I Love You, I Love You Not : Part 9

18.20.00

Part 9: Mobil yang Mogok

Ozy memilih mengubur harapannya begitu Acha mengakui padanya bahwa dia menyukai Gabriel. Padahal Acha sendiri merasa ada yang aneh dalam dirinya jika dia mengingat-ingat Ozy, ada apa sih sebenernya?
Ah, biarkanlah Ozy dan Acha sibuk dengan pikirannya masing-masing. Part kali ini, kita tengok temen sebangku mereka saja dulu yuk...

+++

Ify mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia baru sadar, sekolah bisa sesunyi ini. Padahal baru setengah jam berlalu semenjak bel pulang sekolah berdering. Ify merengut. Semua gara-gara Pak Duta. Pada jam pelajaran terakhir tadi, Pak Duta menyuruh Ify menemui beliau di ruangannya sepulang sekolah. Dan akhirnya, selama setengah jam Ify harus bertahan mendengarkan Pak Duta mengocehkan sesuatu tentang… tentang apa ya tadi? Ify berusaha mengingat-ingat. Tadi, selama Pak Duta berbicara, pikiran Ify melayang kemana-mana. Oh iya, Ify baru ingat. Sesuatu tentang pemilihan jurusan waktu kuliah. Beuh, Pak Duta memang begitu, suka berlebihan. Semester ini baru hampir dua bulan berjalan, kenapa Pak Duta sudah ribut menyuruhnya memikirkkan hal itu?

Sambil mengangkat bahu, Ify menstarter mobilnya. Klik. Ify mengerutkan kening, Kenapa mesin mobilnya mendadak menolak bersahabat? Ify mencoba lagi, sekali, dua kali, hingga sebelas kali. Sampai akhirnya Ify memukul setir mobilnya dengan kesal. Dia lalu menyambar tasnya, dan melangkah keluar dari mobil. Sambil bersandar di mobil, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan I-Phone kesayangannya. Tapi begitu memandang layarnya, Ify merasa dia kehilangan rasa sayang terhadap smart phone miliknya itu. Sial. Kenapa mesti habis batre di saat-saat seperti ini sih???

Ify mengedarkan pandangan ke lapangan parkir, tapi gagal menemukan mobil lain selain Honda Jazz kuning miliknya. Duh, Ify tiba-tiba menyesal. Kenapa dulu dia menolak tawaran Gabriel untuk mengantar jemputnya? Dengan kesal, Ify menendang ban mobilnya sekuat mungkin.

“Lo kalo udah bosen sama mobil lo, ga usah kayak gitu caranya. Dijual aja kek…” sebuah suara mengagetkan Ify. Ify menoleh ke arah suara itu. Sialan sialan sialan. Kenapa mesti cowok itu sih??

“Mogok ya?” Rio berjalan mendekat, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.

“Enggak, gua lagi syuting iklan mobil ini disini” sahut Ify dengan ketus sambil melipat kedua tangannya di dada.

Rio mengangkat alis. Tapi tidak beranjak dari tempatnya berdiri, tak sampai 2 meter dari Ify.

“Terus lo pulangnya gimana?” tanya Rio lagi, seakan tidak peduli dengan jawaban ketus Ify barusan.
Ify mengangkat bahu, kemudian membuang pandangan dari Rio. Aneh. Kenapa dia jadi gugup ya? Sebentar. Tidak mungkin. Seorang Alyssa Saufika tidak mungkin jadi gugup dan speechless di depan seorang cowok. Apalagi model-model cowok rese semacam ini. Maka Ify menguatkan hati untuk memandang ke arah Rio kembali.

“Emang kenapa? Tumben lo ngurusin gua?”

“Eh, enak aja. Gua cuma ga tega aja ngeliat cewek sendirian di tempat sepi kayak gini. Dan walopun lo adalah cewek paling rese segalaksi Bima Sakti, tetep aja lo cewek. Ga pantes sendirian di tempat sepi kayak gini.”

