I Love You, I Love You Not : Part 18
16.38.00Part 18: Sisi Lain Ozy
Ozy dan Acha ke rumah Rio, tepat pada saat Rio baru saja akan berangkat ke rumah Ify. Ujung-ujungnya, Ozy malah mengajak Acha ke rumah Ozy. Hm... Memangnya, kalau di rumah Ozy itu seperti apa sih?
+++
Acha turun dari motor, dan melangkah mengikuti Ozy yang mendorong pintu pagar untuk menggeret motornya masuk ke halaman. Acha memandang rumah sederhana di hadapannya. Tidak terlalu besar, tapi rumah bercat kuning itu nampak bersih dan apik. Halamannya pun tidak terlalu besar, namun tanaman-tanaman hijau yang menyejukkan membuat suasana terasa teduh.
Ozy duduk di bangku kayu yang ada di teras sambil melepas sepatunya. Acha sendiri masih berdiri, merasa rikuh. Suara derit pintu yang membuka membuat Acha mengangkat wajah. Seorang wanita tua yang masih kelihatan sehat muncul di balik pintu.
“Ozy? Kok udah pulang?”
“Iya Nek. Ada perubahan rencana mendadak. Oh iya Nek, Ozy sama temennya Ozy. Itu yang namanya Acha. Cha, ini nenekku…” Ozy memperkenalkan mereka berdua.
Dengan agak gugup, Acha mendekati wanita tersebut dan menyalami beliau. Tapi rasa gugup Acha langsung sirna begitu melihat senyum ramah dari wanita itu.
“Ya udah deh, Nenek ada di dapur ya Zy…” wanita itu tersenyum kembali pada Acha, dan menghilang di balik pintu. Ozy menoleh ke arah Acha.
“Duduk di kamarku aja yuk…” kata Ozy, lalu masuk ke dalam rumah. Acha mengikutinya. Ruang tamu Ozy tidak terlalu besar, hanya ada seperangkat kursi tamu dan sebuah lemari besar berpintu kaca. Acha mencermati kembali isi lemari itu, dan menyadari, lemari itu bukan lemari pajangan. Melainkan lemari buku. Dari atas ke bawah, lemari itu penuh terisi buku-buku. Ozy membuka pintu yang ada di sisi kanan ruang tamu. Dia lalu melangkah masuk
“Masuk aja Cha…” kata Ozy dari dalam kamar. Acha menurut, mengikuti Ozy, dan ternganga.
Cahaya matahari sore jatuh menerangi kamar itu dari jendela yang tepat berhadap-hadapan dengan pintu kamar. Di sisi kiri kamar, sebuah rak buku setinggi sekitar 2 meter penuh terisi buku. Rak buku kedua yang juga terisi penuh dengan buku berbagai ukuran ada di sisi dinding yang sama dengan pintu itu. Tempat tidur Ozy diletakkan menempel di sisi kanan kamar itu. Bahkan ada 2-3 buah buku yang tergeletak di atas tempat tidur itu. Ozy meraup semua buku itu dan meletakkannya di atas meja belajarnya yang ada di bawah jendela. Ozy lalu duduk di kursi belajarnya, menoleh ke arah Acha dan tersenyum.
“Lo duduk di tempat tidur aja Cha, gapapa kan?” kata Ozy.
“Gak… Gapapa kok…” kata Acha sambil melangkah ke arah yang dimaksud Ozy. Perlahan dia duduk di tempat tidur yang beralaskan seprai warna biru tua itu. Saat mengangkat wajah, pandangan Acha jatuh pada sebuah foto yang dipasang Ozy di salah satu bagian dinding kamar yang tersisa di sebelah meja belajar Ozy. Foto seorang laki-laki separuh baya yang tengah tertawa sambil merangkul pundak seorang anak berseragam putih merah yang juga tengah tersenyum lebar.
Walaupun foto itu pasti diambil bertahun-tahun yang lalu, hanya dari senyumannya saja Acha sudah bisa menduga bahwa anak kecil itu adalah Ozy. Acha bisa melihat banyak kemiripan antar raut wajah Ozy dengan laki-laki yang merangkulnya itu.
