I Love You, I Love You Not : Part 10

18.21.00

Part 10: Perdamaian?

Gara-gara mobilnya mogok, Ify akhirnya pulang naik bus bersama Rio. Tanpa disangka Ify, dia malah jadi de deg plas bersama Rio. Terus, apakah Rio dan Ify yang tadinya selalu berseteru akan bisa berdamai? Kalau sama Ozy, Ify mau damai juga ga ya?

+++

Setelah sekitar 20 menit, Rio menjawil pundak Ify, memberi isyarat pada Ify untuk turun. Rio memberi tahu kernet metromini untuk berhenti.Mereka berdua turun dari metromini. Ify mengenali daerah tempat mereka turun, rumahnya sudah tidak jauh lagi.

“Yuk, jalan dikit. Kalo ga salah, deket sana ada pangkalan ojek deh. Bisa kan dari sana naik ojek sendiri?” kata Rio.

Ify mengangguk. Lalu mengikuti Rio berjalan ke arah yang ditunjukkannya tadi. Benar saja, selang beberapa puluh meter, sekumpulan tukang ojek sudah menanti penumpang. Mereka berdua berjalan mendekat

“Eh, alamat lengkap elo dimana?” tanya Rio. Ify menyebutkannya. Rio mengangguk kecil. “Ga jauh lagi kok ya. Lo tunggu sini bentar ya…” kata Rio yang lalu mendekati salah seorang tukang ojek. Rio berbicara sebentar dengan tukang ojek itu, lalu mendekati Ify kembali.

“Ya udah, kamu naik yang itu aja ya…”

Ify mengangguk.

“Gua jalan dulu. Gua ada urusan di sana” Rio menunjuk ke arah komplek sebelah. “Ati-ati ya…” kata Rio lagi sebelum mulai melangkah meninggalkan Ify.

“Rio!” seru Ify. Rio berbalik. Ify tersenyum. Manis.

“Terima kasih ya…” kata Ify.

Rio hanya mengangkat sebelah tangannya, sambil tersenyum. Ify merasakan wajahnya memanas begitu melihat senyum itu. Ify lalu berbalik, menaiki motor tukang ojek yang ditunjukkan Rio tadi.

Hanya perlu waktu 5 menit perjalanan, Ify sudah sampai di depan rumahnya. Begitu turun dari motor, Ify merogoh tasnya, dan mengeluarkan dompet.

“Eh, tadi udah dibayarin sama Mas nya yang tadi Neng…” kata si tukang ojek.

Ify mengangkat wajah dengan heran. “O ya?” Si tukang ojek hanya mengangguk, dan langsung berlalu. Ify membiarkan Pak Toto, satpam yang menjaga rumahnya membuka gerbang. Ifyu melangkah memasuki halaman rumahny,masih sambil memikirkan kejadian barusan.

“Oh iya ya, mana pas di metromini tadi juga perasaaan gua ga ada ngeluarin dompet juga. Artinya dia yang bayarin gua juga?” batin Ify saat memencet bel. Begitu Mbok Ndari membuka pintu, Ify melangkah masuk. Baru beberapa langkah, terdengar seruan khawatir Mama yang menyongsong Ify.

“Ify, honey, where have you been??? Kamu kemana aja sih? Tadi Gabriel nelfon ke rumah, nanyain, kok katanya kamu ga bisa dihubungi? We were so worried about you..” Mama langsung menghujani Ify dengan pertanyaan.

Ify terus melangkah menuju dapur, sementara Mama mengiringi dari belakang. Ify membuka pintu kulkas dan meraih sekaleng minuman dingin.

“Henfon Ify mati. Mobil Ify mogok.” Kata Ify sambil menarik klep penutup kaleng minuman, lalu meneguknya. Ahhh… Akhirnya…

“Lho? Terus tadi kamu pulang naik apa? Kenapa ga nelfon Gabriel aja minta dijemput?”

Ify kembali minum beberapa teguk sebelum menjawab pertanyaan Mama, “Ma, come on. I’ve told you, my cellphone is running out of battery. Gimana caranya Ify nelfon Gabriel? Terus tadi Ify naik bus sampe depan, lalu naik ojek”

Mama terbelalak mendengar kata-kata Ify, “Kamu naik apa? Naik bus? Oh my God Ify… Emangnya kamu bisa?”

“Mom, I’m not a little girl anymore… Ya bisa lah. Buktinya Ify nyampe dalam keadaan utuh. Liat deh, kepala Ify masih di leher kan? Belum pindah ke lutut Ify kan?”

Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih tidak percaya bahwa gadis bungsunya naik angkutan umum selain taksi. Mama lalu menghela nafas.

“Ya udah kalo gitu. Kamu istirahat aja deh dulu. Don’t forget that we’re going to the party at Pradokso’s house tonight.”