Ify membuka mulut, tapi tak bisa berkata apa-apa. Dengan kesal Ify menutup kembali mulutnya. Hening sesaat. Ify menjatuhkan pandangan ke sepatunya.

“Lo tinggal dimana?” tanya Rio tiba-tiba. Ify mengangkat wajah, melirik ke arah Rio, dan menyebutkan nama kompleks perumahan elit tempat tinggalnya.

Rio mengacak-acak rambutnya sendiri sambil mengerutkan kening. “Lo tunggu sini bentar ya…” dan tiba-tiba memutar badannya, lalu berlari kecil meninggalkan Ify.

Ify ternganga, lalu mendengus kesal. Apa coba maksudnya? Tadi sok perhatian, tapi tiba-tiba cowok menyebalkan tadi pergi begitu saja. Ify mengentakkan kaki dengan kesal. Dia lalu berbalik, dan menendang kembali ban mobilnya.

“Udah dibilangin kalo bosen sama mobil sendiri jangan kayak gitu caranyaaa…” suara Rio mengagetkan Ify kembali. Rio nampak sedikit terengah-engah. “Yuk, pulang. Gua anterin. Gua tadi udah ngomong ke Mang Dudung kalo mobil lo bakal nginep di parkiran sekolah, jadi minta tolong jagain sama dia.” lanjut Rio lagi sambil membenahi letak ransel di pundaknya.

Ify masih ternganga. Tapi akhirnya berhasil menemukan kata-kata untuk diucapkan, “Mobil lo emang diparkir dimana?”

Rio mengerutkan kening. “Mobil? Siapa yang bawa mobil? Kita naek bus!” sahut Rio, yang sekarang mulai melangkah menuju gerbang sekolah.

Di belakangnya, Ify ternganga. Apa kata Rio tadi? Naek bus. BUS? My GOD! Bus yang mesti jejel-jejelan kayak sarden gitu? Rio pasti bercanda. Ga mungkin Ify naek bus. Mau ditaruh dimana reputasi sosial Ify kalau sampai ada yang memergoki dia naik BUS?

Rio menghentikan langkahnya, lalu berbalik ke arah Ify. “Heh! Cepetan! Mau pulang sekarang ga lo? Gua tinggal nih…” ancam Rio.

Setengah bermimpi, Ify mengayunkan langkahnya mengikuti Rio. Sambil berusaha menjejeri Rio, Ify berucap, “Eh, gua naik taksi aja deh…”

Tanpa menoleh ke arah Ify, Rio menukas, “Mahal. Ongkos naik taksi bisa sampe 10 kali lipatnya kalo dibandingkan naik bus. Udah lah… Sekali ini percaya deh ama gua. Lo ngikut aja…”

“Percaya ama lo? You must be kidding…”

“Eh, tenang aja. Lo beneran gua anterin pulang. Ga mungkin lah lo gua bawa buat dijual di pasar daging…” sahut Rio, yang berada beberapa langkah di depan Ify.

“Tumben… ” kata Ify, masih berusaha mengiringi langkah Rio yang panjang-panjang. Dari belakang, Ify baru sadar, Rio ternyata tinggi juga. Mungkin sama tinggi dengan Gabriel.

Rio menyambung kalimatnya lagi, “Lagian lo dibawa ke pasar daging juga ga bakal bawa untung, rugi malahan. Badan lo tulang semua gitu, mana laku… Mending Ozy yang gua bawa ke pasar daging, paling ga dia masih bisa ditawarin buat jadi atraksi topeng monyet.”

“Lo bisa ga sih sekali-sekali ga nyela gua?”

“Lo bisa ga sih jadi cewek ga rese? Cerewet!!”

