I Love You, I Love You Not : Part 21

15.02.00

Part 21: And I Don't Wanna Call You, but Then I Wanna Call You...

Ify mengajak Acha menonton, dan tanpa Acha sangka, ada Gabriel juga. Bahkan Ify mengatur seakan-akan Ify mendadak harus pergi, sehingga akhirnya Acha hanya berdua dengan Gabriel. Wow. Jangan-jangan... Bakal ada stori lanjutan Acha dan Gabriel nih? Terus, nasib Ozy gimana dong?

+++

Seandainya dia tiap hari pergi berdua sama Gabriel kayak gini, Acha yakin, dia pasti mati muda. Karena selama bersisian dengan Gabriel, Acha merasa sesak nafas, dan tentu saja, dilengkapi dengan dada yang berdebar tidak karuan. Plus, tidak bisa memikirkan apapun untuk dikatakan. Ditambah kedua kakinya terasa lemas. Lengkaplah sudah.

Bahkan seperti saat ini, di dalam mobil Gabriel yang terasa sejuk pun Acha merasa gugup. Kikuk. Serba salah deh. Dan lagu-lagu “Tak Ada Tempat seperti Surga” yang tengah disetel Gabriel di mobilnya sama sekali tidak membantu Acha untuk menemukan bahan pembicaraan apapun. Tapi Acha tidak merasa terlalu bersalah saat tidak bisa membuka pembicaraan. Karena toh, Gabriel menyetir sambil bersenandung perlahan, mengikuti lagu dari stereo setnya.

Tak ada tempat seperti Surga
Untuk kuabadikan hidupku denganmu
Barisan syair yang terindah
Akan kulakukan untuk dirimu cinta
Separuh sukma jiwaku

Tiba-tiba Gabriel berhenti bersenandung, dan bertanya.

“Yang mana Cha?”

“Hah? Apa?” Acha gelagapan.

Gabriel tersenyum, dan memelankan volume stereo. “Rumah kamu yang mana?”

“Oh. Rumah. Iya. Rumah aku? Yang itu, yang pagarnya coklat…”

Gabriel memelankan laju mobil, hingga akhirnya mobil itu berhenti tepat di depan rumah Acha. Setelah mobil benar-benar berhenti, Gabriel menekan tombol di sisi kanannya hingga kunci pintu di sisi kiri Acha membuka. Gabriel lalu menoleh ke arah Acha, dan tersenyum lagi. (Gabriel murah senyum banget sih? Nyadar kali ya dia senyumnya maut!)

Acha menatap Gabriel sekilas, tapi entah kenapa Acha merasa degupan jantungnya terlalu kacau, sehingga Acha langsung menunduk.

“Makasih ya Cha… Udah mau nemenin aku nonton.”

“Eh, justru aku yang makasih. Udah dianterin pulang…” dengan gugup Acha menyahut.

Gabriel tertawa kecil. “Ya gapapa lagi. Cowok memang harus gitu…”

Sialan. Senyum aja Gabriel sudah membuat Acha tidak karu-karuan. Apalagi kalau Gabriel tertawa seperti itu, Acha merasa dia sebentar lagi bakal kejang-kejang. Maka Acha memutuskan, dia harus turun sekarang juga. Daripada dia kena serangan jantung di sebelah Gabriel? Betapa memalukannya, mati muda di sebelah seorang pangeran.

“Umm.. Aku turun dulu ya…. Sekali lagi, makasih ya Yel…” kata Acha sambil menyelempangkan tasnya. Dengan agak terburu-buru, Acha membuka pintu mobil, turun dan melangkah menuju pintu pagar.

Sialan lagi. Gabriel ternyata turun mengikutinya. Mengantarkannya sampai pintu gerbang. Kenapa dia harus bersikap begitu gentleman?

Acha membuka pintu pagar, lalu berbalik menghadap Gabriel. Gabriel berdiri dengan santai. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jeans biru gelapnya.

“Sip! Kamu sampai ke rumah dengan selamat… Artinya misiku sukses dong…” kata Gabriel sambil tertawa kecil. “Aku pulang dulu ya Cha. Sorry ga bisa mampir, udah malem…” lanjut Gabriel lagi.

“Oh, iya. Gapapa. Makasih banyak lho Yel…”

“Kapan-kapan nonton bareng lagi yuk…”

Tiga kali sialan. Tapi ga mungkin kan Acha menjawab ajakan itu dengan kata “sialan”? Apa lebih baik ga usah dijawab aja ya? Yah, tapi masa sih ga dijawab? Ini ajakan dari seorang Gabriel!