Ify nyaris tersedak, “What? Another party?”

“Ify, not just another party. It’s another IMPORTANT party… Gabriel bilang dia bakal nyampe sini sekitar jam 7. So make sure that you’ll be ready before that.”

“Gabriel? LAGI? Mom… I’ve been going out with him for two times this week. Ini artinya kali ketiga dalam minggu ini Ify pergi sama dia…”

“Lho, apa salahnya? Gabriel itu anak baik Fy. Tampan pula, wajahnya seperti pangeran dalam dongeng-dongeng fairy tale. Dia memang cocok kan mendampingi kamu dalam acara-acara macam ini. Atau kamu punya opsi lain yang lebih cocok mendampingi kamu selain Gabriel?”

Ify diam, tidak menyahut. Walaupun sambil meneguk minumannya kembali, seraut wajah terbayang di benaknya.

Mama tersenyum, lalu menepuk pipi Ify perlahan, “Sana, go to your room and have a rest.”. Mama lalu berbalik meninggalkan Ify sendirian di dapur.

Ify melemparkan pandangan ke jendela dapur, dimana kolam renang di taman samping terlihat jelas. Kata-kata Mama terngiang kembali, bercampur dengan kata-kata Rio di bus tadi. Ify menghela nafas. Mungkin Mama benar, Gabriel pantas mendampinginya dalam hidupnya yang bagaikan dongeng, hidup bergaya sinetron. Tapi dalam kehidupan nyata, apakah Gabriel juga pantas mendampinginya? Ify menggelengkan kepala, berusaha membuang bayangan wajah Rio dari pikirannya. Tapi tanpa sadar, dia mengelus kembali pergelangan tangan kirinya, yang beberapa saat yang lalu sempat digenggam Rio erat-erat.

***

Acha menyandarkan kedua lengannya pada pagar yang membatasi koridor sekolah dengan halaman. Masih ada waktu cukup lama sebelum sekolah dimulai, dan beberapa anak menggunakan waktu tersebut untuk bermain basket di lapangan sekolah. Dari tempatnya berdiri sekarang Acha bisa melihat permainan tersebut dengan jelas. Ada Gabriel, Cakka, Alvin, Patton, Obiet dan Debo disana. Tapi yang menarik perhatian Acha hanya satu: Gabriel. Gabriel yang terlihat tampan dalam kondisi apapun. Lihat saja, dalam keadaan lari-lari sambil mendribel bola begini aja dia sudah terlihat seperti arus sungai Amazon. Menghanyutkan, maksudnya. Bikin lupa segala.

“Cieee… Pagi-pagi udah nyari pemandangan seger nih…” tiba-tiba Ozy menepuk pundaknya dengan LKS Biologi.

Acha tersentak, dan menoleh ke arah Ozy. “Apaan sih…”

Ozy tersenyum lucu, lalu menoleh ke arah lapangan basket. “Siapa tuh Cha yang lagi maen basket?” katanya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Wajah Acha menjadi bersemu merah.

“Beuh, baru ditanyain aja muka lo udah kayak gula merah gitu…” Ozy tertawa kecil, lalu berjalan meninggalkan Acha. Sekilas dia menoleh ke arah lapangan basket, melihat Gabriel yang sedang berusaha merebut bola dari Cakka. Hanya sekilas. Ozy menghela nafas. Jauh. Jauh sekali dia dibandingkan Gabriel. Di balik saku celananya, Ozy mengepalkan genggaman tangannya semakin kuat. Berusaha mengurangi perasaan gundahnya sambil menggigit bibir.

Acha memandangi punggung Ozy dari belakang. Sebersit rasa kecewa muncul. Kok Ozy cuek gitu aja sih? Tapi Acha lalu mengerutkan keningnya. Kenapa perasaan aneh itu muncul lagi? Kenapa dia berharap Ozy cemburu? Acha menghela nafas. Dia melemparkan pandangan ke arah Gabriel di lapangan basket sesaat, kemudian berlari kecil menyusul Ozy.

“Zy! Tungguin aku!”

Ozy menghentikan langkahnya, lalu menoleh memandang Acha yang tengah berlari kecil ke arahnya. Ozy tersenyum kecil melihat poni Acha yang bergerak-gerak di dahinya.

“Neng Acha mau bareng Bang Ozy?” kata Ozy menggoda Acha begitu Acha sampai di sisinya.
“Terus yang di lapangan basket mau diapakan?”.

Acha memukul punggung Ozy dengan kesal, “NORAK AH!”

Ozy hanya tertawa, lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas. Acha berjalan mengiringi di sampingnya. Di dalam hati, Ozy berharap, bahwa jarak yang harus dia tempuh bukanlah 10 meter, melainkan 10 km. supaya dia bisa lebih lama lagi bersama peri kecil di sampingnya ini.

