I Love You, I Love You Not : Part 25

15.12.00

Part 25: Bangku Ozy yang Kosong

Di tengah hujan, Ify mengejar Rio untuk meminta Rio tetap bersamanya. Mendengar pengakuan Ify, akhirnya Rio pun yakin bahwa perasaan yang sesungguhnya Rio miliki tidaklah bertepuk sebelah tangan.
B.a.i.k.l.a.h.
Bang Ozy apa kabar yak? Teman sebangkunya sukses jadian dengan si ratu salju, apakah Ozy juga akhirnya bisa mengatasi ketidakpercayaan dirinya dan menyatakan perasaannya terhadap Acha?
Mari kita tengok kabar abang tukang kue yang satu itu...

+++

Citra Nusa gempar. Ify si selebritis sekolah yang ratu es itu tiba-tiba melewati koridor sekolah sambil menggandeng seseorang. Seandainya yang digandeng Ify adalah Gabriel, mungkin tidak akan ada yang gempar. Hanya sekedar permakluman. Tapi ini, yang digandeng Ify adalah seseorang yang begitu jauh dari image Ify sebagai selebritis sekolah. Tapi toh Ify tetap berjalan dengan kepala tegak, tanpa melepaskan tangannya dari genggaman Rio.

So be it. Sudah resmi. Rio dan Ify.

Kegemparan itu tentu saja diikuti dengan gosip yang beredar di kalangan siswa putri: kalau Ify sama si Rio, artinya Gabriel? Gabriel sama siapa dong? Selama ini Gabriel selalu bersama Ify. Kalau sekarang Ify mengesahkan hubungannya dengan Rio, artinya Gabriel single and available dong?

Dan tiba-tiba saja jumlah penonton Gabriel di lapangan basket meningkat secara signifikan. Jumlah orang yang secara “kebetulan” lewat di depan kelas Gabriel mendadak melonjak naik. Acha berusaha untuk tidak ikut-ikutan peduli dengan berita itu. Tapi adalah sangat sulit untuk tidak peduli jika ada Ozy yang selalu menggodanya dengan mengatakan bahwa Gabriel itu sudah “publicly available”. Ozy yang terus-terusan menjawilnya kalau Gabriel lewat di depan kelas mereka, sambil berbisik, “samber aja Cha…”. Meskipun selalu merasakan wajahnya merona tiap kali Ozy bertingkah seperti itu, Acha sebetulnya merasa berterima kasih kepada Ify. Entah kenapa, Ify akan selalu menatap Ozy dengan galak setiap kali Ozy selalu memanas-manasi Acha tentang status ketersediaan Gabriel sebagai seorang “most-wanted-jomblo” di Citra Nusa. Dan Acha lebih bersyukur lagi, karena semenjak hari setelah dia menonton berdua dengan Gabriel, Ify tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal Gabriel di depan Acha. Entah kenapa. Acha pun tidak ingin mengungkit-ungkitnya.

Yang Acha tahu sekarang, dia tidak suka kalau Ozy menggodanya soal Gabriel. Karena Acha semakin menyadari, bahwa dia sebetulnya tidak peduli. Dia sudah tidak peduli lagi Gabriel sedang apa, berada dimana, atau bersama siapa.

Acha tidak lagi memedulikan Gabriel. Terutama hari Sabtu ini, ketika bangku Ozy kosong sepanjang hari. Rio pagi itu datang dengan membawa surat keterangan bahwa Ozy sedang sakit. Hanya satu kata yang menggambarkan hati Acha: sepi.

Acha sebenarnya tidak ingin pergi, tapi dia tidak bisa menolak saat Ify dan Rio mengajaknya ke kafetaria. Rio dan Ify setengah memaksa Acha, mengingatkan dia bahwa penyuplai makanan mereka sedang tidak ada. Di kafetaria, dengan malas-malasan dan tidak bersemangat, Acha mengaduk kembali es tehnya. Memperhatikan butiran-butiran gula yang belum larut, menyebar di antara es batu dalam gelas itu. Gula. Manis. Seperti senyum Ozy, pikir Acha. Yang membuatnya malu sendiri. Untuk apa dia memikirkan Ozy seperti itu?

“Hei…”

Sebuah sapaan, yang tidak jelas ditujukan pada siapa membuat Acha menghentikan lamunannya dan mengangkat wajah. Di kursi di depan Acha, Ify dan Rio yang tadi sedang sibuk membahas apakah cabe rawit berwarna hijau lebih pedas daripada cabe merah keriting, ikut menghentikan perdebatan tidak penting mereka.

