I Love You, I Love You Not : Part 17

20.47.00

Part 17: Ketika Rio Rindu Setengah Mati, ada Yang Mengetuk Pintu

Ozy yang sempat singgah di rumah Acha setelah mengantarkannya pulang akhirnya menceritakan tentang latar belakang keluarga Rio. Ozy berniat akan berbicara dengan Rio untuk membujuknya berbaikan dengan Ify. Mendengar rencana Ozy, Acha tertarik untuk ikut. Kira-kira, bagaimanakah misiperdamaian mereka ya?

+++

Rio membanting diri di tempat tidur. Setelah kejadian di rumah Ify tadi, dia memilih untuk berputar-putar tidak jelas di jalanan, karena jam 2 siang dia harus memberi les privat untuk salah satu siswanya. Tanggung banget kalau harus pulang ke rumah dulu. Sebenarnya, Rio tadi benar-benar tidak mood untuk mengajari Olivia apapun. Masih untung PR Matematika yang disodorkan Olivia tadi untuk diajarkannya masih bisa dia selesaikan, walaupun pikirannya sebenarnya bercabang kemana-mana.

Yah, tidak terlalu bercabang kemana-mana sih. Cabang pikirannya cuma satu: Ify. Rio membuang nafas keras-keras. Berusaha menyingkirkan lagi bayangan gadis itu dari benaknya. Tapi tetap saja, wajah cantik itu terus melekat di benaknya. Terutama kedua matanya. Rio belum pernah melihat siapapun dengan tatapan mata secantik itu. Tatapan mata yang sedingin es. Tapi juga menyala dengan penuh semangat.

Tiba-tiba Rio merasa menyesal. Menyesal sekali. Atas semua yang sudah dia katakan. Apalagi begitu ingat betapa mata itu seakan langsung diselimuti kabut begitu mendengar kata-kata Rio. Meskipun kedua mata itu terus menatap Rio dengan tegar. Rio sadar, dia tidak berhak sekasar itu. Rio bangun dan duduk di tempat tidur, lalu meraih gitar kesayangannya. Gitar yang dia beli waktu kelas 11 dulu dari kerja kerasnya selama satu tahun. Dengan pandangan menerawang, Rio memetik gitarnya sambil bersenandung perlahan.

aku rindu setengah mati kepadamu
sungguh ku ingin kau tahu
aku rindu setengah mati

meski tlah lama kita tak bertemu
ku slalu memimpikan kamu
ku tak bisa hidup tanpamu

aku rindu setengah mati kepadamu
sungguh ku ingin kau tahu
ku tak bisa hidup tanpamu
aku rindu…

Rio menghela nafas kembali, begitu menyadari bahwa dia merindukan Ify. Ify yang cantik. Tapi tidak, Ify tidak hanya sekedar cantik. Ify lebih dari itu. Kepribadiannya lah yang membuat Rio diam-diam selalu memperhatikan gerak-gerik Ify. Betapa Ify terlihat yakin pada dirinya sendiri, dengan sebuah tembok kepribadian yang begitu kuat. Lihat saja komentar-komentarnya yang seringkali sarkastik. Walaupun entah mengapa, Rio merasa di balik tembok itu, ada sosok Ify yang lain, yang jarang dia tunjukkan kepada orang lain. Sosok Ify yang akhir-akhir ini dekat dengan dirinya, Ozy dan Acha.

Rio tersenyum kecil mengingat kembali tawa lepas Ify saat mereka berfoto-foto bersama di kali pertama mereka mulai mengerjakan proyek buku sekolah itu. Sambil mengingat berbagai eskpresi wajah Ify waktu itu, Rio mengedarkankan pandangan hingga tatapannya jatuh ke tas kamera milik Ify yang ada di atas meja belajar Rio. Rio memandangi tas kamera itu, lalu melihat jam dinding di atas meja itu. Baru beberapa menit lewat dari pukul setengah lima. Masih sempat, kalau dia segera melakukan idenya. Tapi Rio tahu, bahwa dia tidak boleh menundanya, kalau tidak ingin kemalaman. Rio segera bangkit, menyambar kamera itu dan memasukkannya ke dalam ranselnya. Sambil menutup ransel dan menyelempangkannya ke pundaknya, Rio melangkah keluar kamar.

