I Love You, I Love You Not : Part 11

12.13.00

Part 11: Ini Hanya Proyek Sekolah Kan?

Acha, Ozy, Rio dan Ify akhirnya tergabung dalam satu tim untuk mengerjakan proyek buku sekolah untuk kelas mereka. Kira-kira, bagaimanakah rencana mereka untuk mengerjakan buku itu?

+++

“Euh… temen-temen… Jadi gimana nih? Yang soal proyek buku sekolah nanti?” tanya Acha, berusaha memulai.

“Kita bagi tugas aja dulu!” kata Ozy. “Acha kan suka nulis ya Cha? Perasaan yang suka bikin artikel-artikel di mading waktu kelas 11 elo kan Cha? Nah… Jadi untuk nulis artikelnya Acha ajaaa…”

Acha mengangguk, “Trus, elo sama yang lain ngapain Zy?”

“Gua sebenernya suka ngegambar-gambar gitu. Yah… Bagus banget juga enggak sih, tapi lumayan lah. Jadi mungkin gua bagian ilustrasinya aja kali ya…” kata Ozy

“Zy, perasaan yang disuruh Pak Duta jadi koordinator kan Acha Zy, kok malah elo yang bagi-bagi tugas sih?” tukas Rio.

“Eh, gapapa kok… Beneran…” sahut Acha, “Gua malah seneng kok dibantuin gini. Terus yang lainnya ngapain nih Zy?”

“Ya udah, gua bagian nimba air aja deh… kan tadi yang disebut-sebut Ozy sama Pak Duta kalo gua tu tukang timba air…” Rio nampaknya masih agak kesal dengan Ozy.

“Yaelah Riooo… Gitu aja ngambek. Ah, ga seru ah Rio…” kata Ozy, “Yo, bukannya lo pernah bantu-bantu Oom lo yang jadi fotografer gitu? Ya udah, lo ngerjain bagian yang berhubungan dengan dokumentasinya aja…” lanjut Ozy.

“Ye.. itu kan dulu Zy. Om Chiko kan studio fotonya kecil-kecilan aja, bukan fotografer profesional macam Darwis Triadi gitu. Lagian juga gua ga punya kamera…” kata Rio.

“Pinjem punya gua aja…” Ify yang dari tadi diam tiba-tiba menyuarakan sarannya. Semua mata sekarang memandang ke arah Ify. Ify mengangkat bahu, “Gua punya kok di rumah. Yah, bukan punya gua sih, punya kakak gua. Tapi waktu dia berangkat kuliah ke Singapur, dia tinggal tuh. Ya udah, pake aja…”

“SIP!!” seru Ozy. “Terus, lo mau ngapain Fy?” tanyanya lagi.

“I’ll do the lay-out things…” sahut Ify dengan santai, “Gua suka ngerjain yang kayak gitu pake komputer.”

“Ya udah deh kalo gitu… Terus gimana nih kelanjutannya? Kayaknya mesti ngumpul bareng dulu kali ya buat merumuskan konsepnya mau gimana…” kata Acha.

Ify melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap ke arah langit-langit, dengan pandangan menerawang. Dia tiba-tiba lalu menatap ketiga temannya.

“Besok, hari Minggu kan ya? Besok pagi kalian pada ngumpul di rumah gua aja bisa? Sekalian biar Rio ngambil kamera. I guess 10 o’clock would be just the right time, not too early, tapi juga ga siang banget. Gimana?”

Wow. Ini entah untuk keberapa kalinya Ify memberikan kejutan bagi mereka semua di hari ini.

“Okeeee…” sahut Ozy dengan ceria, lalu merangkul Rio di sebelahnya, “Ntar gua ke sana bareng sama Rio deh ya? Ya kan Yo?” katanya sambil memandang Rio. Rio tersenyum kecil, lalu mengangguk.

Ify menoleh ke arah Acha. “Lo gimana Cha? Bisa?”

Acha menatap Ify. Maen ke rumah selebritisnya sekolah? Wow. Memangnya kesempatan sekeren ini bisa ditolak? Acha mengangguk cepat. “Sip. Besok jam 10 ya…”

“Ify! Lo belum pulang aja? Bareng yuk?” suara Angel terdengar dari pintu. Gabriel dan Cakka berdiri di belakang Angel. Ify menoleh ke arah Angel.