“Euh. Eh… emm… boleh deh, kapan-kapan…”

Gabriel tersenyum lagi. “Sip. Ya udah deh ya… aku pulang dulu. Malem Cha…”

Acha hanya bisa mengangguk. Menatap Gabriel yang berjalan ke arah mobilnya. Sampai akhirnya Gabriel masuk, memutar mobilnya dan menghilang. Acha mengembuskan nafas, dan berbalik. Berjalan menuju rumah.

***

Acha melirik ke jam kecil berbentuk kodok hijau di sebelah tempat tidurnya. Ya ampun, sudah lewat lima menit dari jam satu dini hari! Acha menghembuskan nafas dengan kesal. Berarti sudah lebih 2 jam dia bolak-balik dengan gelisah di atas tempat tidur. Padahal Acha tadi mengira dia akan segera tertidur, dan bermimpi indah. Tentang dia dan Gabriel. Gabriel yang dari dulu dia kagumi. Apalagi tadi, Acha semakin sadar betapa Gabriel memang layak dikagumi. Karena waktu dia berjalan bersebelahan dengan Gabriel, Acha dapat merasakan tatapan kagum tertuju pada Gabriel.

Berjalan dengan seseorang seperti Gabriel, seharusnya membuatnya senang kan? Siapapun pasti akan merasa berjalan di awan kalau berjalan bersisian dengan Gabriel. Tapi bukan Acha. Karena entah kenapa, semua rasa gugup itu terasa… aneh…

Acha berbalik lagi ke arah kanan, meraih ponselnya. Sudah berkali-kali Acha terpikir untuk memencet sejumlah tombol, tapi dia selalu mengurungkan niatnya. Setengah dari hatinya memaksa Acha untuk segera mencari kenyamanan dan kehangatan dari sebuah suara. Tapi setengah lagi dari hatinya merasa, sungguh konyol kalau sampai dia melakukan hal itu. Untuk apa dia menelepon seseorang yang selalu disebut-sebut Rio punya penyakit putus saraf-saraf kewarasan?

Acha menggigit bibir. Lalu memutuskan menekan nomor itu. Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Hingga lima kali. Dengan cepat Acha menekan sebuah tombol untuk memutuskan sambungan, lalu meletakkan ponselnya kembali di sebelah bantal. Merasa sangat bodoh telah melakukan hal yang baru saja dia lakukan. Acha berbalik kembali ke kiri. Berusaha memejamkan mata.
Sampai sebuah bunyi halus terdengar, menandakan SMS yang masuk. Jantung Acha kembali meloncat. Dengan tergesa-gesa Acha meraih ponselnya, dan menatap layar itu.

Sender: OZY Ganteng sang Pujaan Wanita

Baru membaca tulisan itu saja Acha sudah tersenyum kecil. Beberapa minggu yang lalu, Ozy yang memaksa untuk menyimpan sendiri nomornya di ponsel Acha dengan nama ajaib itu. Acha berkali-kali mengancam Ozy untuk menggantinya, tapi Ozy selalu menolak. Yah, Acha sendiri sebenarnya tidak serius dengan ancaman itu, sih…

Acha menekan tombol lain untuk membaca pesan yang dikirim Ozy.

Cha! Lo nelpon? Lo baik2 aja kan? Gua telpon balik ya?

Belum sempat Acha membalas pesan itu, ponselnya berdering.

“Halo Zy..”

“Chaaa… lo kenapa? Kok jam jin lagi buang anak gini, lo belum tidur? Malem gini lo ngeronda? Kasian amat sih komplek lo sampai cewek kayak elo diberdayagunakan segala sebagai satpam keliling?”

“Nggak sih… Lagi susah tidur aja…”

“Terus kalo lo susah tidur, ngapain lo nelfon gua?”

Pertanyaan bagus. Karena Acha sendiri tidak tahu jawabannya. Yang dia tahu, dia hanya ingin mendengar suara Ozy. Saat ini, Acha tidak sanggup bicara. Entah kenapa perasaannya begitu campur aduk untuk dapaty sekedar disuarakan lewat kata-kata. Maka Acha hanya bisa terdiam.

“Cha? Cha? Acha kok diam aja? Acha kenapa? Acha sakit? Acha baik-baik aja kan?”