Beberapa menit sebelum bel terdengar, Ify berjalan memasuki kelas. Dia melangkah menuju bangkunya, saat Acha mengangkat wajah. Ify tersenyum kecil.

“Pagi Cha…”

Acha tersentak kaget. Sebelumnya Ify tidak pernah menegurnya seperti itu. Kemajuan banget nih, pikir Acha. Acha membalas senyum Ify, “Pagi Fy…”
Ify meletakkan tasnya, masih sambil berdiri. Keraguan nampak sekilas di wajahnya, tapi akhirnya suara Ify terdengar, walaupun lirih.

“Pagi Yo…”

Rio mengangkat wajah dari buku yang tengah ditekuninya. Seulas senyum tipis muncul di wajahnya saat dia menyahut, “Pagi Fy…”

Acha membelalak. Berusaha menterjemahkan kembali adegan di depannya. Ify. Menyapa. Rio. Ify dan Rio. IFY DAN RIO! Mereka yang biasanya seperti kucing garong berantem dengan anjing herder, tiba-tiba saling bertegur sapa? No way. Ga mungkin.

“AAAAHHHH….!!! Aku bahagiaaaa…!!!” tiba-tiba Ozy memeluk Rio. “Gitu dooongg… Kalian berdua sekali-sekali akur kayak gini… Kan seneng liat jaelangkung berdamai sama mbah dukun! Gimana kalo kita merayakan ini dengan…” Ozy melepaskan rangkulannya dari Rio dan merogoh ke dalam tasnya, lalu mengeluarkan kotak bekal kebanggaannya

“Makan bolu kukus bareng-bareng!” lanjut Ozy dengan wajah cerah ceria.

Rio menatap Ozy. Acha menatap Ozy. Ify juga menatap Ozy. Semua diam. Hanya Ozy yang menatap mereka berganti-ganti, sambil tetap memegangi kotak bekalnya, lengkap dengan senyum lucu di wajahnya.

Rio yang pertama kali bereaksi. Tanpa rasa kasihan dia menoyor kepala Ozy, “SARAP lo emang ya!”. Ify melengos dan duduk menghadap ke arah papan tulis. Tapi Acha masih sempat melihat bibir Ify yang tidak dapat menyembunyikan sebuah senyum kecil. Acha sendiri tidak dapat menahan tawanya. Lagipula, siapa sih yang tidak tahan untuk ikut tersenyum kalau melihat ada senyum lucu seperti yang ada di wajah Ozy sekarang?

***
“Ehm…” Pak Duta berusaha menarik perhatian para siswa. Kepala para siswa terangkat dari buku catatan masing-masing, dari sejumlah soal Kimia yang bisa dinobatkan sebagai soal paling mengerikan dalam dekade ini.

“Ada sesuatu yang ingin Bapak sampaikan…” kata Pak Duta. Acha melirik ke arah jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Duh, tinggal 15 menit lagi udah bel pulang nih. Semoga aja Pak Duta ga menyampaikan naskah pidato sepanjang 37 halaman spasi tunggal dengan font ukuran 9, pikir Acha dalam hati.

“Karena tahun ini kalian akan meninggalkan sekolah ini, Bapak ingin mengingatkan kembali bahwa tiap tahun, sekolah kita punya tradisi untuk membuat buku tahunan sekolah. Setiap kelas 12 bertanggung jawab untuk menyerahkan naskah berisikan apa saja yang ingin ditampilkan mengenai kelas mereka di dalam buku itu ke pihak sekolah untuk.. Nanti tim dari OSIS yang akan mengkompilasikan naskah dari semua kelas 12 dan menggandakan buku itu untuk dibagikan kepada semua siswa yang lulus nanti.”

Oh iya. Acha baru sadar. Sekolah mereka memang punya kebiasaan seperti itu. Tradisi itu sendiri merupakan salah satu kebanggaan sekolah, karena buku tahunan yang dimaksud biasanya muncul dengan tampilan yang oh-sungguh-keren-sekali. Tahun lalu, Acha juga ikut terlibat dalam penyusunan buku sekolah ini, terutama karena dia juga aktif mengurus majalah sekolah.

“Untuk kelas kita, Bapak ingin membentuk suatu tim khusus yang bertanggung jawab terhadap pembuatan naskah dari kelas kita. Ga usah banyak-banyak lah… Empat sampai lima orang Bapak pikir sudah cukup” kata Pak Duta sambil melayangkan pandangan ke siswa-siswa yang mulai berbisik-bisik sambil saling tunjuk.

“Menurut Bapak, Acha adalah yang paling pantas untuk menjadi penanggung jawab dari tim ini. Acha, kamu tahun lalu ikut terlibat juga kan dalam tim OSIS yang mengurus pembuatan buku ini?”