Di dalam hati, Ify bertanya-tanya, apakah keputusan mendadaknya untuk mengikuti Rio begitu saja akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya…

***

Keluar dari gerbang, Ify masih harus mengikuti langkah-langkah Rio hingga menuju tepian jalan raya. Sebagaimana biasa, jalanan besar di Jakarta seakan tak punya jarak yang cukup renggang di antara pengguna jalan raya. Ify mengaduk-aduk tasnya, dan mengeluarkan selembar tisu. Sambil menghapus keringat di keningnya, dia menoleh ke arah Rio.

“Emang kita naik bus yang mana?” tanyanya. Dan terkesiap begitu melihat pemandangan di sebelah kirinya saat ini. Dia belum pernah memperhatikan profil wajah Rio dari samping. Apalagi sedekat ini.
Di dalam hati, Ify dengan berat hati mengakui, Rio itu ternyata…em… tampan…. Ify mengeluh. Biasanya dia tidak pernah royal dengan pujian. Ify punya standar sendiri tentang kriteria cowok yang bisa dikategorikan good looking di mata Ify. Dan selama ini, baru Gabriel yang bisa mendekati kriteria tersebut. Tapi sekarang?

Rio tidak menjawab pertanyaan Ify barusan. Dia mengamati jejeran kendaraan umum yang muncul dari arah kanannya sambil sedikit memicingkan mata, mencermati nomor rute yang tertempel di kaca bus dan metromini yang lewat. Tiba-tiba dia berseru, “Yang itu aja bisa tuh!” dan setengah berlari mengejar metromini yang dia maksud.

Ify ternganga. Matanya tak berkedip memandang metro mini yang penuh sesak dan nampak reot itu. Ify tidak bisa membayangkan harus berjejalan di antara orang-orang itu. Ya Tuhan… Rugi banget tadi dia menyemprotkan Anna Sui terbarunya kalau dia harus berdesakan di antara keringat orang. Euh. Ify terus memandangi metro mini itu melintas di depannya. Kakinya tetap tak bergerak.

“YAAELAAAAHHHH!!!” Rio menghentikan langkahnya, sementara metro mini tadi melaju kembali meninggalkan mereka berdua. “HEH! Jaelangkung! Ngapain lo? Nunggu dilemparin sajen dulu? Kelewat deh jadinya…” kata Rio dengan kesal sambil melangkah kembali mendekati Ify yang masih tidak beranjak dari tempatnya semula.

Ify menoleh ke arah Rio, dan dengan wajah polos berkata, “Yang tadi? Emang masih bisa dimasuki?”

“Ya bisa lah! Lagian elo badannya kayak kucing kucrut gitu, masih bisa kok nyelip-nyelip di tengah.”

“Tapi kayaknya tadi ga ada kursi kosong deh…”

“Emang ga ada. Tapi kan masih bisa berdiri!”

“Apa gunanya naik kendaraan beroda empat kalo kita ga bisa duduk? Kan sama aja kayak kita jalan kaki?”

Rio menghentakkan kaki dengan kesal. “Pilih-pilih banget sih?! Gua tinggalin lho!” katanya setengah mengancam, lalu berbalik dan mulai melangkah.

Ify panik, dan langsung meraih lengan Rio. Mengenggam lengan itu erat-erat. Rio menghentikan langkahnya, dan menoleh memandang Ify. Dengan ekspresi yang tak terbaca.

“Jangan. Jangan tinggalin gua…”

Ify nyaris tidak mempercayai kalimat yang tercetus dari bibirnya begitu saja. Dan dia lebih tidak mempercayai lagi kenyataan bahwa saat ini dia tengah mengenggam lengan Rio. Erat-erat. Ify ingin melepaskan genggamannya, tapi entah mengapa, dia merasa tidak sanggup untuk melakukannya. Karena tiba-tiba saja dia merasa takut kehilangan. Takut kehilangan getar-getar menyenangkan yang muncul saat dia menggenggam lengan yang terasa kokoh itu.