Ada Gabriel tersenyum ke arah mereka. Sambil menenteng teh botolan di tangannya.

“Boleh ikutan duduk ga?” tanya Gabriel.

Rio merapatkan posisi duduknya di sebelah Ify. Entah sadar atau tidak, sebelah tangannya meraih jari-jari Ify di atas meja dan menggenggamnya. Seakan-akan menegaskan bahwa Ify adalah miliknya. Tapi toh, Rio tersenyum tipis sambil menunjuk bangku di sebelah Acha dengan dagunya.

“Duduk aja Yel…”

Ify juga mengangguk. Sementara Acha hanya menoleh sekilas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada es tehnya.

“Tumben ga sama-sama Cakka, Yel?” tanya Ify.

“Cakka lagi promo album band-nya gitu. Jadi izin seminggu gitu deh…” sahut Gabriel, lalu menyeruput minumannya.

“Eh Yel, masih inget Sivia ga? Yang sepupu gua ituuu… Anaknya Tante Maria…” tiba-tiba Ify bertanya pada Gabriel.

Gabriel mengangguk. Yang disambut Ify dengan rentetan kalimat lagi.

“Minggu malem besok nonton bareng sama gua sama Rio yuk, sama si Sivia juga! Lagian kan Senin besoknya libur, tanggal merah gitu” ajak Ify pada Gabriel. Gabriel tersenyum kecil.

“Boleh deh… aku juga ga ada rencana kok…” sahut Gabriel sambil mengangguk. Gabriel lalu menoleh ke arah Acha, “Kamu mau ikut juga ga Cha?”

Acha masih terpaku pada gelasnya sampai Ify menendang kakinya di bawah meja.

“Woi, Cha! Mau ikutan ga lo?”

Kaget dengan tendangan tadi, Acha mengangkat wajah sambil berseru kecil, “Hah? Apa Zy?”.

Begitu kalimat tadi terlontar, Acha langsung merasa wajahnya panas. Dia cepat-cepat meralat kalimatnya, “Eh, apa Fy?”

Ify memutar-mutar bola matanya, lalu melirik ke arah Rio. Rio hanya mengangkat bahunya sedikit. Merasa tidak perlu berkomentar. Hanya Gabriel yang mengulangi pertanyaannya.

“Kamu mau ikut juga? Nonton bareng kami?”

Acha menggeleng pelan. “Sorry deh. Tapi kayaknya enggak deh. Lagi males…”.

“Oh, ya udah…” sahut Gabriel sambil tersenyum kecil. Tapi senyuman itu luput dari perhatian Acha. Karena Acha kembali memandangi gelasnya, berharap menemukan bayangan senyum Ozy di pantulan gelas itu. Sementara Rio, Ify dan Gabriel mengobrol kembali, Acha tidak ikut ambil bagian. Karena saat ini, yang dia rindukan hanya derai tawa Ozy.

***

“Pak Ony tunggu sini aja dulu ya Pak…” kata Acha saat turun dari mobil sambil menenteng seplastik apel. Gang dimana rumah Ozy berada tidak terlalu nyaman untuk dilewati mobil. Maka Acha masih harus berjalan beberapa ratus meter, sebelum akhirnya membuka pintu pagar rumah Ozy. Dengan ragu, Acha mengetuk pintu itu sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa lama, Acha mengetuk kembali. Kali ini tidak perlu waktu lama, pintu itu berderit membuka. Senyuman ramah dari nenek Ozy menyambutnya.

“Eh, Acha kan ya?”

Acha tersenyum. “Iya Nek… Ozy katanya sakit ya Nek?”

Neneknya Ozy membukakan pintu lebih lebar, “Iya… dari kemaren sore demam. Tadi pagi juga masih panas. Masuk aja Cha… Ozy lagi tiduran di kamarnya…”

Acha mengikuti sang nenek ke kamar Ozy. Nenek Ozy kemudian membukakan pintu kamar Ozy, membiarkan Acha melangkah masuk.

