus?

“Tokoh utamanya sepertinya kadang-kadang hilang gitu.. mungkin karena karakternya belum terbentuk dengan kuat ya…” lanjut Ozy lagi dengan tatapan masih tertuju pada naskah itu.

Apa? Karakter?

‘Terus kok aku ngerasa alurnya pas di tengah jadi agak ngambang… soalnya…” di depannya Ozy terus berbicara sambil membuka-buka naskah itu. Seakan tidak sadar dengan perubahan ekspresi Acha.

Acha merasa setengah tidak sadar. Kata-kata Ozy seperti timbul tenggelam dari pendengarannya.

“Nah, terus di bab yang kedua belas ini, ada sedikit yang aku gak ngerti… Ada bagian yang menurut aku kurang logis, liat aja, pas awal kan disebut-sebut kalau…”

Hah? Tidak logis? Naskah yang ditulis Acha sepenuh hatinya itu ternyata tidak logis?

Acha merasa kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan. Sebuah gumpalan terasa menyumbat dadanya, merayap naik ke tenggorokannya.

“Eh, tapi aku paling suka pas bagian yang ini nih.. yang waktu…” Ozy mengangkat wajah dan terdiam melihat ekspresi wajah Acha yang menatapnya dengan pandangan kosong.

“Cha?”

Acha menggelengkan kepalanya dengan cepat, seakan berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

“Acha?” panggil Ozy sekali lagi.

Acha tiba-tiba berdiri, dengan kasar dia lalu merebut naskah miliknya dari tangan Ozy. ‘Udah! Kalo gak suka gak usah baca aja!”

Ozy ternganga. “Lho Cha? Nggak kok, aku suka kok.. Beneran! Bagus kok!”

“Bohong! Buktinya tadi kamu bilang karakternya gak muncul lah, alurnya lah, gak logis lah…”

“Cha, maksud aku kan gin..”

“UDAH! Bilang aja kalo jelek!” seru Acha penuh kemarahan. Sekuat tenaga Acha menahan air mata yang sudah siap menitik di ujung matanya. Naskah tadi dipeluiknya erat-erat di dadanya.

“Cha? Cha.. Maaf Cha.. Aku.. ak…’

Tapi sebelum Ozy sempat menyelesaikan kata-katanya, Acha sudah meninggalkan meja itu, dan berlari keluar café. Menyisakan bunyi pintu yang dibanting dengan keras. Meninggalkan Ozy yang masih duduk dengan ekspresi kebingungan.

Ozy memejamkan mata, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Dia menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

“Zy..” tepukan pelan Gabriel di pundak Ozy membuat Ozy menoleh. Di sebelahnya, Gabriel tersenyum penuh pengertian.

“Si Acha tadi marah ya?”

Ozy mengangkat bahu. “Kayaknya sih. Mungkin salah gua juga, mestinya gua gak usah ngomong banyak, gak usah ngasih komentar yang macem-macem…”

“Trus, lo pikir lo seharusnya lo cuma ngomong yang baik-baik saja ke dia? Kalo kayak gitu, yang ada juga dia gak akan bisa maju Zy…”

Ozy mendesah, “Tadinya gua pikir Acha bakal mau nerima saran-saran gua, tapi ternyata dia masih terlalu sensitif buat nerima kritik…”

Gabriel kembali menepuk pundak Ozy, “Ya udahlah Zy, biarin aja dulu. Anak kelas 2 SMA kayak Acha emang suka gitu, masih suka labil, kalo dikasih tau malah nanggepinnya suka emosi…”

“Halah, lo kayak yang ga pernah ngelabil aja…” tukas Ozy. Gabriel hanya tertawa.

Dentingan lonceng yang mengiringi suara pintu café yang membuka menghentikan percakapan mereka berdua. Gabriel melangkah ke belakang counter. Sementara Ozy berdiri dari bangkunya, menyunggingkan sebuah senyum sambil mendekati meja yang ditempati kedua orang pengunjung yang baru datang itu. Meskipun senyum tersebut tidak bisa menghapus berbagai pertanyaan dan penyesalan yang menyelinap di hati Ozy.