Rio merasakan dadanya tiba-tiba berdebar hebat. Saat merasakan genggaman tangan Ify di lengannya. Saat mendengar kata-kata Ify tadi. Rio memandangi Ify, menatap mata Ify yang sebening samudra di pagi hari. Merasa jengah, Ify pun menunduk. Tapi masih tidak melepaskan genggamannya dari lengan Rio.

Suara panjang klakson sebuah metro mini yang lewat membuat Rio mengalihkan pandangan kembali ke jalan raya. Teriakan si kernet yang menyerukan jurusan metro mini itu sontak menyadarkan Rio.

“Yang itu aja!” seru Rio. Sambil balik menggenggam pergelangan tangan kiri Ify yang masih memegangi lengan kanannya, Rio berlari sambil menarik Ify, mengejar metromini yang kini memperlambat lajunya untuk memberikan kesempatan bagi penumpang baru menaiki metromini itu.

Di belakang Rio, Ify ikut berlari. Sambil menikmati setiap aliran darah yang terasa semakin kencang, saat merasakan genggaman jemari Rio di pergelangan tangannya. Ify berusaha meyakinkan dirinya sendiri, detak jantungnya kali ini terasa begitu berpacu pastilah karena dia harus berlari di luar jam olahraganya Pak Joe. Pasti. Tapi Ify tidak bisa mengingkari, detak jantungnya semakin tak menentu saat melihat sosok di depannya, yang tengah menggenggam tangannya.

Rio menaiki metromini, tangan kirinya meraih pintu metromini, sementara jemari tangan kanannya masih melingkar di pergelangan tangan Ify. Mereka kali ini beruntung. Metromini yang mereka naiki ternyata tidak terlalu penuh. Rio menunjuk sebuah bangku yang masih kosong di bagian belakang.

“Tuh, disana aja.” Kata Rio pendek. Ify menurut, melepaskan pegangannya pada lengan Rio *dengan berat hati*. Dia melangkah menuju bangku yang ditunjuk Rio, dan duduk di sisi dekat jendela. Rio menghempaskan diri di sebelahnya. Tanpa sadar, Ify menghela nafas panjang.

“Lo sebelumnya ga pernah naek bus ya?” tanya Rio.

Ify menoleh ke arah Rio untuk menjawab, dan terkesiap. Rio tengah menatapnya sambil tersenyum tipis. Selama ini, Ify belum pernah sekalipun melihat Rio tersenyum padanya. Semenjak insiden di hari pertama sekolah itu, ekspresi wajah Rio tidak pernah berubah. Tiap kali melihat Ify, Rio bersikap seakan-akan melihat ikan paus yang sedang menari balet. Atau kodok yang pakai tuksedo. Atau bebek yang sedang menyanyi seriosa. Apapun lah. Pokoknya, Rio selalu menatap Ify dengan pandangan tidak suka. Tapi sekali ini, Rio tersenyum. Hanya sebuah senyuman tipis, memang. Tapi sudah cukup untuk membuat Ify amnesia sesaat. Berusaha menenangkan diri, Ify membuang muka. Dia memandangi pemandangan di luar jendela sambil menjawab.

“Ga. Baru sekali ini.”

“Kasian banget sih lo?”

Ify menoleh kembali ke arah Rio, tidak menyangka mendengar komentar seperti itu. “Kasian gimana maksud elo? Selama ini gua ga perlu ngerasain lari-lari ga jelas cuma buat ikut jadi bagian dari gumpalan manusia dalam kaleng gini. Gua aman. Apanya yang kasian?”

“Gua kasian aja ama elo. Elo yang ga pernah ngerasain hidup yang sebenernya” sahut Rio dingin, tatapan matanya lurus ke depan.

“Hey, I have my own life! Gua juga punya hidup, tau!”

“Iya, hidup ala sinetron. Hidup yang ga nyata.”