Ruang tamu yang ada tepat di depan kamar Rio kosong, tapi suara Bapak dan Ibu yang tengah mengobrol di ruang tengah yang menandakan bahwa mereka ada disana. Rio lalu masuk ke ruang tengah. Ibu menoleh ke arahnya, sementara Bapak tidak mengalihkan pandangannya dari depan layar TV.

“Pak, Rio pinjem motor lagi ya.. Boleh ya? Mau ke rumahnya Om Chiko, terus habis dari sana nanti ke rumah temen.”

“Mau ke rumah Ozy?” tanya Bapak, meskipun masih tidak mengalihkan pandangan dari berita yang ditayangkan di TV.

“Umm… bukan, temen yang lain…”

“Ya udah. Tapi ati-ati. Pulang jangan kemalaman.” sahut Bapak.

“Jangan ngebut lho Yo…” kata Ibu menambahkan. Tapi Rio sudah keburu kembali ke ruang tamu, menyambar kunci motor yang tadi dia lemparkan ke laci bufet. Dengan terburu-buru, Rio membuka pintu depan rumahnya, dan langsung merasakan jari-jari Ozy menghantam hidungnya.

“ADUH! Kenapa sih elo itu bawa sengsara mulu buat hidup gua?!” Rio mengelus-elus hidungnya. Ozy sempat nampak kaget, tapi langsung tertawa kecil.

“Sorry Yo, tadi sih gua niatnya mau ngetok pintu. Tapi lo juga salah sih, keburu buka pintu, jadilah gua mengetuk hidung lo…” sahut Ozy sambil terkekeh. Tapi begitu melihat kunci motor di tangan Rio, dan ransel yang ada di punggung Rio, Ozy langsung bertanya.

“Lo emang mau pergi ya Yo?”

“Iya, gua… mau ke rumah Ify…” sahut Rio, pelan. Apalagi ketika dia menyadari, ada Acha yang berdiri di sebelah Ozy. Acha tersenyum ketika Rio memandangnya.

“Lo mau ngapain ke rumah Ify? Mau nyembur dia pake kemenyan? Atau mau lo masukin ke botol, terus dibuang ke laut?” tanya Ozy sambil tersenyum.

“Ya ga lah! Elonya aja yang psycho…” tukas Rio sambil menoyor kepala Ozy.

“Gua…” Rio diam sejenak, lalu menjatuhkan pandangan ke lantai, “mau minta maaf sama Ify…”

Ozy menonjok pundak Rio pelan sambil tersenyum (perasaan saya aja atau memang sebagai penulis saya terlalu sering menggambarkan Ozy yang sedang tersenyum?).

“Gitu dong…” kata Ozy pelan

“Eh, emang kalian mau ngapain kesini?” tanya Rio lagi sambil mengernyitkan keningnya.

“Mau… Eh, kita tadi mau ngapain kesini Cha?” Ozy malah menoleh ke arah Acha sambil menggaruk-garuk belakang telinganya. Acha membelalakkan matanya.

“Oh iya! Rio, kami cuma mau bilang…KAMI MERINDUKANMU! Dan kami akan selalu akan mendukung apapun keputusanmu! Kami akan setia mengetik RIO dan mengirimnya ke 6288!” seru Ozy berapi-api sambil tiba-tiba merangkul Rio.

“OZY!!! APA-APAAN SIH! Lo kira gua kontestan Indonesian Idol???” Rio meronta-ronta, berusaha menjauhkan diri dari Ozy.

“Ah, udah ah, gua mau pergi sekarang. Acha, lo mau gua anterin pulang aja? Gua ga tega membayangkan nasib lo diboncengin sama mahluk SARAP kayak dia” kata Rio begitu berhasil menjauhkan diri dari Ozy.

“Eh, jangan! Acha sama gua habis ini mau ke…” Ozy berusaha mencegah Rio. Acha sendiri berganti-ganti menatap Ozy dan Rio.

“Mau kemana lo? Anak orang mau diapain? Gua laporin RCTI lho, biar jadi headline di Sergap!” ancam Rio.