Suara Ozy tiba-tiba terdengar begitu khawatir. Mendengar nada suara Ozy yang seperti itu, Acha tiba-tiba ingin menangis. Tiba-tiba saja Acha ingin berlari dan menyandarkan kepalanya di pundak Ozy. Karena Acha merasa, di sisi Ozy, semuanya pasti akan baik-baik saja. Karena Ozy akan selalu membuatnya tertawa kembali. Akan selalu membuatnya merasa nyaman.

“Achaa.. Acha kok diam ajaa… Aku kesana sekarang ya?” suara Ozy terdengar kembali.

Acha menggigit bibir, memaksakan diri untuk menjawab, “Ga kok. Gapapa. Beneran. Ini aku udah mau tidur kok…”

“Acha beneran ga papa?”

“Beneran Zy…” Acha menjawab, sambil berusaha untuk tersenyum. “Sorri udah ganggu kamu malam-malam gini..”.

“Ya udah deh kalo gitu… Acha sekarang tidur yaa.. Kalo ada masalah, dilupain dulu. Besok kalo Acha mau cerita, cerita aja. Yang penting sekarang Acha istirahat ya..” suara Ozy terdengar kembali. Acha tersenyum mendengar nada suara itu. Nada suara yang begitu penuh perhatian. Nada suara yang belum pernah Acha dengar sebelumnya. Yang Acha tahu, suara itu betul-betul menenangkannya.

“Iya Zy… Makasih ya Zy… Sorri udah bangunin kamu”

“Gapapa kok Cha… Tidur sekarang ya Cha, semoga mimpi indah…”

“Iya…”

“Eh Cha?”

“Apa?”

“Tapi kalo mau mimpiin gua, ambil nomer antrian dulu gih. Banyak yang udah booking gua buat didatengin dalam mimpinya. Antrian pertama si Widi Vierra tuh…”, nada suara Ozy kembali terdengar seperti biasanya. Membuat Acha tertawa kecil.

“Kamu ini… Ah udah ah… aku mau tidur sekarang…”

“Mau tidur apa mau pingsan dulu saking senengnya ngobrol sama gua?” Ozy setengah terkekeh menggoda Acha.

“Ozyyy… udah ah… Dah Ozyy…”.

Dengan setengah terpaksa, Acha memutuskan sambungan. Walaupun sebenernya dia masih ingin terus mengobrol dengan Ozy. Terus mendengar suara yang seperti lonceng itu. Yang selalu membuatnya yakin, bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja…

***

Ozy melemparkan kembali ponselnya ke sebelah bantal. Kemudian menyelipkan kedua tangannya di bawah kepala. Dalam hati Ozy berpikir, kenapa malam ini aneh sekali sih? Pertama tadi Ify yang kelakuannya kayak jaelangkung kesambet nenek sihir. Dan barusan? Ozy bangkit sambil menggaruk-garuk belakang telinganya. Dia lalu duduk bersandar di dinding, dengan pandangan menerawang.

Kata Ify tadi, Acha malam ini merasa senang. Tapi dari telepon Acha tadi, sepertinya kata ‘senang’ bukan gambaran yang tepat atas keadaan Acha. Ozy menghela nafas, dan merogoh ke balik bantal. Dari bawah bantal, dia menarik selembar foto. Fotonya saat berdua dengan Acha, duduk beradu punggung di pinggir kolam renang. Acha dengan mata bulatnya yang sedang tersenyum manis. Perlahan, Ozy mengusap permukaan foto itu.

“Sleep well, my little fairy…” bisik Ozy perlahan, sebelum menyelipkan kembali foto itu di bawah bantal. Ozy kemudian merebahkan kepalanya kembali.

Dia menghela nafas, sejenak pikirannya melayang pada jadwal wawancaranya besok. Rio sudah menjalani jadwal wawancaranya jam 3 sore tadi. Dan dia langsung menelfon Ozy untuk menceritakan pengalamannya. Bahkan Pak Duta pun sempat mengiriminya SMS, memberikan semangat untuknya. Dalam hati, Ozy berjanji, akan berusaha sebaik-baiknya. Dia tak akan mengecewakan Pak Duta yang sudah mempercayainya dan menawarkan jalan untuk kesempatan ini.