***

Di tempat tidurnya, Acha berbaring dengan gelisah. Berkali-kali dia mengubah posis, tapi sepertinya dia tidak kunjung menemukan posisi yang nyaman. Acha berbaring miring. Memandangi meja belajarnya, dimana naskah tulisannya tadi dihempaskannya begitu saja sepulangnya dari café tadi. Kata-kata Ozy tadi terus terngiang di kepalanya, meskipun berkali-kali Acha menutupi kepalanya dengan bantal, berusaha meredam gaungan kata-kata tadi. Tapi tak urung, Acha merasa penasaran. Selama ini baru tiga orang yang pernah membaca naskah tulisannya itu, Ozy adalah orang ketiga. Nova dan Sivia, kedua sahabat Acha yang juga pernah membaca naskah itu berkomentar bahwa cerita Acha benar-benar bagus. Lalu kenapa Ozy sepertinya menemukan cacat cela di naskah yang diam-diam dibanggakan Acha itu?

Acha mendesah, bangkit dari tempat tidur dan duduk dengan kaki tergantung di sisi tempat tidurnya. Akhirnya dia menguatkan hati. Acha berdiri, bangkit dan melangkah menuju meja belajarnya. Dia lalu duduk, dan membuka-buka naskah tadi asal-asalan. Di banyak halaman, dia sering melihat catatan-catatan kecil yang dituliskan dengan pensil di pinggir halaman, sepertinya tulisan tangan Ozy. Acha mengerutkan kening, lalu membaca salah satu catatan tersebut. Isinya komentar Ozy tentang tulisan Acha di halaman tersebut. Tapi tidak hanya komentar, Ozy juga menuliskan beberapa saran tentang bagaimana tulisan di bagian itu bisa diperbaiki. Acha mengangkat alis, merasa semakin tertarik. Dia lalu memeriksa catatan di halaman lain. Sama. Di halaman yang tengah diperiksanya sekarang juga Ozy mencantumkan saran bagaimana suatu paragraf bisa dikembangkan Acha lebih lanjut. Acha mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas meja sambil berpikir. Dia lalu menyambar pensil yang tergeletak di atas mejanya. Dicoretnya beberapa bagian di halaman tersebut, lalu dituliskannya beberapa kata pengganti, sambil bolak-balik melirik catatan Ozy di pinggir halaman tersebut. Setelah selesai, Acha membaca kembali halaman tersebut, dan kembali mengangat alis. Benar saja, paragraf tersebut justru jadi lebih enak dibaca.

Semangat mulai timbul di dada Acha. Dibukanya lagi halaman selanjutnya, dibacanya catatan Ozy disana. Kemudian diulanginya lagi hal yang dilakukannya tadi, merubah beberapa hal disana-sini, seperti yang disarankan Ozy lewat tulisan tangannya. Demikian terus menerus. Hampir setiap Acha membuka halaman naskahnya, dia menemukan kembali catatan kecil dari Ozy, yang membuatnya sadar banyak hal yang bisa diperbaiki dari tulisannya.

“Cha?”

Suara Mama yang memanggilnya daripintu kamar mengejutkan Acha. Acha menoleh.

“Ya Ma?”

‘Kok belum tidur? Udah jam segini lho…” Mama melangkah masuk. Acha mengerutkan kening, mengalihkan perhatiannya pada jam di dinding. Astaga, sudah dua jam lebih dia asyik memperbaiki naskahnya.

“Lagi ngerjain apa sih? Kok kayaknya asyik bener?” Mama melangkah mendekat. Pandangannya jatuh pada naskah yang terbuka lebar di hadapan Acha. Belum sempat Acha menjawab pertanyaan Mama tadi, Mama sudah meluncurkan pertanyaan selanjutnya.

“Ini tulisan tangan siapa? Rapi…” Mama menunjuk catatan kecil di pinggir halaman yang tengah terbuka.

“Temen Acha Ma…” jawab Acha pendek. Dia lalu dengan sedikit malu menutup naskahnya tadi.

“Oh..” Mama lalu memandangi Acha, lalu tiba-tiba tertawa kecil.

“Temen apa calon menantu Mama niiihhh…?” tanya Mama tiba-tiba. Sontak wajah Acha terasa memanas.

“Temen kok Ma… Beneran! Acha… Acha cuma minta tolong dia buat ngasih saran untuk tulisan yang lagi Acha bikin…” Acha menjelaskan dengan sedikit tergagap.