Acha mengangguk.

“Baiklah kalau begitu, Acha bersedia kan jadi penanggung jawab untuk tim kelas kita ini?”.
Acha diam sesaat. Dia sempat ragu. Acha memang suka menulis, tapi apakah dia sanggup? Ozy mendorong punggung Acha dari belakang dengan penggaris.

“Udah Cha… Iyain aja… Nanti gua bantuin deh…” bisik Ozy pelan.

Acha menoleh sekilas ke arah Ozy. Lalu kembali menatap ke arah Pak Duta.

“Boleh deh Pak… Tapi Ozy juga dimasukin tim ya Pak…” Acha menjawab pertanyaan Pak Duta sambil menunjuk ke arah Ozy.

Pak Duta mengangguk. Sementara Ozy malah gelagapan.
“Yah Cha… Kok gua jadi diseret-seret juga siiiihhh….”

Acha menoleh dengan wajah galak. “LHO? Bukannya tadi kamu bilang kamu bakal mau aja bantuin aku?”

“Iya sih Cha… Tapi kan maksud gua bantuin elo secara informal gitu…” sahut Ozy sambil menggaruk-garuk belakang telinganya.

“Jadi, Acha dibantuin sama Ozy ya… Terus sama siapa lagi nih? Masak cuma mereka berdua?” lanjut Pak Duta lagi.

Tiba-tiba Ozy merangkul pundak Rio sambil mengangkat tangan, “Pak! Kami sama Rio aja Pak! Rio anaknya mah baik dan tidak sombong Pak! Udah gitu, dia juga rajin nimba air Pak, jadi dia pasti cocok buat bantuin kita-kita…” kata Ozy dengan wajah penuh keyakinan.

Rio menatap Ozy dengan ekspresi setengah bingung, setengah kesal. Sementara Pak Duta mengerutkan kening. Tapi akhirnya menghela nafas dan mengangguk. “Baiklah, kalau begitu, Acha, Ozy dan Rio. Kita perlu satu orang lagi. Kira-kira siapa? Ada yang punya usul? Atau syukur-syukur mau menawarkan dirinya sendiri.”

Seisi kelas hening. Seakan-akan semuanya berdoa bersama supaya tidak ditunjuk Pak Duta.

Sampai tiba-tiba sebuah tangan teracung diiiringi suara yang memecah keheningan tersebut.

“I think I’ll take the chance. Saya bersedia deh Pak…”

Acha ternganga melihat teman sebangkunya menawarkan diri. Pak Duta mengangguk senang, sementara Ify menurunkan tangannya. Ify menoleh ke arah Acha sambil tersenyum tipis.

“Lo ga keberatan kan kalo gua ikutan gabung?”

Acha menggeleng cepat. “Ga lah… Malah gua seneng banget lo mau bantuin kita.”

“Baguslah… Lagian gua ga tega ngeliat elo mesti menghadapi anak gila dan pak dukun itu sendirian aja” lanjut Ify.

Ify dan Acha kemudian menoleh secara bersamaan ke bangku di belakang mereka. Sebelah tangan Rio sedang mengacak-acak rambut Ozy dengan kesal, sementara sebelah tangannya lagi berusaha memiting leher Ozy. Melihat pemandangan itu, Acha dan Ify saling berpandangan, lalu tertawa bersamaan. Acha merasa senaaaang sekali. Ini pertama kalinya dia tertawa bersama Ify.

“Oke. Kalau begitu, Bapak pikir sudah cukup ya, 4 orang. Acha sebagai penanggung jawab, dibantu Ozy, Rio dan Ify.” Tepat pada saat Pak Duta menyelesaikan kalimatnya, bel pulang berdering panjang. Suaranya yang sudah cukup membahana terasa semakin nyaring karena diiringi dengan sorak sorai penghuni kelas yang dari tadi sudah menunggu-nunggu bel keramat itu. Pak Duta menghela nafas, tapi tersenyum melihat kelakukan siswanya. Beliau kemudian membereskan buku-bukunya, lalu melangkah keluar kelas.

Sementara teman-teman sekelas mereka berebutan keluar, Acha, Ify, Ozy dan Rio tetap duduk di bangku mereka, saling berpandangan dengan agak kikuk.

+++

Wah, yang tadinya ngajakin berantem melulu, malah jadi satu regu nih... Tapi, apa mereka lalu bakalan bisa kerja bareng dengan baik ya...
Betewe, kemaren katanya pada nyariin Ozy... tuh Bang Ozy nya udah muncul... ^_^
Hah? Kurang banyak? Kasian atuh Ozy disuruh muncul mulu. Ntar aja ya di Part 11...
Moga-moga bisa posting Part 11 malem ini...

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/i-love-you-i-love-you-not-10

You Might Also Like

0 comments