Besok pagi. Salah satu langkah yang mungkin akan menentukan hidupnya beberapa tahun ke depan. Tapi itu berarti, besok pagi dia tidak bisa langsung menemui peri kecil itu. Peri kecil yang entah kenapa tadi seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Ozy menutup matanya. Sambil mengucap doa dalam hati, agar Tuhan mengutus bintang-bintang yang tengah bersinar lembut untuk menjaga si peri kecil yang lelap dalam tidurnya.

***

Acha setengah berlari menuju pintu kelas. Begitu sampai di pintu kelas, dia berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Saat melangkah masuk ke dalam kelas, Ify melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar.

“Cieee… kayaknya ada yang seneng banget nih tadi malem…” kata Ify begitu Acha sampai di sebelahnya, dan meletakkan tasnya di kursi.

“Seneng kenapa?” tanya Rio.

“Ah, urusan cewek…” sahut Ify sambil melempar pandangan ke arah Rio, lalu menoleh kembali ke arah Acha. “Gimana tadi malaam??”

Bukannya menjawab, Acha malah balik bertanya.

“Ozy kok belum dateng sih?”

Rio menoleh sekilas ke arah bangku kossong di sebelahnya. Lalu menjawab pertanyaan Acha sambil mengambil buku dari ranselnya, “Ozy? Ada urusan. Ntar rada siangan baru dateng…”

“Terus, dia telat?” tanya Ify.

Rio masih tidak mau menatap Acha dan Ify. Dia lebih memilih untuk membuka-buka buku Matematikanya sambil menjawab, “Iya. Tapi udah dapet izin kok.”

Ify masih ingin mengejar dengan pertanyaan, tapi dering bel mengurungkan niatnya. Maka dia hanya mengangkat bahu sambil menoleh ke arah Acha. Dengan senyuman menggoda, Ify sempat berbisik,

“Gimana Cha? Tadi malem?”

Acha menghela nafas. Dia betul-betul tidak ingin menjawab. Karena dia merasa hari ini ada yang kurang: Ozy. Tidak ada Ozy. Untunglah Bu Winda yang masuk ke kelas menyelamatkan Acha dari keharusan menjawab pertanyaan Ify.

Bel istirahat pertama berdering. Rio merogoh kamera dari ranselnya, dan berdiri. Ify juga ikut berdiri, lalu bertanya pada Acha, “Cha, gua sama Rio mau motret-motret beberapa tempat di sekolah. Lo mau ikutan ga?”

Acha melirik kembali ke bangku Ozy yang masih kosong. Menghela nafas, dan tersenyum sambil menjawab pertanyaan Ify. “Ga deh Fy… lagi males…”

“Cieee… masih kepikiran yang tadi malem?” Ify menggoda Acha kembali.

“Gaaaa… lagi males aja…”

“Fy? Woi! Buruu…” Rio ternyata sudah sampai di pintu kelas.

“Sana gih…” kata Acha pada Ify. Ify mengangguk, dan melangkah cepat menuju Rio. Acha? Dia tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Dengan malas, dia berdiri dan melangkah keluar kelas. Di depan kelas, dia duduk di bangku panjang sambil memain-mainkan ponsel di tangannya. Entah berapa lama dia duduk disitu, Acha tidak terlalu menyadarinya. Siswa-siswa lain yang hilir mudik di depannya pun tak dipedulikannya. Pikirannya terlalu penuh dengan keresahan.

Telfon…enggak… Telfon… enggak… Acha menggigit bibir, lalu menggelengkan kepala. Apa di SMS aja ya, pikir Acha. Dengan ragu-ragu, dia menekan sejumlah tombol, tapi lalu menghela nafas kembali. Ga usah ah. Ngapain juga. Tapi Acha masih ragu. Ozy kemana sih?

“Udaaah… SMS ajaaa…”, Ify tiba-tiba sudah duduk di sebelah Acha sambil menepuk bahunya. “Bilang makasih soal tadi maleeem…” lanjut Ify lagi, masih dengan senyum menggodanya.

Acha mengangkat alis dengan heran melihat Ify sudah kembali. “Kok bentar amat Fy?”

“Sebentar apaan? Bentar lagi udah mau bel kok…” kata Ify sambil melirik jam tangannya. Benar saja. Baru saja Ify menyelesaikan kalimatnya, bel sudah berdering nyaring. Tapi Ozy masih belum nampak. Maka Acha masih terus kehilangan semangat. Untuk alasan yang Acha sendiri tidak bisa mengerti kenapa.

