I Love You, I Love You Not : Part 28 [ENDING]

15.18.00

Part 28: Peri Kecil, dan Rumah yang Dia Tuju

Pagi hari, setelah acara kerusuhan di rumah Ozy yang melibatkan Ify dan usahanya yang gagal untuk menata rambut Ozy, Ozy mendatangi rumah Acha. Tanpa Acha sangka, Ozy mengajak Acha untuk pergi...piknik. Unyunyunyu...^_^
Hayooo... kira-kiraaaa... Ozy bakal berani ga nih akhirnya nyatain perasaannya sama Acha?

+++

Acha memandangi sekelilingnya dari bangku tua yang dia duduki. Sementara di sebelah kanannya, Ozy merogoh tas ranselnya untuk mengeluarkan kotak bekal andalannya, dan dua kotak minuman teh dalam kemasan yang masih nampak berembun. Semuanya dideretkan Ozy di sisi kanannya.
Acha memandang ke arah danau yang airnya berwarna hijau kebiruan di depannya. Bangku kayu yang dia duduki ini sepertinya sudah tua, buktinya catnya sudah terkelupas disana-sini. Tapi toh bangku itu tetap terasa nyaman diduduki. Sisi taman tempat bangku yang mereka duduki berada memang agak tersembunyi di sisi belakang taman, sekitar 300 meter dari gerbang taman tempat Ozy memarkir sepeda motornya tadi. Meskipun demikian, rumput-rumput yang hijau di sekitar tempat itu terlihat tidak terlalu berantakan. Mungkin petugas kebersihan yang mereka papasi di depan taman tadi masih sempat membenahi taman itu sampai di sebelah sini. Yang pasti, tempat ini terasa nyaman. Hijau. Teduh oleh segerombolan pohon yang daun-daunnya memayungi bangku yang tengah mereka duduki.

“Nih, buat Acha… Gua bikin sendiri tadi pagi.” Ozy menyodorkan setangkup roti berisikan selai stroberi ke arah Acha.

Acha menoleh dan mengambil roti itu dari tangan Ozy. Perlahan, dia menggigit dan mengunyahnya.

“Enak ga Cha? Gua jago ya bikinnya?”

“Yaelah Zy… cuma roti isi selai gini sih semua orang juga bisa bikin kaliii…” sahut Acha sambil tertawa geli.

“Yah, habis tadinya gua mau bikin klepon isi selai stroberi, malah didorong keluar dapur sama Nenek… Ya udah.. yang ada aja…”

“Lagian kamu itu lho Zy, sukanya aneh-aneh aja.” Komentar Acha sambil tersenyum geli dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun Acha tidak mau mengakuinya di depan Ozy, roti selai stroberi itu terasa jauh lebih manis dibandingkan roti isi manapun yang pernah dimakan Acha.

Selama beberapa menit selanjutnya, mereka hanya diam, menikmati bekal seadanya yang dibawa Ozy. Sambil menikmati air danau yang tenang tanpa riak di hadapan mereka.

“Nih…” kata Ozy sambil menyodorkan teh kotakan ke arah Acha. Acha menoleh untuk meraihnya, dan melihat ekspresi wajah Ozy yang tengah menerawang.

“Ozy? Mikirin apa?” tanya Acha sambil mengambil kotak minuman itu dari tangan Ozy. Ozy menoleh ke arah Acha, kemudian menaikkan kedua lututnya ke atas bangku dan meraih tas ransel yang ada di sebelahnya. Ozy merogoh ke dalam tas itu, mengeluarkan kertas tebal putih gading dan menyerahkannya kepada Acha. Sambil mengangkat alis, Acha menerima kertas itu dan mulai membaca isinya. Beberapa saat kemudian, Acha tertawa, dan menepuk pundak Ozy.

“Ozzzyyyyy… Ya ampuuunnn! Selamat yaaa… seneng banget! Jadi kamu tinggal mikirin UN aja dong, ga usah mikirin mau ke universitas mana lagi yaa.. Kan udah diterima disini…”

Ozy hanya tersenyum tipis. Memeluk kedua lututnya. “Kamu baca soal afiliasinya dual degreenya? Aku dapet jatah 2 semester terakhir di Melbourne, Cha…”

Acha membelalakkan mata, kemudian membaca ulang surat itu. Oh iya. Beberapa baris terakhir menyebutkan bahwa gelar kedua yang diterima Ozy dalam program dual degree ini akan diperoleh Ozy melalui kuliah selama 2 semester di Melbourne University. Acha menoleh kembali ke arah Ozy, yang masih memandang ke depan dengan tatapan menerawang.