“Acha, ga papa sendirian ya… Nenek mau ke dapur dulu, masih ada pesenan kue…”

Acha mengangguk, dan wanita tua itu pun meninggalkan Acha sendiri. Acha melangkah mendekati tempat tidur Ozy, dimana Ozy tengah berbaring sambil menutup mata. Nafas Ozy yang teratur menunjukkan bahwa dia masih terlelap. Perlahan Acha mendekati tempat tidur, dan berlutut di sebelah tempat tidur itu Kedua belah tangannya terlipat di sisi tempat tidur. Dengan perasaan campur aduk, Acha memandangi wajah Ozy yang begitu pucat.

Acha menempelkan telapak tangannya di kening Ozy, merasakan panas yang ada disana. Acha berharap dapat memindahkan sebagian dari panas itu ke dirinya, sehingga Ozy tidak harus menderita seperti ini. Dengan lembut, Acha menggerakkan jemarinya untuk membelai rambut Ozy yang sedikit ikal. Kepala Ozy sedikit bergerak saat jari-jari Acha menelusuri jejak-jejak rambut di batas kening Ozy. Sekilas Ozy seperti membuka kedua matanya, yang segera tertutup kembali.

Acha menghela nafas dan membiarkan jari-jarinya tangan kanannya terus membelai rambut Ozy. Kepala Acha bersandar pada tangan kirinya yang terlipat di sisi tempat tidur, terus memandangi Ozy yang masih bernafas teratur dengan tenang. Acha membiarkan beberapa menit berlalu dalam keheningan. Seandainya saja rasa damai di sisi Ozy seperti ini tidak terjadi saat Ozy terbaring pucat seperti itu, Acha pasti merasa lebih bahagia.

Acha melirik ke arah meja belajar Ozy, dan melihat sebuah mangkok dengan selembar handuk kecil di dalamnya. Acha bangkit, mengambil mangkok itu dan melangkah keluar. Perlahan, Acha menutup pintu kamar, dan melangkah menuju dapur.

***

Ozy membuka mata, dan memandang ke sekeliling. Sepi. Hanya dirinya sendiri. Ozy jadi menyesal, kenapa mesti terbangun. Karena sepertinya tadi dia bermimpi, ada Acha di sisinya, tengah membelai rambutnya. Tapi pasti mimpi. Karena sekarang dia masih sendirian di kamar. Ozy meraba keningnya sendiri, masih terasa panas. Kepalanya masih terasa berat. Ozy menghela nafas. Benar juga, demam semacam ini bisa membuat orang berhalusinasi. Ozy menutup matanya kembali, mencoba untuk tidur lagi. Tapi sebuah pikiran aneh terlintas di benak Ozy: sepertinya tadi ada plastik di atas meja belajarnya. Punya siapa ya?

***

Acha membuka pintu kamar, dan melongok ke dalam. Ozy masih tidur sepertinya, walaupun posisi berbaringnya sedikit bergeser. Acha melangkah masuk sambil membawa sebuah piring, sebilah pisau dan mangkok berisi air dingin. Setelah meletakkan semua bawaaannya di atas meja, Acha perlahan menggeser kursi dari depan meja belajar ke sisi tempat tidur Ozy. Acha duduk di kursi itu, mencelupkan handuk kecil ke dalam mangkok berisi air itu.

Perlahan Acha memeras handuk itu, dan dengan lembut meletakkannya di kening Ozy, sambil mengucap doa sepenuh hati. Perlahan, telunjuk Acha menelusuri batas rambut di kening Ozy. Menikmati tiap lekuk wajah Ozy dari dekat.

Tiba-tiba, Ozy membuka mata, melihat wajah Acha yang begitu dekat di hadapannya. Ozy membuka mulut, setengah ternganga tanpa suara melihat pemandangan yang ada di hadapannya.

Acha tertegun, begitu mendapati Ozy membuka kedua matanya yang kini menatap langsung ke arah Acha.

Selama dua detik, mereka bertatapan dengan rasa terkejut, sampai akhirnya…

“HUAAAA!!!” Ozy setengah berteriak dan langsung bangkit untuk duduk di tempat tidurnya. Handuk kecil yang tadi diletakkan Acha di kening Ozy terjatuh ke pangkuannya. Ozy menatap Acha dengan wajah tidak percaya. Acha sendiri menutup mulutnya dengan tangan. Rasa terkejutnya karena Ozy yang bangun tiba-tiba semakin ditambah dengan reaksi Ozy tadi.

Ozy perlahan menyentuhkan telunjuknya ke lengan Acha, dan begitu merasakan bahwa yang duduk di kursi itu benar-benar Acha, Ozy dengan nada tidak percaya berkata dengan nada suara lebih lirih dari teriakannya tadi.