“Kamu mirip sama Bapakmu ya Zy…” komentar Acha sambil memandangi potret itu. Ozy memutar kepalanya untuk memandang foto itu. Lalu kembali memandang Acha. Tersenyum tipis.
“Iya. Banyak yang bilang kalo gua mirip almarhum Bapak…”, Ozy lalu membuang pandangan ke luar jendela.
“Eh, sori… aku ga tau…”
“Gapapa kok Cha. Bapak udah meninggal sejak aku kelas 5 SD. Itu foto terakhirku sama Bapak…” kata Ozy dengan pandangan mata menerawang ke luar jendela di hadapannya. Tangannya melingkari kedua lututnya yang dinaikkannya ke atas kursi.
Acha merasa kikuk, kembali menebarkan pandangan ke sekeliling kamar dalam usahanya mencari bahan percakapan.
“Banyak banget bukunya Zy… Kamu bener-bener suka baca ya?”
Ozy mengangguk. “Gara-gara Bapak sih…” Ozy tertawa kecil saat mengingat masa lalunya. “Sejak kecil, aku selalu melihat Bapak membaca. Bapak juga suka membacakan cerita buat aku. Sampai Ibu suka marah-marah, karena kalau dibacakan cerita, aku kuat begadang sampai larut malam. Padahal waktu itu umurku paling 3-4 tahun gitu.”
“Bapak pernah bilang, kalo Bapak ga bisa mewariskan harta buat aku, yang bisa dia wariskan cuma buku…”, Ozy menarik nafas panjang, lalu melanjutkan kembali dengan nada suara yang berbeda, “Tiga hari setelah Bapak ngomong kayak gitu, Bapak ketabrak mobil waktu mau berangkat ngajar…”. Dari tempatnya duduk, Acha bisa melihat Ozy menggigit bibir. Bahkan cahaya mata Ozy sedikit tersapu mendung.
Ketukan halus dari pintu kamar Ozy yang dibiarkan terbuka membuat mereka berdua melemparkan pandangan ke arah pintu. Nenek Ozy melangkah masuk sambil membawa sebuah baki berisikan dua gelas the yang masih mengepul, dan sepiring kue lapis. Sambil tersenyum, Nenek Ozy meletakkan baki itu di meja belajar.
“Diminum ya Cha… Nenek seneng kalo ada temennya Ozy yang datang, biasanya yang dateng Rio terus…”
“Oh ya?” kata Acha, di belakang neneknya, Ozy terlihat salah tingkah.
“Iya. Baru sekali ini ada temennya Ozy yang cewek yang dateng ke rumah…” Nenek lalu berpaling ke arah Ozy, “Zy, Acha ini kan yang kamu bil…”
Ozy tiba-tiba berdiri, “Nek! Ozy lupa ngasih tau nenek, tadi di dapur ada piring Nek! Yuk , diliat dulu piringnya…”kata Ozy sambil meraih tangan neneknya dan setengah menyeret beliau keluar kamar.
“Ozy! Kamu ini kualat lho sama Nenek…Nanti nenek bilangin ibu lho…” sayup-sayup suara Nenek yang setengah marah terdengar dari luar kamar.
Beberapa saat kemudian, Ozy sudah muncul kembali dengan wajah memerah.
“Zy, bukannya tempatnya piring itu memang di dapur?” tanya Acha sambil tersenyum kecil. Ozy tidak menjawab, dia duduk kembali di kursinya tadi dan menyodorkan piring kue tadi ke arah Acha.
“Cobain gih Cha, bikinan Nenek…”
Acha mengambil salah satu kue, dan menggigitnya. Enak. Seperti kue yang biasanya Ozy bawa ke sekolah.
“Nenek kamu emang hobi bikin kue ya?”
Ozy ikut mengambil sepotong kue dan menggigitnya. “ Ya gitu… Tiap hari bikin, terus pagi jam enam atau setengah tujuh gitu gua anter keliling warung-warung. Terus sorenya gua keliling lagi ngambil uang hasil jualan sama narikin sisa kue yang belum laku. Tadi juga sebelum jemput elo, gua keliling dulu.” Kata Ozy setelah menelan kuenya.
“Oh gitu? Jadi nenek kamu jualan?”