Mama mengangguk kecil. “Baik sekali temenmu itu ya? Mau nyempetin buat bantuin kamu. Apalagi tadi Mama liat sampe dibikinin komentar tertulis gitu. Artinya dia bener-bener niat tuh baca dan ngasih komentarnya…”

Acha hanya mengangguk, tapi tertunduk. Tiba-tiba sekilas penyesalan menyeruak di pikirannya. Benar juga kata Mama. Ozy pasti harus meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membaca tulisan Acha, apalagi sampai menuliskan komentar dan berbagai saran seperti yang dilakukannya. Tapi apa balasannya? Acha merasa bentakannya pada Ozy di café sore tadi terngiang kembali, bergaung menghiasi bayangan wajah terkejut Ozy yang ikut muncul di ingatan Acha.

Tepukan halus Mama di pundak Acha membuat Acha tersadar kembali. “Udah hampir jam setengah dua belas Cha. Tidur dulu… besok kan masih bisa disambung lagi…”

“Iya Ma…” Acha menurut. Mama tersenyum kembali, menepuk lembut pipi putri tunggalnya itu sebelum meninggalkan kamar. Acha mendesah, meregangkan tangan-tangannya ke atas, lalu berdiri. Dengan langkah sedikit diseret, dia menuju tempat tidurnya dan membanting tubuhnya disana. Bahkan saat matanya telah terpejam, rasa bersalah itu muncul kembali. Seakan berteriak-teriak, mengingatkan dirinya bahwa dia harus minta maaf pada Ozy.

***

Sedikit ragu, Acha mendorong pintu café itu dan masuk. Tidak seperti kali terakhir dia mengunjungi tempat itu, Acha tidak langsung melangkah menuju meja yang biasanya selalu dia tempati. Acha mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang biasanya menyambutnya dengan sapaan hangat dan sebuah senyuman.

“Eh, Acha? Kok lama gak dateng sih?”

Acha tersenyum gugup ke arah Gabriel yang menyapanya.

“Hehehe… iya nih. Sibuk. Biasalah, urusan sekolah.” Sahut Acha, sedikit berkelit. Memang sudah lewat dua minggu sejak terakhir kali dia ke café ini. Sejak terakhir kali dia meninggalkan Ozy dengan kata-kata bernada tinggi.

Gabriel meneruskan kesibukannya mengelap gelas di balik counter, sementara Acha melangkah ke arah meja kesayangannya. Pandangannya masih berkelana, mencari sosok yang diam-diam terus menerus muncul di ingatannya.

Gabriel mengangkat wajah, menatap Acha yang telah duduk dan nampak tidak tenang. Gabriel mendesah, meletakkan lap yang ada di tangannya, lalu berjalan mendekati Acha.

“Nyari Ozy ya Cha?” Gabriel duduk di kursi di depan Acha.

“Hah? Eh. Em.. gak juga sih. Engg… Tumben aja gak ngeliat dia. Biasanya kan dia kerja jam segini. Apa ganti shift?” Acha setengahmati berusah meredakan kegugupannya saat menjawab pertanyaan tadi. Di depannya, Gabriel hanya mengangkat alis, lalu kembali mendesah.

“Ozy gak ganti shift Cha. Dia… ganti tempat kerja…”

Oh. Cuma ganti tempat kerja toh.

Hah? Ganti tempat kerja?

“Apa?”

Gabriel terdiam sesaat sebelum menjawab. “Jadi gini Cha, Pak Duta, yang punya café ini, baru joinan sama temennya untuk buka café juga…di… Jogja…”

Acha membelalakkan mata. Jogja? Entah kenapa, kota yang biasanya terdengar familiar itu jadi terasa begitu jauh.

“Nah, Pak Duta kan gak bisa ngawasin langsung café di Jogja sana, tapi selama ini, Pak Duta merasa Ozy itu..orangnya tekun dan bisa dipercaya…”

Tidak.. tidak… Acha sudah bisa menebak arah kalimat Gabriel selanjutnya. Tapi sungguh, Acha tidak ingin mendengar kelanjutan penjelasan Gabriel.

“Jadi ya… Pak Duta minta Ozy yang menjadi tangan kanan Pak Duta untuk langsung mengurus dan mengawasi café di Jogja sana.”

Selama beberapa detik, nafas Acha terasa begitu berat. Jogja… Jogja… Biasanya Acha selalu menganggap Jogja sebagai kota yang terdengar begitu bersahabat. Dengan berbagai predikat sebagai kota pelajar, kota wisata, kota budaya… Tapi kenapa kali ini Jogja terdengar seperti kota yang tak terjangkau?

“Jadi… Ozy… sekarang ada… di… Jogja?” akhirnya Acha mampu bersuara kembali, meskipun masih terdengar begitu gemetar.