“Acha? Ni beneran? Lo bukan dakocan yang menyamar jadi Acha kan?”

Acha tertawa kecil dan sedikit mendorong pundak Ozy.

“Kamu tu lhooo… udah ditengokin bukannya seneng…”

Ozy terkekeh, melipat kedua tangannya di dada sambil memandang Acha. “Ga sih, ga nyangka aja. Kirain gua mimpi doang ada elo…”. Ozy lalu menoleh ke arah pintu. “Lo sama siapa Cha? Sama Rio sama Ify juga?”

Acha menggeleng, “Sendirian, tadi dianterin Pak Ony…”

Ozy mengangkat alis, berusaha menekan perasaan senang yang mulai muncul di dadanya. “Beuh, Rio sama Ify… mentang-mentang baru jadian, lupa dah sama gua…”

Acha tersenyum kecil, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Udah makan Zy? Mau apel ga?” tanya Acha sambil beranjak ke meja belajar dan mengambil sebutir apel dari kantong plastik yang dibawanya tadi.

“Oh, plastik itu tadi lo yang bawa Cha? Pantesaaan… Kok tadi berasa ada yang lain di atas meja itu…”

Acha mengangguk, “Iya, tadi sempet singgah bentar di supermarket gitu sebelum kesini…” kata Acha sambil mulai membelah apel tadi menjadi 4 bagian dengan pisau yang dipinjamnya dari neneknya Ozy tadi. Acha mengambil salah satu potongan apel, membelahnya lagi menjadi dua dan mulai mengupasnya. Ozy mengamati setiap gerakan Acha. Menikmati setiap saat dimana dia bisa melihat peri kecil itu berada di dekatnya seperti ini.

Acha mengacungkan potongan apel yang sudah selesai dikupasnya, “Jadi dimakan ga?”

Ozy terkekeh. “Eh, beneran dikupasin sama dia… Sekalian disuapin dong…”

Acha menggigit bibir. Lalu menyorongkan apel itu ke bibir Ozy. Sambil berusaha tersenyum.

“Nih… ayo dimakan…”

Ozy ternganga. Tapi tidak menolak. Perlahan, Ozy menggigit potongan apel di tangan Acha itu. Lalu mengunyahnya pelan-pelan sambil tersenyum menatap Acha. Acha merasakan wajahnya merona. Tapi dia tidak sanggup mengalihkan pandangannya dari senyuman Ozy, karena tak hanya bibirnya, sepasang mata Ozy yang tengah menatapnya itu juga tersenyum. Dan Acha tidak ingin kehilangan sedetik pun saat dimana dia bisa menatap senyum itu.

Ozy menelan apel di mulutnya, dan berkata lembut, “Makasih ya Cha…”

Acha tersenyum, dan kembali mendekatkan sisa apel yang masih ada di tangannya ke bibir Ozy. Ozy kembali menggigit apel itu, dan menikmatinya tanpa melepaskan pandangan dari Acha. Selama beberapa lama mereka diam, merasa tak perlu mengatakan apa-apa, karena hanya dengan berdua seperti inipun sudah terasa nyaman. Tanpa perlu kata-kata apapun.

“Mau lagi?”, tanya Acha setelah sepotong apel yang dikupasnya tadi telah dihabiskan oleh Ozy. Ozy menggeleng, meskipun masih tersenyum.

“Nggak usah Cha, makasih…”

Dalam hatinya, Acha menelan sedikit rasa kecewa. Tapi Acha tetap membalas senyum Ozy. Acha beranjak kembali ke meja belajar Ozy dan meraih gelas minuman yang ada disana, lalu menyerahkannya pada Ozy.

“Minum dulu gih Zy…”

Ozy mengangguk saat meraih gelas itu. Ozy meneguk isinya perlahan-lahan, kali ini pandangannya menerawang. Acha duduk kembali di kursi sebelah tempat tidur Ozy. Pandangan Acha lalu jatuh ke sebuah buku yang ada di sebelah bantal Ozy.

“Kamu lagi sakit gitu masih aja baca Zy?” kata Acha sambil meraih buku itu dan menelitinya. Sebuah buku tebal berbahasa Inggris, isinya penuh dengan gambar-gambar berbagai bangunan.

“Lah, daripada gua jadi reog? Mending gua ganttin si Dude Herlino kali….” jawab Ozy, membuat Acha tertawa kecil.