“Wah, keren dong… ke luar negeri…”, dan di ujung kalimatnya, Acha merasa berat.

“Iya.” Sahut Ozy. Diam sesaat. Lalu menoleh ke arah Acha, “Yang artinya aku mesti ninggalin kamu…”

Acha termangu, menatap mata Ozy yang saat ini memandangnya. Sambil menggigit bibir, Acha menyerahkan kertas tadi kepada Ozy. Ozy memasukkan kertas itu kembali ke dalam ranselnya, lalu mengubah posisi duduknya hingga menghadap Acha, masih dengan kedua lutut yang dinaikkan ke atas bangku itu.

“Cha.. Aku mau minta maaf…”

Acha memandang Ozy, tidak memahami tujuan Ozy mengucapkan permintaan maaf itu.

“Minta maaf kenapa? Kamu dapet beasiswa gini kok malah minta maaf sih?”

“Cha, selama ini aku sudah bohongin kamu, aku sudah bohongin aku sendiri…”

Acha semakin tidak mengerti. Maka dia hanya berdiam diri, dan menunggu Ozy melanjutkan kalimatnya.

Ozy menumpukan dagunya di kedua lutut yang dipeluknya, tanpa mengalihkan pandangan dari Acha.

“Tau ga Cha, selama ini aku menganggap kamu seperti apa?”

Acha menggeleng. Tapi setengah mati ingin tahu.

Ozy menatap Acha dalam-dalam, dan tersenyum tipis, dengan ekspresi lembut. Perlahan, Ozy menyentuh poni Acha dan membelainya lembut.

“Kamu itu...kayak peri. Peri kecil yang bermain di taman bunga bersama kupu-kupu…” kata Ozy sambil membelai rambut di pelipis Acha. Begitu menyelesaikan kalimatnya, Ozy menarik tangannya kembali, dan menyelipkannya di bawah dagunya yang bertumpu pada kedua lututnya.

“Selama ini Cha, aku merasa bahwa aku cukup puas hanya menjadi satu diantara sekian banyak rumput di taman bunga itu, yang bebas mengamati kamu menari dan bermain disitu.”

Ozy tak sedetik pun melepaskan tatapannya dari bening kedua mata Acha. Sesaat dia menarik nafas, dan menyambung kalimatnya.

“Tapi lalu aku sadar. Kalau aku hanya sekedar menjadi rumput yang memandangi peri itu dari kejauhan, aku tidak bisa menjaga peri itu seutuhnya. Tidak bisa berlari untuk menangkap peri itu saat sayapnya mulai lelah dan terjatuh…”

“Acha.. “ kata Ozy perlahan lagi, dan memiringkan kepalanya sedikit ke sebelah kiri. “Aku boleh jujur ga?”

Acha perlahan mengangguk. Berusaha setengah mati menahan harapan yang kini mulai membuat dadanya serasa ingin meledak.

“Kalau dulu aku sudah puas sekedar jadi rumput biasa… aku…”, Ozy menghentikan kalimatnya sesaat. Ozy menarik nafas panjang, lalu meneruskan kalimatnya.

“Aku pengen jadi rumah yang dituju oleh peri itu.. Yang bisa menjaga si peri kecil dari apapun, melindunginya untuk melawan panas dan dingin dunia bersama-sama…”.

Ozy mengulurkan tangan kirinya ke wajah Acha, dan dengan lembut membelai pipi Acha dengan sisi dalam jari telunjuknya.

“Aku pengen menjadi rumah bagi peri kecil itu, menjadi tempat bagi dia untuk bersandar di saat lelah, menjadi tempat dimana dia bisa bercerita, menangis, bernyanyi, ataupun hanya sekedar duduk, diam, mendengarkan bisikan angin…”

Bahkan untuk bernafas pun Acha merasa tak sanggup. Karena dia merasa takut kehilangan saat-saat ini. Saat-saat dimana setiap aliran darahnya terasa beriak begitu kencang.

“Acha…”, Ozy meraih kedua tangan Acha, dan menggenggam jemari Acha.

“Aku tidak tahu apakah aku minta terlalu banyak. Aku tidak peduli Cha. Yang aku tahu, aku akan terus menerus mengulangi kesalahan bodoh kalau aku tidak pernah berani untuk menyatakan ini semua kepadamu. Semua perasaan yang selama ini aku biarkan untuk melangkah sendirian tanpa arah, padahal seharusnya perasaan itu berlari untuk menggapaimu Cha…”

Ozy menggigit bibir. Menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Kemudian Ozy mempererat genggamannya di jemari Acha.