“Okay, I’ll join you in a second…” Ify lalu menoleh kembali ke arah teman-temannya. Sambil berdiri dan menyelempangkan tasnya, dia tersenyum.

“Okay, jadi ketemu besok di rumah gua ya?”

“Fy! Alamatnya?” tanya Ozy.

Ify belum sempat menjawab, Rio sudah mendahuluinya. “Gua tahu kok. Ntar gua catetin buat elo deh Cha. Zy, lo besok bareng gua kan?”

Ify merasa wajahnya panas. Sambil menunduk, Ify mengambil buku tulis Ozy yang masih ada di atas meja, dan menuliskan sejumlah angka di halaman paling belakang buku itu.

“Nih, gua kasih nomer henfon sama nomer telfon rumah gua aja deh jadinya ya?” katanya lagi sambil menyodorkan buku itu kepada Ozy.

Setelah melempar senyum sekali lagi ke arah teman-teman sekelasnya, dia lalu melangkah keluar menghampiri Angel yang mulai nampak tidak sabar menunggunya.

Sambil berjalan di koridor, Angel berbisik pelan pada Ify, “Ngapain lo sama mereka tadi?”

Ify mengangkat bahu, “Oh, mereka temen-temen gua buat ngerjain proyek sekolah…”

Angel menatap Ify lagi, “Sejak kapan lo punya temen selain kita?”

Ify balas menatap Angel, “Sejak kapan lo punya hak buat ngatur gua bolehnya temenan sama siapa aja?”

Angel mengalihkan pandangan lurus ke depan, “Fy, inget. Lo punya reputasi sosial di sekolah ini. Lo mesti jaga itu. Dan anak-anak tadi, mereka jelas bukan di level yang sama dengan kita…”

Ify menghela nafas dengan kesal. “Whatever… It’s just a school project, okay? Happy now? Puas lo?”

Angel memandang Ify, lalu tersenyum seakan-akan tidak ada apa-apa yang terjadi, “Eh, makan siang di Sushi Groove yuk!”, Angel tidak menunggu jawaban Ify, melainkan langsung menoleh ke arah Gabriel dan Cakka yang berjalan santai di belakang mereka, “Yel, Cakka, kalian ikut kami kan?”

Cakka mengangguk dengan wajah tidak peduli, tangannya menyibakkan sebagian rambutnya yang ditata gaya Harajuku. Gabriel mengangguk sambil tersenyum, “Boleh deh… Lagian aku juga udah laper. Kamu juga udah laper ya Fy?”

“Lumayan” sahut Ify, tanpa menoleh ke arah Gabriel.

“Oh iya Fy, Mamamu tadi nelfon aku, katanya mobil kamu masih di bengkel. Jadi kata Mamamu, daripada nunggu dijemput sopir kamu, kamu pulangnya biar dianterin aja sama aku” kata Gabriel, sambil memanjangkan langkahnya, berusaha mengiringi Ify.

Ify menoleh ke arah Gabriel, menarik nafas, lalu tersenyum kecil. “Thanks, that’s so nice of you..”. Gabriel membalas senyum Ify. Ify menarik nafas lalu menatap ke depan kembali. Entah kenapa, saat ini dia merasa lebih suka pulang naik bus. Berdua. Bersama Rio.

***

Sementara itu, Ozy dan Acha di kelas menatap Rio, mencari penjelasan.

“Kok kamu bisa tahu alamat rumahnya Ify sih?” tanya Acha penasaran, sambil menunggu Rio menuliskan alamat rumah Ify di secarik kertas.

“Iya Yo, emang lo pernah ke rumah dia?” lanjut Ozy.

Rio mengangkat bahu, menyerahkan alamat rumah Ify pada Acha, “Ga juga, gua kebetulan kemaren ada jadwal di komplek deket-deket rumah Ify, terus gua liat dia lewat di daerah situ…” sahut Rio sambil memakai ranselnya.