“Tapi emang kamar kamu isinya buku semua gini sih Zy…” kata Acha sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Lalu menoleh ke arah Ozy dengan pandangan menggoda.

“Kurang satu lagi nih di kamar kamu…”

“Hah? Kurang apaan? Gua udah ganteng kayak gini udah cukup bersinar dah kamar gua, ga usah diapa-apain lagi…”

“Kok ga ada foto ceweknya sih? Digantung dimanaaa…gitu… Biar dindingnya rada segeran dikit..”

Bukannya menjawab, Ozy malah tertawa. Walaupun akhirnya sambil meletakkan gelasnya di atas meja belajar, Ozy menyahut, “Yah, lagian foto siapa coba yang mau gua gantung?”

“Ya mana aku tauuu… Hmm… Widy Vierra, mungkin?”

“Yaelah… si Widy lagi dia bawa-bawa…”

“Lah, habis kayaknya kamu kalo ngomongin Widy kayak yang naksir abis gitu…”

“Beuh, jeles ya lo Cha? Sama Widy gua ngepens kali..ngepeeeensss…”

“Ga naksir?”

Ozy tertawa lagi. “Ya beda lah, antara naksir, sayang sama cuma ngefans doang….”

Acha mengangkat alis. “Bedanya gimana?”

Ozy menegakkan punggungnya lagi dan menatap Acha sebelum menjawab. “Ya beda lah Chaaa.. Kalo cuma sekedar naksir sih, gugupnya beda kali ya sama kalo sekedar ngefans ajah… Apalagi kalo udah sayang…”

Acha tidak mengatakan apa-apa. Menunggu Ozy menyambung kalimatnya.

“Kalo sayang, jauh lebih dalem kali ya Chaa…” tiba-tiba nada suara Ozy terdengar berbeda. Nada suaranya menjadi lebih rendah, memberi kesan bahwa Ozy sedang membicarakan hal yang serius.

“Aku sih mikirnya, kalo aku sudah sayang sama seseorang, itu karena aku merasa nyaman di sisi orang itu… Dan aku juga pengen dia merasa nyaman di sisi aku. Aku ngebayanginnya, kalo aku sedang bersama orang yang aku memang bener-bener sayang, kami bakal merasa nyaman, meskipun ga ngapa-ngapain. Meskipun cuma duduk sebelahan, ga sambil ngomong apa-apa. Karena aku yakin, kalo memang udah sama-sama sayang… yang namanya kata-kata itu udah ga perlu lagi. Yang penting adalah dia ada untuk aku, aku ada untuk dia…”

Ozy menggaruk-garuk belakang telinganya, “Eh, sorry Cha… aku jadi melantur kemana-mana gini ya ngomongnya?”

Acha tersenyum, “Gapapa kok Zy… Lanjutin aja…”

Ozy menghela nafas, mengalihkan pandangan dari Acha ke rak buku di hadapannya. Tatapannya menerawang.

“Kalo misalnya aku memutuskan menjalin hubungan yang serius, yah, katakanlah pacaran… aku pengen orang yang aku sayang bener-bener merasa nyaman di sisi aku, merasa bangga bahwa dia sudah memilih aku.”

Hening sesaat. Ozy dengan pikirannya sendiri, dan Acha dengan kesadaran yang perlahan merayap di hatinya. Bahwa selama ini, cahaya yang menghangatkan hatinya berasal dari sepasang mata yang kini tengah menerawang itu.

Ozy tiba-tiba menoleh kembali ke arah Acha, dengan ekspresi lembut yang jarang sekali dilihat Acha sebelumnya.

“Yang pasti Cha, kalau aku sudah sayang banget sama seseorang, aku cuma pengen satu hal. Melihat orang yang aku sayang itu bahagia. Itu saja. Itu sudah sangat cukup buat aku. Meskipun itu bukan bersama aku.”

Acha ingin menyerah. Untuk menitikkan air mata. Entah kenapa kata-kata Ozy tadi terasa menohok. Seandainya saja Ozy mengerti. Tapi Ozy tidak akan mengerti. Karena Acha sendiri pun masih belum benar-benar mengerti kenapa semua perasaan di hatinya ini seperti begitu menyesakkan.

Ozy tersenyum. Acha hanya mampu menunduk sambil menggigit bibir. Setelah menarik nafas beberapa kali, Acha mengangkat wajah. Yang dilihatnya adalah Ozy yang tengah memijat kedua pelipisnya dengan jari-jarinya.