Gabriel mengangguk, “Udah seminggu lebih deh. Dia sekalian mau nyoba tes masuk UGM. Kalo gak Manajemen, ngambil Ilmu Komunikasi…”

“Adiknya? Ibunya?”

“Masih disini kok…” sahut Gabriel. “Kata Ozy mungkin kalau Keke sudah lulus SMA nanti, baru dia bawa adik dan ibunya itu pindah ke Jogja juga”.

Acha masih terduduk lemas.

“Dia gak ada ngomong ke kamu?” tanya Gabriel ingin tahu

Acha menggeleng lemah, merasa bersalah. Seharusnya dia tidak menunda begitu lama hanya untuk meminta maaf. Perasaan malu dan gengsi terus mencegahnya menghubungi Ozy, meskipun hanya lewat pesan pendek di ponsel.

Gabriel menatap Acha, sedikit kasihan melihat ekspresi penyesalan yang terpancar di raut wajah bulat itu. Dia lalu tersenyum dan mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menepuk perlahan pundak Acha.

“Yah, walopun kamu gak bisa ketemu dia, paling gak kan kamu masih bisa baca tulisannya di koran atau majalah…” Gabriel berusaha sedikit membesarkan hati Acha.

Mendengar ucapan Gabriel tadi Acha membelalakkan matanya, “Maksudmu?”

Kali ini ganti Gabriel yang nampak sedikit bingung. “Lho? Kamu gak tau? Kan Ozy sering nulis cerpen gitu di koran sama majalah..”

“Hah? Masa sih?”

“Pernah baca cerpen yang nama penulisnya A.F. Adriansyah gak sih?”

Acha mengangguk cepat. Nama itu memang cukup familiar di telinganya, karena sering tertulis sebagai pengarang cerpen yang dimuat di berbagai majalah. Dan Acha cukup menyukai karya penulis itu.

“Lah, itu kan Ozy.. Nama lengkapnya Ozy kan Ahmad Fauzi Adriansyah…” jelas Gabriel.

Acha ternganga dengan mata membulat. Dia tidak pernah tahu mengenai hal itu. Tidak pernah tahu bahwa Ozy, Ozy yang telah menyempatkan waktu untuk membaca tulisan Acha dan bahkan memberikan berbagai saran, ternyata adalah seorang penulis yang berpengalaman.

Denting bel yang diiringi suara ayunan pintu yang membuka membuat Gabriel berdiri. Dia mengangguk ramah pada dua orang pengunjung yang baru masuk, dan melangkah untuk menempati salah satu meja di sudut café itu. Gabriel lalu menoleh lagi ke arah Acha.

“Aku ke sana dulu ya Cha…”

Acha mengangguk. Memandangi punggung Gabriel yang beranjak menuju meja yang baru saja ditempati. Tapi pikirannya melayang, diiringi rasa sesal yang terasa semakin berat.

Ozy… Kenapa dia pergi di saat Acha masih berhutang satu permintaan maaf?

***

Acha meletakkan kembali mikrofon yang tadi digunakannya untuk menjawab pertanyaan salah satu peserta acara temu penulis itu. Sementara dengan lincah si pembawa acara, yang tadi mengenalkan dirinya kepada Acha sebagai Aren, kembali berceloteh.

“Oke, baik. Satu pertanyaan terakhir sebelum kita tutup sesi tanya jawab dengan penulis muda kita ini?”

Beberapa tangan teracung, pembawa acara tadi memilih salah satu yang mengacungkan tangan tadi, seorang remaja yang nampak manis dengan rambut sebahu dan pipi bulat.

“Mbak Acha, kenalkan, saya Oik. Saya kagum dengan Mbak Acha, baru lulus SMA tapi sudah bisa nulis novel yang bagus… Saya pengen nanya, Mbak pernah gak ngerasa down sama hasil tulisan Mbak sendiri? Makasih atas jawabannya…”

Acha tersenyum tipis mendengar pertanyaan tadi. Ingatannya berpacu menuju kenangan lewat setahun yang lalu, saat dia pergi berurai air mata sambil mendekap sebuah buku tebal, meninggalkan seseorang yang sebenarnya telah berusaha untuk membantunya menjadi lebih baik.