Setengah jam sebelum istirahat kedua, Ozy mengetuk pintu dengan ragu. Bu Okky menoleh, mengisyaratkan agar Ozy masuk. Dengan bergegas, Ozy masuk, menghampiri Bu Okky dan menyerahkan selembar surat kepada Bu Okky. Bu Okky hanya tersenyum, dan menyuruh Ozy duduk.

Acha melirik dari bangkunya. Ozy sempat melemparkan senyuman kecil ke arah Acha, sebelum duduk di bangkunya.

Rio menjawil lengan Ozy dengan pulpennya sambil berbisik pelan, “Gimana tadi? Ditanyain apa aja?”

Ozy menggeleng perlahan, “Tauk deh Yo… Gua yang penting usaha dulu… Gimana hasilnya entar.. Pertanyaannya ya kurang lebih kayak lo kemaren…”

Rio tersenyum, meninju pelan lengan Ozy, “Sukses deh buat elo…”

Ozy balas tersenyum, “Elo juga Yo…”

Begitu bel istirahat kedua terdengar, Ozy segera berdiri dan melangkah ke sebelah Acha. Dia lalu duduk setengah berlutut di sebelah Acha. Kedua tangannya terlipat di atas meja Acha. Dengan wajah serius yang jarang dilihat Acha.

“Cha, sorry… gua mesti ketemu Pak Duta dulu bentar… Acha beneran ga papa sekarang?” tanya Ozy dengan suara lirih. Acha tertegun. Tidak menyangka akan diperlakukan semacam itu oleh Ozy.

“Em… beneran. Udah gapapa kok…”

“Acha nanti aja ceritanya ya…”kata Ozy sambil bangkit kembali. Sambil tersenyum, dia menepuk perlahan lengan Acha sebelum setengah berlari keluar kelas.

“Ngapain si Ozy?” tanya Ify dengan heran. Dia menatap Acha. “Dia ngomong apaan sama elo?”.

Acha menggeleng pelan, “Ga… Gapapa kok…”. Ify hanya mengangkat alis. Semakin tidak mengerti. Kenapa wajah Acha seharian ini tidak seceria yang dia bayangkan sebelumnya? Bukankah tadi malam Ify telah berhasil mengatur agar Acha berduaan dengan pujaan hatinya selama ini?

Akhirnya, hari yang bagi Acha terasa sangat panjang itu berakhir juga ketika bel pulang berdering. Dari belakang Rio menjawil pundak Ify sambil bertanya, “Fy, yang tadi dilanjutin lagi dikit ya…”. Ify mengangguk, dan berdiri mengikuti Rio. Rio berjalan terlebih dulu keluar.

“Ngelanjutin apaan Fy?” tanya Acha.

“Itu… yang motret-motret sekolah tadi masih ada beberapa lagi yang kurang. Nanggung, mending dikelarin sekarang. We just need to take some pictures from 2 or three places more…” kata Ify sambil menyelempangkan tasnya.

“Eh, tapi tadi malem lo dianterin Gabriel pulang dengan selamat kan?” tanya Ify lagi, sekali ini sambil tersenyum kecil.

Ozy yang masih duduk di kursinya tersentak. Lalu berharap setengah mati bahwa untuk kali ini saja telinganya salah mendengar.

“Dianterin pulang? Sama Gabriel? Apaan sih Fy? Kok tau-tau si Gabriel maen anter aja?”

Ify tertawa, lalu menggerakkan dagunya ke arah Acha, “Tuh. Just ask her. Tanya aja tuh sama yang tadi malem nonton beduaan…” Sambil tertawa kecil Ify lalu keluar kelas, menyusul Rio yang menunggunya di pintu kelas sambil menjinjing kamera.

JEDEEEERRRR….

Ada petir khayalan di langit sana, yang menghantam langsung tepat di dada Ozy.

+++

Petir? Wah, apa lagi ada Zeus dan Lightning Bolt nya ya? Dalem banget tuh petirnya nancep di hati Ozy. Mengetahui bahwa orang yang kita suka ternyata baru saja nge-date sama orang lain, gimana ga nyesek cobaaaa...???
Beuh, nyeseknya sampe Part 22 muncul nih ^_^
Masih mau baca ga? Mau yaaa... *ngarep*

Cheers

=Ami=

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/i-love-you-i-love-you-not-21

You Might Also Like

0 comments