“Sebagian besar dijual, sebagian kecil banget ya jadi santapan kalian kan…” Ozy tertawa kecil. “Tapi lumayan lah hasilnya, motor kami itu juga kan, kreditnya akhirnya bisa lunas tiga bulan yang lalu juga, sedikit banyak karena hasil jualan itu…”
Acha menelan kue yang masih ada di mulutnya, lalu menatap Ozy, “Kamu juga anak beasiswa kayak Rio ya?”
Ozy meraih gelas tehnya dan meneguk isinya sebelum menjawab, “Ho’oh… Sama kayak Rio, yang ngasih rekomendasi juga Pak Duta, soalnya kantor tempat istrinya Pak Duta kerja kan juga suka pesen kue sama Nenek, terus aku suka nganterin pesanan ke sana. Jadi ya gituu…” kata Ozy sambil meletakkan gelasnya kembali.
“Tapi kok kamu beda sih sama Rio? Maksud aku, Rio kan kesannya rada sensitif gitu. Sementara kamu kayaknya lebih santai deh… Padahal kan kondisi kalian sama. Eh, maksud aku, ya….ya gitu deh… Kamu ngerti kan maksud aku?” Acha kebingungan sendiri menjelaskan maksudnya.
Ozy menatap Acha, dan balik bertanya, “Cha, kalo lagi pergi kondangan, terus untuk pencuci mulutnya ada pilihan es krim, puding, es buah, sama kue basah gitu, lo pilih yang mana?”
Acha tidak mengerti kenapa Ozy balik bertanya dengan pertanyaan semacam itu. Tapi toh Acha tetap menjawabnya, “Puding…”
“Kalo gua sih milihnya es krim, Cha.”
“Apa hubungannya sama yang aku tanyain tadi?”
“Nggak sih, itu analoginya aja. Bahwa walaupun dihadapkan pada situasi yang sama, orang yang berbeda juga belum tentu mengambil pilihan yang sama kan? Sama aja kayak Rio dan gua. Kami berada dalam kondisi yang mirip, tapi dia dan gua memilih cara yang berbeda untuk menghadapinya. Kalo Rio mungkin terkesan rada lebih serius menghadapinya, karena biar gimana, dia itu anak sulung. Tambahan lagi, dari dulu memang Rio anaknya cool sih, kan aku dulu satu SMP sama Rio…”
“Kalo kamu?”
Ozy tertawa kecil, “Ah, gua mah biasa aja kali Cha… Maksud gua, gua tau kondisi gua beda dari temen-temen yang lain. Tapi kalo hanya karena itu gua lalu berjutek-jutek ria, ga bakal mengubah apapun kan? Bukan berarti gua bilang kalo Rio itu jutek lho yaaa… Dia mah anaknya sebenernya baik, baik banget. Tapi ya, kepribadian kami memang beda…”
Acha mengangguk kecil. Berusaha memahami penjelasan Ozy tadi. Sambil mengedarkan pandangannya lagi ke sekeliling kamar, Acha menanyakan hal yang juga membuatnya penasaran.
“Semua buku ini punya elo Zy?” tanya Acha, tidak dapat menyembunyikan sedikit nada kagum, karena dilihatnya ada banyak buku yang ditulis dalam Bahasa Inggris.
Ozy mengangguk. “Sebagian gua beli di pasar loak, asal nyarinya rajin, banyak kok buku bagus yang kondisinya masih sangat layak. Sebagian lagi gua dapet dari internet.”
“Kok bisa?”
Ozy menjawab sambil memandangi koleksi bukunya dengan ekspresi lembut yang belum pernah dilihat Acha sebelumnya, “Cha, yang namanya Internet itu jauh lebih luas daripada sekedar Facebook, Youtube dan semacamnya. Lo bisa ketemu para pecinta buku disana. Sering kok ada yang menawarkan koleksi buku mereka secara gratis, asal kita rajin aja browsing. Ada yang namanya sistem mooch, jadi si pemberi buku itu menawarkan koleksi buku dia secara gratis, bahkan yang meminta bukunya ga usah mikir biaya kirim…”.