“Ah, ngarang banget sih lo? Kalo cuma ngeliat Ify lewat, kok lo bisa tahu detil alamat rumahnya gitu?” Ozy mengerutkan kening sambil membaca tulisan Rio di kertas yang baru saja diserahkannya pada Acha.

“Ada jadwal? Jadwal apaan Yo? Aku ga ngerti deh…” tanya Acha penasaran dengan kalimat Rio.

“Ya adalah pokoknya. Ah, udah ah, kalian malah pada cerewet gitu. Gua duluan ya…” Rio berdiri dari kursinya, lalu melangkah keluar kelas.

Acha dan Ozy berpandangan, lalu sama-sama mengangkat bahu. Sambil menyelempangkan tasnya di bahu, Acha mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.

“Zy, tinggal kita berdua lho ternyata…” kata Acha begitu menyadari bahwa semua teman sekelasnya sudah pulang.

Ozy berdiri sambil mengenakan ranselnya. “Bentar lagi malah tinggal elo sendiri Cha. Gua mau pulang. Lo mau ngeronda disini? Gua mah ogah…” kata Ozy sambil melangkah keluar dari bangkunya.

“Ozy! Aku jangan ditinggalin dong…” Acha refleks menahan lengan Ozy. Dia lalu terkesiap, apalagi ketika Ozy berbalik arah, memandang wajah Acha, sambil tetap membiarkan Acha menggenggam lengannya.

Acha menggigit bibir, lalu memberanikan diri mengangkat wajah, memandang Ozy. Ozy tengah tersenyum, dengan sorot mata yang begitu teduh. Dan entah kenapa, keteduhan mata Ozy itu membuat Acha merasakan kehangatan yang nyaman. Yang membuatnya merasa enggan melepaskan genggaman jemarinya yang tengah melingkar di lengan Ozy.

“Umm… Maksud aku, keluarnya bareng aja…” kata Acha pelan. Lalu dengan enggan melepaskan genggamannya.

Ozy merasakan degup jantungnya yang tak beraturan. Saat jemari itu melingkari lengannya, Ozy merasa seperti berjalan di awan. Ozy memutar badannya, menghadap Acha. Sambil berdoa, semoga peri kecil itu jangan sampai melepaskan jemarinya. Jangan dulu. Ozy berusaha tersenyum saat memandang wajah Acha. Tapi, bukankah siapapun pasti akan tersenyum begitu melihat mata bulat yang bening itu? Yang kini tengah menatapnya dengan penuh harap. Jika ini memang mimpi, maka Ozy belum ingin bangun. Walaupun ada 251 jam weker berbunyi sekaligus, sungguh, Ozy tidak ingin terbangun dari mimpinya.

Kalimat terakhir Acha menyadarkan diri Ozy. Apalagi ketika Acha dengan canggung perlahan melepaskan genggaman tangannya dari lengan Ozy. Ozy menarik nafas perlahan,lalu menghembuskannya kembali. Berusaha tetap tersenyum.

“Ya udah. Yuk, mau pulang sekarang?” tanya Ozy pada Acha, sambil sedikit memiringkan kepala ke kanan.

Acha mengangguk perlahan. Ozy berbalik, mulai melangkah, sementara di sebelahnya Acha
menjejeri langkahnya. Di dalam hati, Acha ingin menggandeng lengan itu. Karena Acha menyukai perasaan hangat yang menyelimuti hatinya saat dia menggenggam lengan Ozy tadi. Tapi, kan seharusnya dia tidak merasa seperti ini dengan Ozy?

Saat melangkah keluar kelas, Ozy memecah diam diantara mereka, “Ga nyangka banget ya, si Rio akhirnya bisa damai juga sama Ify? Gua sempet curiga, jangan-jangan Rio tadi pagi sarapan pake pecahan genteng dulu kali ya sampai bisa berubah sikap gitu ke Ify…”

Acha tertawa. Belum sempat Acha menanggapi kalimat tadi, Ozy sudah menyambung dengan kalimat lain. Yang dibalas Acha. Lalu disambung dengan komentar lucu dari Ozy, yang membuat Acha tertawa lagi. Terus begitu. Acha sendiri tidak begitu ingat, apa saja yang diobrolkannya dengan Ozy sepanjang koridor. Yang dia ingat, dia merasa begitu nyaman. Dia merasa begitu nyaman hanya dengan mendengar suara Ozy yang renyah, mendengar irama tawa Ozy yang seperti bernyanyi, melihat mata Ozy yang berseri-seri. Dan setiap derai tawa Ozy selalu menggiringnya untuk ikut tertawa pula.