“Acha… Aku… sayang sama kamu. Sayang banget. Melebihi dari sekedar sahabat…”

Bahkan bahagia pun tidak bisa benar-benar yang bisa menggambarkan perasaan Acha saat ini. Saat mengetahui bahwa perasaan sederhana yang sempat disembunyikan di sudut hatinya ternyata tak sendiri.

“Cha… Aku bener-bener sayang sama kamu. Boleh kan aku menemani kamu, menjaga kamu, menyayangi kamu lebih dari sekedar sahabat?”

Kalimat Ozy tadi, adalah pertanyaan terindah yang pernah didengar Acha. Maka tak ada yang lebih mudah untuk Acha lakukan, selain menganggukan kepalanya. Meskipun perlahan, Acha berharap, bahwa tatapan matanya dapat berbicara lebih dari sekedar gerakan kepalanya tadi.

Sebuah senyum terlukis di bibir Ozy. Dia melepaskan genggamannya dari jemari Acha, dan menempelkan kedua telapak tangannya di kedua pipi Acha.

“Terima kasih Cha…” ucap Ozy perlahan, lalu menyambungnya lagi “Peri kecilku….”.

Acha merasakan semburat panas menyebar mulai dari telinga hingga pipinya. Tapi toh, Acha tidak peduli. Karena panas di wajahnya tidak sebanding dengan kebahagiaan yang hangat di hatinya.

Dan tiba-tiba saja Ozy tersenyum lucu, sambil mencubit kedua pipi Acha.

“Pipi Acha jadi meraaahh… Manisnyaaa…!!!”

“Aaahhh… Ozy gitu ah…” seru Acha kesal sambil memukuli pundak Ozy. Meskipun dalam hati dia merasa melayang. Senang.

Ozy tertawa sambil merubah posisi duduknya kembali menjadi bersandar kembali di bangku itu. Ozy meluruskan kedua kakinya ke depan sambil merogoh saku celananya.

“Untung aku tadi ga salah ngomong. Udah takut aja kalo tiba-tiba aku lupa yang mau aku omongin ke kamu Cha. Padahal tadi malam udah setengah pingsan sepertiga kejang gua ngafalin kata-katanya” kata Ozy sambil menarik keluar selembar kertas yang terlihat sudah kusut dari saku jeans hitamnya. Ozy lalu membuka lipatan-lipatan kertas itu dan menekuni isinya.

Dengan penasaran, Acha mendekatkan dirinya ke arah Ozy, ingin ikut melihat isi kertas tadi. Tulisan Ozy yang terlihat memenuhi kertas itu, lengkap dengan berbagai coretan disana-sini. Acha mengerutkan kening, meneliti beberapa kata yang sepertinya familiar, dan dua detik kemudian langsung tertawa.

“Ya ampun Zyyyy… jadi semua yang barusan kamu omongin ke aku tadi udah kamu siapin toh?” kata Acha sambil mendorong pundak Ozy.

“Eh, jangan salah. Udah dibilangin aku bingung banget nyari kata-kata yang pas. Ini perjuangan banget tau, nyari kalimat-kalimat romantis kayak gini! Gua aja sempet kepikir, kayaknya ngerjain 20 halaman soal trigonometri berasa lebih gampang daripada jadi mendadak romantis gini!” kata Ozy dengan badan sedikit condong ke samping akibat dorongan Acha tadi. Ozy masih mencermati kertas tadi dengan kening berkerut, lalu tiba-tiba menoleh ke arah Acha.

“Eh, Cha! Kayaknya akhirnya tadi malah banyak yang spontan deh. Soalnya banyak banget kata-kata yang ternyata ga sama kayak rencana aku semula. Terus yang bagian ‘menemanimu meskipun hanya dengan sebatang lilin’ juga ketinggalan… Aku ulangin ngomongnya ya… Biar lebih romantis gimanaaa… gitu!”

“Kalo kamu ulangin, jawabannya aku ganti lho…” Acha setengah mengancam, meskipun sambil tertawa geli.

“Yah, pake ngambek dia… Ayolah Cha, kapan lagi coba aku jadi romantis gini??”

Acha semakin tertawa. Hingga akhirnya Ozy ikut tertawa. Setelah tawanya reda, Ozy menoleh kembali ke arah Acha, masih dengan sebuah senyuman.