“Umm… Jujur, pernah. Waktu itu kebetulan salah seorang teman saya mengkritik hasil tulisan saya, dan mungkin karena waktu itu saya terlalu sensitif, saya malah merasa down dengan kritik dan komentar dari dia. Tapi kemudian setelah lebih tenang, saya pikir-pikir lagi, sebenarnya dia tidak asal mengkritik, tapi kritik yang teliti, dan membangun. Justru kritik semacam itu yang seharusnya selalu kita cari, kalau kita memang ingin terus menjadi lebih baik. Jadi saran saya untuk teman-teman semua, selalulah terbuka untuk berbagai macam komentar, saran dan kritikan tentang tulisan kita. Kritik dan saran yang baik tentu akan memotivasi kita untuk menajdi lebih baik. Sedangkan komentar-komentar lainnya, ya.. anggap aja sebagai bumbu dari pengalaman kita selama menulis. Toh, sebaik apapun usaha kita untuk menulis, tetap saja ada orang-orang yang tidak merasa puas dengan karya kita. Selera setiap orang kan beda-beda, dan tidak mungkin kan kita memenuhi selera dan keinginan semua orang?” jelas Acha panjang lebar.

“Wow.. sungguh suatu jawaban yang mencerahkan!” komentar Aren dengan ceria. “Baiklah, untuk mengakhiri acara kali ini, seperti yang mungkin sudah ditunggu-tunggu, kalian masing-masing bisa mendapatkan tanda tangan Acha, langsung di novel kedua dia yang berjudul Make it Mine ini. Tapi sebelumnya tolonng berbaris yang rapi dulu ya…”

Dengan patuh para peserta acara berdiri dari tempat duduknya, dan mengikuti instruksi Aren tadi. Acha mengangkat kepalanya, mengira-ngira berapa orang yang ada dalam barisan. Tapi kehadiran sosok seseorang yang baru saja melangkah masuk dan langsung menempati bangku paling belakang menarik perhatian Acha. Nafasnya tercekat sesaat. Jarak antara tempat duduknya di depan ruangan dan tempat duduk lelaki tadi tidak terlalu dekat. Tapi dari tempat duduknya Acha bisa mengenali sosok itu. Wajah itu. Senyum itu. Meskipun lebih dari satu tahun telah berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu, Acha masih bisa mengenali wajah itu. Akan selalu bisa. Karena wajah itu selalu menjadi kenangan yang paling berharga bagi Acha.

“Mbak Acha?” panggilan halus seseorang yang telah berdiri di depan mejanya sedikit mengagetkan Acha. Gadis di depannya tersenyum sedikit malu-malu, dan menyodorkan novel karya kedua Acha yang terbuka tepat di halaman pertama buku itu.

Acha balas tersenyum, meraih buku dari tangan gadis tadi. “Namanya siapa?”

“Gita, Mbak…”

Acha menuliskan ‘To Gita, happy reading ^_^’ di halaman yang terbuka, menggoreskan tanda tangannya, lalu menyerahkan kembali buku itu kepada Gita. Gita menerimanya dengan senyum sumringah sambil mengucapkan terima kasih. Sesaat kemudian, posisi Gita sudah digantikan oleh gadis lain. Acha tenggelam dalam kesibukannya menanda tangani buku yang terus disodorkan kepadanya. Tapi berbeda dengan sebelum-sebelumnya, kali ini dia melakukannya dengan sedikit tidak sabar. Karena sosok itu, yang masih duduk dengan tenang di bangku deretan paling belakang.

Setelah sekitar satu jam, Acha menyerahkan novel yang baru saja selesai dia tanda tangani pada peserta terakhir. Sambil tersenyum kepada gadis yang tengah mengucapkan terima kasih itu, Acha bisa melihat bahwa sosok di bangku belakang itu kini berdiri, dan melangkah dengan santai menuju Acha. Setelah gadis terakhir tadi berlalu, Acha melipat kedua tangannya di atas meja. Tersenyum memandangi Ozy yang melangkah makin dekat ke arahnya. Detakan jantungnya seakan melompat-lompat riang, merayakan pertemuannya kembali setalah sekian lama.

Ozy berhenti satu langkah di depan meja, dan tersenyum. “Kan? Sudah kubilang. Kamu pasti bisa…”

Acha tertawa kecil. “Makasih ya Zy… udah mau datang jauh-jauh dari Jogja….”

Ozy mengangguk. “Mumpung lagi libur semester, lagian sekalian nengokin Ibu dan Keke juga.”