Ozy lalu tersenyum tipis, masih sambil menatap koleksi bukunya, “Bapak benar Cha, buku itu…adalah harta yang paling berharga, yang bisa membuat elo merasa sangat kaya, yang bisa membuat elo terbang ke penjuru dunia manapun yang elo pengen…”
Acha setengah ternganga. Tidak menyangka, bahwa Ozy yang selama ini dikenalnya sebagai sosok yang lucu, menyimpan kepribadian lain yang jauh berbeda dari cowok-cowok lain yang pernah dikenal Acha.
Ozy menoleh ke arah Acha, “Udah sore banget Cha. Mau pulang sekarang?”
Nggak. Acha ga pengen pulang. Dia ingin tinggal lebih lama lagi. Ingin mengobrol lebih banyak lagi. Ingin tahu lebih banyak lagi tentang Ozy.
Tapi tentu saja itu semua hanya terucap di dalam hati Acha.
Acha mengangguk, “Yuk, tolong anterin pulang ya Zy..” katanya sambil merapikan roknya. Ozy bangkit dari kursi, keluar dengan Acha yang mengiringi di belakangnya.
Perjalanan dari rumah Ozy ke rumah Acha hanya perlu waktu kurang dari setengah jam. Matahari mulai menyampaikan salam perpisahan ketika Acha turun dari motor Ozy.
“Makasih ya Zy…”
Ozy mengangguk, “Gua ga usah turun ya Cha, ntar keburu Maghrib…”
Acha balas mengangguk. Diiringi senyuman yang membuat Ozy tidak bisa menahan diri untuk tiba-tiba bertanya.
“Cha, kapan-kapan mau ga maen ke rumah lagi?”
Ekspresi wajah Acha jelas menunjukkan kekagetannya. Yang membuat Ozy menyesal setengah mati bertanya seperti itu.
“Eh, maksud gua, maen ke Monas deh. Atau ke Stasiun Gambir aja kalo lo lebih suka ngeliat kereta api daripada liat emas…”
Acha mulai tertawa, “Zy…”
“Atau kamu lebih suka maen ke Ragunan? Ntar kita bareng-bareng sama Rio sama Ify juga deh. Tapi jangan sampai Ify deket-deket sama macan, ntar macannya minder karena ngerasa kalah galak dibanding Ify”
“Ozy…”
“Ya, tapi kalo lo ga pengen maen kemana-mana juga gapapa sih…”
Acha meninju perlahan lengan Ozy.
“Dengerin aku dulu dong…”
“Lo minta didengerin, emangnya mau nyanyi? Ya udah, kalo gitu kita karaokean bareng ajaaa”
“Ga, aku cuma mau bilang, aku mau kok kapan-kapan maen ke rumah kamu…”
Ozy terpana saat Acha mengakhiri kalimatnya dengan diiringi senyum manisnya. Ozy masih tidak mampu berkata-kata saat Acha melangkah melewati pintu pagar, dan melambai kecil dari balik pintu pagar. Ozy masih tetap dalam posisi setengah ternganga, saat Acha masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu.
Setelah beberapa detik, Ozy akhirnya tersadar. Dia lalu mendongakkan ke atas, lalu berbisik perlahan.
“Ya Tuhan, kejadian tadi bisa ga diulang sekali lagi? Tapi dibikin slow motion… biar rada lamaan dikit…”
Ozy memejamkan mata, menarik nafas perlahan. Lalu membuka mata kembali. Ada sebuah senyuman lebar di bibirnya. Beberapa saat kemudian, Ozy memacu motornya kembali ke rumah. Meniti batas senja sambil membawa pelangi di hatinya.
+++
Ga nyangka ya, anak dengan kelakuan "ancur" kayak Ozy bisa punya sisi kepribadian yang lain daripada yang dilihat Acha selama ini...Heu... Adakah yang jadi tambah suka sama si Ozy?
Nah, sementara Ozy hatinya baru saja membawa pelangi *maap ya, penulis memang suka agak lebay*, bagaimanakah kabar Rio yang mendatangi Ify dengan perasaan rindu setengah mati?
Apakah Ify akan mau memaafkan Rio?
Besok sore, Part 19.
*Spoiler alias bocoran buat Part 19: penulis lagi kangen sama satu karakter lagi yang sudah lama ga nongol. Siapa ya?*
Cheers,
=Ami=
0 comments