“Tapi kayaknya, aku bikin contekan atau enggak, aku ngafalin mau ngomong apa, tetep ga ngaruh. Soalnya begitu aku ngeliat wajah kamu tadi, semua hafalanku hilang begitu aja… Yang ada di pikiranku cuma satu, aku harus mengatakan semua yang selama ini aku rasakan ke kamu Cha, meskipun itu mungkin sama sekali ga kedengeran romantis bagi kamu. Yang ada di pikiran aku, aku bener-bener ga pengen kehilangan kesempatan untuk menjadi seseorang yang tidak hanya sekedar mengagumi dan menyayangi kamu dari jauh, tapi juga untuk menjadi sesorang yang bisa selalu menemani dan menjaga kamu…”

Acha tidak menjawab, hanya membalas senyuman Ozy. Acha tahu, Ozy tidak perlu kata-kata untuk mengerti, bahwa senyuman Acha berarti satu hal: Acha sama sekali tidak keberatan atas pilihan kata Ozy, karena toh semua kata itu bermuara pada suatu makna yang sama. Bahwa perasaan mereka tak perlu lagi menari sendiri di jalan masing-masing.

“Cha, pulang yuk. Ntar keburu panas di jalan…” kata Ozy sambil berdiri. Dia berbalik menghadap Acha, dan mengulurkan tangannya ke arah Acha.

Acha tersenyum, dan meraih tangan Ozy saat dia bangkit untuk berdiri.

“Eh, ntar Cha...” kata Ozy sambil melepaskan tangannya dari jemari Acha. Ozy merogoh ke saku kanan jeansnya, mengeluarkan sesuatu yang dibungkus kertas kado berwarna ungu bergaris-gari pink dan menyerahkannya kepada Acha. “Buka deh… buat Acha…” kata Ozy saat Acha meraih bungkusan itu.

Acha merobek kertas kado itu, dan menemukan sebuah bros mungil berbentuk bunga berkelopak lima, dengan sebuah lingkaran mengelilingi bunga itu. Di bawah cahaya matahari, kristal-kristal warna-warni yang menghiasi bros itu nampak berkilau. Acha memandangi bros itu, lalu mengangkat wajahnya menatap Ozy sambil tersenyum.

“Makasih ya Zy…”

Ozy mengangguk kecil, kemudian melepaskan syal yang melilit di lehernya, dan mengalungkannya melingkari pundak Acha. Dia lalu mengambil bros yang ada di tangan Acha tadi, dan menyematkannya di syal yang melingkari pundak Acha. Setelah itu, Ozy mundur sedikit ke belakang, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memandangi Acha sambil tersenyum.

“Peri kecilku…” kata Ozy sekali lagi. Lalu mengulurkan tangannya lagi. “Pulang yuk…”

Acha mengangguk, dan meraih tangan Ozy. Untuk melangkah bergandengan.

Sambil berjalan bergandengan, Ozy bersiul-siul dengan riang. Tapi tiba-tiba, tanpa menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah Acha.

“Eh Cha, kayaknya ada satu hal lagi deh yang aku mesti jujur ke kamu…”

“Apaan?”

“Tapi kamu jangan marah yaa…”

Acha menoleh, sambil mengangkat alis. Sementara Ozy malah membuang pandangan, menatap lurus ke depan.

“Apaan Zy?”

“Syal yang sekarang kamu pake itu lho, itu kan yang nemuin di lemariku si Ify. Aku aja udah lupa beli syal itu pas kapan dan dalam rangka apa. Kayaknya udah lama banget gitu…”

“Trus?”

“Nah, jadi aku juga lupa, kapan terakhir kali syal itu dicuci…”

“Ozzzyyyyyy…” Acha mulai memukuli pundak Ozy lagi dengan tangan kirinya yang masih bebas.

“Eh, tapi begitu Ify tau, dia langsung nyemprot syal itu pake parfumnya dia kok..! Kan kamu tau sendiri kalo parfum Ify mahal-mahal gitu, pasti wangi kok!!”

“Ah, Ozy gitu deh… Nyebelin aaahhh…” dengan gemas Acha mendorong pundak Ozy, meskipun Ozy tetap menahan jemari tangan kanan Acha dalam genggamannya sambil terus berjalan.

“Acha… kan tadi udah dibilangin jangan marah.. Jangan marah dong Sayaaaang…”

“Hah? Apa kamu bilang tadi??”

“Saaayaaaaang…. Jangan marah doooongg…” kata Ozy menggoda Acha.

“Aaaah… Geli tau, dengernya!!!”