Sampai di lapangan parkir, Ozy menghentikan langkahnya, hingga Acha juga ikut berhenti. Ozy menoleh ke arah Acha.

“Pulang naik apa Cha? Bawa mobil sendiri?”

Acha menggeleng, menunjuk ke arah mobil yang menunggu di luar pintu gerbang. “Dijemput Pak Wawan, sopirnya aku” kata Acha.

“Oh.” Sahut Ozy sambil membetulkan letak ranselnya. “Ya udah, sana gih, kasian kalo sopirmu nungguin kelamaan. Udah ditemenin sampe sini kan? Gua baik hati kan???”

Acha tertawa sambil mendorong pundak Ozy, “Yaelah, kamu bawaannya narsis mulu ih Zy… Ga capek gitu narsis melulu gitu?”

Ozy hanya tertawa kecil. Acha lalu membenahi letak tasnya, melemparkan seulas senyum pada Ozy, “Ya udah, aku pulang duluan ya Zy!”, lalu mulai melangkah menuju Kijang Innova silver, dimana Pak Ony sudah menunggunya. Acha baru berjalan beberapa meter ketika suara Ozy memanggilnya lagi.

“Acha!”

Acha terdiam. Menunduk. Merasakan semburat hangat yang mulai menjalar di pipinya. Dia lalu berbalik, tepat ketika Ozy tengah berjalan mendekatinya. Dan Acha tidak mampu bergerak, ketika Ozy semakin mendekat, hingga akhirnya hanya berada sejangkauan tangan di hadapannya. Acha mengerahkan segenap kekuatannya yang tersisa untuk mengangkat wajah, hingga pandangan matanya beradu dengan tatapan teduh mata Ozy.

Ozy tersenyum, lalu mengulurkan kedua tangannya ke arah rambut Acha. Sambil sedikit mengerutkan kening, Ozy melepaskan jepit rambut mungil berbentuk bintang yang diselipkan Acha untuk menahan rambutnya agar tak jatuh menutupi mata kiri.

Acha nyaris tak berani bernafas, meskipun dia menikmati setiap sentuhan Ozy di rambut dan pelipisnya. Ozy kemudian menyelipkan kembali jepit itu di rambut Acha, agak ke atas dari posisinya semula. Ozy lalu menegakkan tubuh kembali, memandangi hasil kerjanya dan tersenyum.

“Sori, tadi jepitmu kayaknya rada longgar dan miring dikit. Kasian matamu kena ujung rambut gitu…” Ozy memberi alasan atas sikapnya tadi. Walaupun Acha sesungguhnya tak memerlukan alasan itu.

Acha menyentuh kembali jepit rambutnya, lalu tersenyum memandang Ozy. “Makasih Zy…” katanya pelan, yang dibalas Ozy dengan anggukan kecil. Acha berbalik kembali dan melangkah ke arah pintu gerbang. Di pintu gerbang, dia berbalik sebentar, dan melambai kecil ke arah Ozy. Ozy yang masih tegak disana balas melambai.

Acha berlari kecil menaiki mobilnya. Pak Ony tersenyum melihat Acha. Saat Acha memasang sabuk pengaman, Pak Ony menyalakan mesin mobil sambil bertanya.

“Mas nya yang tadi pacarnya Mbak Acha ya?”

Acha menoleh cepat, merasakan wajahnya memanas kembali.

“Pak Ony apaan iiihh… Kok nanya yang aneh-aneh gitu?”

“Habis, kayaknya tadi Mbak Acha seneng banget habis bareng sama Mas yang tadi…” sahut Pak Ony sambil memundurkan mobil.

“Ah, ga juga ah Pak…”

“Trus, yang tadi siapanya Mbak Acha dong?” Pak Ony masih terus bertanya sambil memutar arah mobil.