“Gua sama Acha habis ini mau ke…MONAS! Ya kan Cha, habis ini kita mau ke Monas kan Cha? Kan kita mau liat emas yang di puncak Monas itu…”

Rio menoleh ke arah Acha dengan tatapan bertanya. Acha sendiri malah bengong. Rio menarik nafas, menutup pintu dan melangkah menuju motornya. Sambil naik ke atas motor, Rio kembali menatap Acha.

“Cha, beneran deh, mendingan lo gua anter pulang aja. Gua ga tega ngebayangin elo mesti sama si topeng monyet ga laku kayak dia…”

“Euh…” Acha belum sempat menjawab, tapi Ozy sudah keburu meraih tangan Acha untuk menggandengnya dan melambai ke arah Rio.

“Tenang aja Yo. Bang Ozy akan menjaga Neng Acha dengan segenap jiwa raga Bang Ozy yang perkasa…” kata Ozy dengan wajah yakin.

Rio memandang ke arah Acha dengan wajah bertanya.

“Em. Iya, gapapa Yo. Aku biar pulang bareng Ozy aja. Kamu selesaikan urusanmu sama Ify aja…” kata Acha sambil berusaha tersenyum. Walaupun nafas Acha terasa begitu tersendat dengan tangan Ozy yang saat ini tengah menggandengnya.

Rio mengangguk. “Ya udah deh kalo gitu. Eh, sori lho ya… Gua bukannya ngusir kalian. Tapi gua bener-bener mesti pergi sekarang…” kata Rio sambil memasang helm.

“Iya, gapapa kok… Good luck sama Ify ya…” kata Ozy.

Rio tersenyum kecil, lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah suara motor Rio tak terdengar lagi, Ozy dan Acha saling berpandangan. Dengan kikuk Ozy melepaskan genggaman tangannya dari lengan Acha.

“Monas, Zy? MONAS?” kata Acha dengan penuh rasa tidak percaya.

Ozy menggaruk-garuk belakang telinganya lagi, “Habisnya, tadi gua mau nyebut Stasiun Gambir, kok aneeeehh… Kan ga masuk akal banget kalo gua bilang kita mau ke Stasiun Gambir buat liat kereta api…”

“Terus kamu pikir, mau liat emas di puncak Monas itu lebih masuk akal?”

“Jadi lo ga mau ke Monas?”

“Ngapain juga aku ke Monas?”

“Ya udah deh, kalo gitu ke rumah gua aja mau?”

Acha ternganga. Apa kata Ozy tadi? Ke rumah Ozy?

“Mau? Sip. Bagus deh. Lagian rumah gua deket kok dari sini. Cuma selisih tiga gang kok.” Kata Ozy sambil melangkah menuju motornya. Ozy lalu menaiki motornya, dan memandang Acha.

“Ayo Cha. Buru. Ntar kemaleman… Apa mau ke Monas aja?”

“Eh, enggak. Eh, maksudku, iya… ke rumah kamu aja…” sahut Acha sambil mendekati Ozy. Walaupun dia merasa seperti berjalan dalam mimpi. Ke rumah Ozy. Dia mau kerumah Ozy sekarang. Boncengan. Sama Ozy. Berdua. Ke rumah Ozy.

Ya Tuhan.

“Kenapa jantung ini ga bisa disuruh tenang dikit siiihhh???!!!” teriak Acha dalam hati saat menaiki motor. Ozy pun melarikan motornya. Dan Acha merasa seperti meniti jejak bintang di angkasa. Walaupun belum ada kerlip bintang yang muncul.

+++

Baguslah, tidak usah dibujuk oleh Ozy dan Acha pun, Rio ternyata memang sudah berniat meminta maaf pada Ify.
Waduh, tapi jadi bingung. Pilih ikut Rio ke rumah Ify, atau ikut Acha ke rumah Ozy? Atau malah ada yang mau ikut Ozy ke Monas?
Mari kita memilih, supaya Part 18 segera muncul...

Regards,
= Ami =

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~~ ~~ ~

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/profiles/blogs/i-love-you-i-love-you-not-part-17

You Might Also Like

0 comments