“Saaaayaaaangg…” kata Ozy lagi sambil mencondongkan kepalanya sedikit ke samping hingga menjadi lebih dekat ke telinga Acha dengan senyuman jahil.

“OZY! GELI, TAUK!!!”

“Hahahaha… tapi kamu mesti belajar membiasakan diri mendengarnya lho Chaaa…” sahut Ozy sambil tertawa.

Acha tidak bisa menahan senyumnya. Dia terus melangkah, sambil balas menggenggam jemari Ozy yang ada di sisinya. Dia tahu, tidak akan sulit baginya untuk terbiasa merasakan kehadiran Ozy di sisinya. Untuk terus menjaga perasaan sederhana mereka terus tumbuh mengelilingi hati mereka berdua.

Berdua.

Karena sang peri kecil kini sudah punya rumah untuk dituju, rumah yang akan menyambutnya dengan kehangatan pancaran cahaya matahari yang mengisi setiap sudut di hati peri itu.


Layaknya gelap malam, yang indah karena bintang
Layaknya sang penyair, yang elok karna puisi
Bagiku kau bintang, selayak puisi…
Tetaplah disini peri kecilku
Bagiku kau bintang, selayak puisi
Temani aku selamanya…
Selamanya…
(Temani aku, by Sheila On 7)

=== TAMAT ===

Yeiyyyy!!! *keplok-keplok*. Akhirnya tamaaattt!!! Senangnyaaa liat Ozy akhirnya ga ngegantung lagi nasibnya…
Gimana.. Gimana…. Seneng ga nih dengan ending kayak gini? Daripada endingnya kayak Part 23, hayooo?
Ngeeenihoooww…

Boleh dong, kalo di Part Terakhir ini penulis berpesan sponsor ria? Hehehe… Bukan sih, bukan pesen sponsor. Cuma pengen memanfaatkan kesempatan untuk berterimakasih.

Terima kasih, tentu saja, untuk kalian SEMUA. Yang dengan betah dan tabah mengikuti cerita ini, semenjak jaman Prolog sampai Part 28. Seandainya ada kata yang maknanya lebih dalem daripada terima kasih, itulah yang ingin saya sampaikan.
Terima kasih banyak untuk semua perhatian kalian dan komentar kalian, baik lewat fansite, lewat facebook, atau lewat twitter (bahkan ada yang lewat SMS :D). Tanpa kalian semua, ILYILYN hanya sekedar menjadi file berjudul “PROYEK 4” di harddisk saya.

Can’t thank you enough, but I mean it when I say it. And I also mean it when I say I love you guys!
Terima kasih terutama untuk my sweet adorable sister, Cut Rizky Ananda, yang masih tabah aja jadi humas-nya saya di Facebook (hugs). Buat Alda, yang udah bikinin grup segala di Facebook *kirain becanda doaaanggg!!!*. Buat semua temen-temen lain yang ngasih masukan, Yuliana Indriani., Tri, Annie *kau dan cintapitri mu itu lho… hahahaha…*. Juga buat my silent readers *terutama salah seorang silent reader yang merasa terinfeksi…mhuahahaha… get some antibiotics, then!*.

Buat temen-temen di Twit… mulai dari Sakura yang Twitnya bikin kangen, fazazaza *yang begitu memahami betapa terobsesinya saya sama Om Duta*, muthiaTM, isnaam, supereiner *yang udah ngasih inspirasi soal Titanic-selera pasar*, and of course, Tia dan Lira *gals, LOVE your comments about this story on Twits! thanks udah nerima saya sebagai anggota pasukan pelempar tomat ;p*. Juga semua temen-temen lain di Twit yang ga sempet kesebut… kalian semua memang SERU abis!
Yang pasti, salah satu yang paling menyenangkan dari ILYILYN ini adalah bisa ketemu sama kalian semuaaa, yang sudah bener-bener ngasih warna warni cerah dalam hidup saya…

Emm.. walopun mungkin mereka ga tau, yang pasti, I owe TONS of thanks to… OZY, ACHA, RIO, IFY!!! Untuk sudah jadi inspirasiii…

Juga buat Om Duta (maap yee… obsesi sejak dulu sih ^_^), karena lagu-lagu SO7 lah yang seringkali membangkitkan mood dan inspirasi saya…

One last thing: I LOVE YOU ALL!

Cheers!
= Ami =

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

NB : Sebenarnya malu sih, kak Ami pake bawa bawa nama asli... Tapi, ga pa pa deh...

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/

You Might Also Like

0 comments