Tiba-tiba, senyum Acha tersaput hilang untuk sesaat. Acha masih ingat, dia masih berhutang satu permintaan maaf.

“Zy…. Maafin aku. Terakhir kali kita ketemu dulu itu, di café… aku malah marah-marah ke kamu.” Kata-kata tadi tersembur keluar begitu saja. Permintaan maaf yang sudah menanti sekian lama untuk diucapkan. Penyesalan yang sempat mengendap saat menunggu saat untuk bisa bertemu kembali.

Ozy memandangi Acha dalam-dalam, lalu menggeleng, masih mengulum sebuah senyuman di bibirnya.

“Sudahlah, lupakan saja… Gak papa kok. Serius…” sahut Ozy, tanpa sedetik pun melepasakan matanya yang menancap kuat di bola mata Acha. Sesaat, Ozy diam untuk menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

“Malah mungkin aku yang harusnya minta maaf sama kamu Cha… Kayaknya waktu itu aku sudah nyinggung kamu banget…”

Kali ini Acha yang menggeleng kuat-kuat. “Nggak Zy. Kamu gak perlu minta maaf. Justru berkat kamu, aku jadi nyadar, kalo aku masih harus banyak belajar…”

“Dan hasil ‘belajar’ kamu itu, dua novel best seller. Awesome…”

Acha tersipu mendengar kata-kata Ozy tadi.

“Aku sebenernya udah dari tadi datang, tapi cuma dengerin di luar aja, sambil ngintip-ngintip…” kata Ozy. Acha mengangkat alis.

“Kok gak masuk aja sih?”

“Males. Takutnya kamu shock, ngeliat ada Afgan datang ke acara Meet and Greet nya kamu…” Ozy terkekeh di ujung kalimatnya. Sementara dengan gemas Acha menggoyang-goyangkan pulpen yang masih ada di genggamannya.

“Ya ampun Zyyyy… Kamu ituuu …!!! Masiiih aja kepedean!”

Ozy masih tertawa untuk beberapa lama. Setelah menghentikan tawanya, dia lalu terdiam dan kembali menatap Acha dengan ekspresi serius.

“Tapi sebenernya pas sesi tanya jawab, ada yang aku pengeeeen banget tanyain ke kamu. Tapi ga kesampaian.”

“Apaan? Mau nanya apa?’

Ozy melangkah sedikit lebih dekat, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Acha.

“Aku mau nanya…”

Acha diam, merasa wajahnya merona saat menyadari betapa lekuk wajah itu terlihat begitu mempesona di hadapannya.

“Aku mau nanya…” Ozy mengulangi kata-katanya, lalu bertanya. “Mau nemenin aku minum kopi bareng gak?” .

Acha mengangguk, menikmati pijar rasa hangat yang semakin deras mengaliri wajahnya.

“Cappuccino, with extra chocolate sprinkles?” tanya Ozy lagi, kali ini sambil mengulurkan tangannya.

Acha menyambut uluran tangan tersebut, dan mengangguk.

“Cha…”

Acha menatap Ozy, yang tengah memandanginya dengan sorot mata yang begitu lembut. Tangan Ozy masih hangat menggenggam jemari Acha. Acha merasakan degupan jantungnya yang seakan terus meloncat-loncat semakin tidak keruan.

“Ya?”

Bukannya menyahut, Ozy malah menggenggam tangan Acha makin erat, dan mulai bersenandung.

“And I am finally here…

And all the angels they'll be singing

Ah la la la, ah la la la I la la la la love you”

Acha ternganga sesaat. Semantara Ozy berdehem kecil.

“Aku gak salah lirik kali ini Cha Gak bermaksud salah lirik. But I really mean it, when I say that.. I love you…”

Acha tertunduk. Tapi terus menikmati kehangatan jemari Ozy yang kokoh melingkari jemarinya. Setelah beberapa saat, Acha mengangkat wajah. Sekali lagi memandangi wajah yang saat ini tengah menatapnya penuh kesungguhan dengan tatapan yang lembut. Wajah yang sam adnegan yang selama ini selalu menjadi pengisi benaknya, impian dan harapannya yang tak terucap.

“And I love you too…” sahut Acha perlahan, mengukirkan senyum di wajahnya.

Kali ini senyuman Ozy terpentang semakin cerah. Dia mengeratkan genggamannya di tangan Acha.

“Thanks Cha.. For making my most beautiful dream be mine …”

*** THE END ***

You Might Also Like

0 comments