“Enggak kok Pak, teman biasa aja…” kata Acha sambil memalingkan wajah ke arah jendela di sampingnya. Tapi sambil melirik, Pak Ony bisa melihat betapa warna merah meronai pipi Acha, membuat Pak Ony tersenyum geli.

***

Ozy memandangi Kijang Innova tadi bergerak menjauhi gerbang sekolah. Tangannya tersimpan di balik saku celananya. Dia masih bisa merasakan kelembutan rambut ikal Acha di antara jemarinya tadi. Keharuman samar aroma apel yang menguar dari rambut Acha tadi masih terasa. Bola mata Acha yang bening, ekspresi wajah Acha yang manis seperti seorang peri kecil masih lekat di benaknya.

Ozy menghela nafas. Berat. Pikirannya memutar kembali adegan dimana wajah manis itu memerah saat nama Gabriel disebut. Maka Ozy pun berbalik arah, dan melangkah menuju sepeda motornya yang menunggunya disana. Iya. Sepeda motor biasa. Bukan Toyota Yaris warna merah menyala yang dikemudikan Gabriel setiap hari ke sekolah.

Ozy sudah menaiki motor dan baru akan menstarternya ketika sebuah suara memanggil Ozy.

“Zy!”

Ozy menghentikan gerakannya, dan mengerutkan kening. Tapi ketika melihat si pemanggil yang tengah berjalan mendekatinya, Ozy langsung tersenyum.

“Eh. Pak Duta. Belum pulang Pak?”

Pak Duta menggeleng sambil tersenyum. “Belum, tadi habis ngoreksi PR anak kelas 11 dulu, tanggung kalo mau ditinggal”. Pak Duta lalu merogoh tas yang dibawanya.

“Eh Zy, tadi Bapak sebenarnya mau ngomong ke kamu tentang sesuatu hal…”

“Soal proyek buku sekolah itu Pak? Tenang aja Pak… Besok saya dan yang lain udah mau mulai kerja kok…” tukas Ozy.

Pak Duta menggeleng sambil menarik sebuah amplop coklat berukuran A4 dari tasnya.

“Bapak mau ngasih tau kamu soal ini.” Kata Pak Duta sambil menyerahkan amplop itu pada Ozy.

Ozy menerima amplop itu dengan pandangan bertanya.

“Liat aja isinya dulu…” kata Pak Duta. Ozy merogoh amplop tersebut dan mengeluarkan isinya.

Beberapa lembar brosur yang dicetak apik di atas kertas mengkilap. Jemari Ozy merasakan licinnya kertas tersebut saat dia membolak-baliknya. Ozy mulai mencermati isi brosur tersebut.

“Bapak pikir, kamu mungkin tertarik. Lebih dari itu, Bapak yakin, kalau kamu bisa Zy…” kata Pak Duta, sementara Ozy terus membaca isi brosur itu. Ozy lalu mengangkat wajah, dan tersenyum menatap Pak Duta. “Oh iya, tolong kasih tau Rio juga ya, tadi Bapak tidak sempat ketemu dia lagi.” Pak Duta menambahkan.

“Makasih Pak!” kata Ozy sambil memasukkan kembali brosur-brosur itu ke dalam amplop.

“Bapak percaya sama kamu Zy.” kata Pak Duta. Beliau lalu menepuk pundak Ozy, “Bapak sudah percaya sama kamu semenjak dulu…”

Ozy mengangguk. Dan bertekad, akan berusaha sekuat tenaga. Suatu harapan mulai muncul di hatinya.

“Bapak duluan Zy!” kata Pak Duta lagi.

“Silakan Pak, saya juga sudah mau pulang kok…” sahut Ozy. Pak Duta tersenyum kembali dan berjalan meninggalkan Ozy.

Ozy menstarter motornya kembali. Kali ini, dengan secercah harapan baru yang muncul di dalam hatinya.

+++

Huhuuuyyy... Ada yang ngegandeng tangan Ozy tuuuhh... ^_^
Oke, jadi besok mereka bakal ketemuan berempat di rumah Ify dong. Kira-kira apa yang bakal terjadi besok ya?
Ya liat aja besok di Part 12 =)

Warmest regard,
= Ami =

~~~~~~

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/i-love-you-i-love-you-not-11

You Might Also Like

1 comments