Dengan khawatir Acha pindah dari kursi yang semula didudukinya, berlutut di sebelah Ozy.

“Ozy? Kamu ga papa? Kenapa? Pusing ya?”

Ozy menoleh, dan berusaha tersenyum. Meskipun wajahnya terlihat pucat.

“Ga kok… gapapa… cuma rada kecapean ajah…”

“Tidur lagi gih…” Acha meraih gelas yang tadi diletakkan Ozy di meja belajar dan menyorongkannya ke arah Ozy. “Minum dulu Zy, kamu mesti banyak minum, biar panasnya cepet turun.”

Ozy tidak menjawab, hanya mengangguk sambil mengambil gelas itu dari tangan Acha, dan menghabiskan setengah isinya dalam beberapa kali tegukan. Acha meraih gelas yang kini kosong itu dari tangan Ozy dan meletakkannya kembali di meja.

Ozy yang tadinya duduk bersandar, kini berbaring kembali. Acha kembali duduk setengah berlutut di sisi tempat tidur Ozy. Kedua tangan Acha terlipat di sisi tempat tidur.

“Cha…” suara Ozy terdengar lemah saat dia menggerakkan kepala untuk menoleh ke arah Acha dari atas bantal.

“Ya Zy? Kenapa? Pusing banget ya?” tanpa sadar tangan Acha bergerak kembali ke arah kening Ozy, menyentuh perlahan rambut ikal Ozy

“Cha, temenin aku bentar ya…” kata Ozy dengan suara sedikit bergetar.

Acha mengangguk perlahan, sambil terus membelai rambut Ozy. Ozy tersenyum.

“Makasih Cha…” kata Ozy, sebelum menutup matanya. Acha balas tersenyum, melihat wajah itu. Yang nampak begitu damai, meskipun terlihat pucat.

Acha tidak melepaskan pandangannya dari Ozy. Sepertinya Ozy memang benar-benar lelah. Dadanya naik turun dengan teratur, menunjukkan bahwa dia sudah jatuh terlelap. Dengan lembut Acha membetulkan letak selimut Ozy, lalu berdiri perlahan-lahan. Sambil menghela nafas, Acha meraih tasnya, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. Sebelum keluar, Acha menoleh sekali lagi. Memuaskan diri memandangi Ozy yang masih terbaring dengan tenang. Dengan wajah yang menyiratkan kedamaian. Meskipun kedua matanya tertutup, Acha tahu, ada sepasang bola mata yang selalu menyiratkan kehangatan.

Tiba-tiba saja Acha sadar. Bahwa perasaan yang sederhana ini telah tumbuh begitu saja, entah sejak kapan. Mungkin sejak pancaran mata itu menjadi matahari bagi hati Acha. Acha tersenyum pahit, menyesali betapa dia begitu terlambat menggenapkan hati untuk menyadari arti rasa ini. Di saat kata-kata Ozy tadi menjadi pertanda, bahwa dia sudah menarik diri.

Ozy… Akankah kelak dia mengerti?

Acha berbalik, melangkah keluar, dan menutup pintu. Perlahan.

+++

Hah? Masih ngegantung aja??? *nepok jidat sendiri*
Penulis juga kayaknya masih tega aja sama Ozy. Kemaren di JADOJC Part 25 (eh, apa 24 yak?) si Ozy dibikin babak belur karena digampar, disini malah dibikin jatuh sakit.
Emang Ozy sakit apa sih?
Terus kayaknya juga masih ngegantung aja nih si Ozy, padahal kan Acha akhirnya nyadar kalo dia merasa gimanaaaa gitu sama Ozy... *Acha telat banget yak?*
Kira-kira... bakal ngegantung sampe kapan ya?
Moga-moga aja ngegantung sampai Jum'at malem doang ya, waktu Part 26 diposting... ^_^
Haha? Lama? Biarin... hahahaha...
Betewe, sampai sejauh ini, part paling berkesan bagi kalian part berapa sih? Pengen tau niiihhh...
Terus paling suka bagian apanya dari ILYILYN ini?
Kasih tau penulis dooong... Biar inspirasinya ga kering-kering amat..
Thanks ya! Ditunggu lhoooo komentarnya...

Cheers

=Ami=

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/i-love-you-i-love-you-not-24

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

You Might Also Like

0 comments