Ify terdiam mendengar kalimat Rio barusan. Tersadar, bahwa apa yang dikatakan Rio tadi benar. Ify memandangi wajah Rio dari samping.

Rio mengangkat alis, lalu menoleh ke arah Ify. Rio terlihat ragu, tapi lalu mengucapkan sesuatu yang di luar dugaan Ify.

“Sori kalo gua nyinggung elo…”

Ify berusaha tersenyum, “It’s okay…”

Rio tersenyum lagi, membuat Ify sesak nafas. Ify kembali berlagak memandangi pemandangan di luar jendela. Metromini itu terus melaju, seakan-akan tidak peduli bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang Alyssa Saufika tidak tahu harus berkata apa untuk memulai percakapan.

Rio melirik ke arah kanannya. Diam-diam menikmati pemandangan indah di depannya. Hmm.. Kalau dilihat-lihat lagi, sebenarnya si jutek ini manis juga. Terutama kalau ekspresi wajahnya tidak sedingin biasanya. Biasanya cewek langsing ini suka sok jaim. Belagak ga pernah ketawa. Padahal, seandainya dia tersenyum sedikit saja, seperti yang barusan dilakukannya tadi, dia kelihatan jauh lebih cantik.

“Emangnya lo tinggal dimana?” tanya Ify, berusaha memecah keheningan di antara mereka.

Rio menyebutkan nama sebuah daerah, yang Ify tahu agak jauh dari komplek perumahannya. Ya, searah sih, cuma ga sejauh Ify. Ify berpaling dengan heran sambil mengerutkan kening.

“O ya? Trus kok lo bela-belain nganterin gua gini? Ga papa gitu?” sedikit rasa tersanjung menyelinap di hati Ify.

Rio tertawa kecil, “Lo ga usah GR duluan deh… Kebetulan aja gua memang ada urusan di komplek deket perumahannya elo gitu…” kata Rio sambil mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari sakunya dan menyerahkannya pada kenek metromini yang menagih ongkos.

“Oh.”, Ify tidak bisa mencegah rasa kecewa yang menyelinap di hatinya. “Emang ada urusan apa?” Ify menyambung pertanyaannya.

“Ya ada lah pokoknya… Ga penting buat lo…” sahut Rio. Ify menggigit bibir, lalu menoleh kembali ke arah jendela.

Rio tiba-tiba berdiri. Merasa gerakan Rio yang tiba-tiba, Ify menoleh dengan kaget ke arah Rio. Apalagi setahu Ify, lokasi komplek perumahannya masih cukup jauh dari jalan yang sedang mereka lalui sekarang. Ify membuka mulut untuk bertanya, tapi pemandangan yang dilihatnya membuatnya menghentikan niatnya.

“Ibu duduk disini aja Bu, biar saya aja yang berdiri” Rio mempersilakan seorang ibu muda yang nampak kerepotan menggendong seorang balita sambil menenteng tas belanjaan. Dengan wajah yang nampak lega, Ibu itu mengambil alih bangku Rio.

“Makasih ya Dik…” kata Ibu itu. Rio tersenyum. Senyumnya semakin lebar begitu mendengar balita di gendongan ibu itu terkikik geli, dan melambaikan tangannya yang gemuk ke arah Rio. Ibu itu kemudian menoleh ke arah Acha. Tersenyum, lalu bertanya.

“Mas nya itu temennya Mbak ya?”

Ify diam sesaat, memandangi Rio yang sekarang tanpa canggung mengajak balita tadi bercanda. Ify lalu tersenyum, mengangguk. Dan menjawab. “Iya Bu. Dia teman saya.” Ada nada bangga terselip di kata-katanya.

+++

Pilih mana, mau pulang naik mobil pribadi, atau mau naik bus aja, tapi barengan sama Rio?
Oh iyaaa..pada nyariin Ozy ya? Heuu... Kalau saya baik hati, saya masukkan si Ozy deh, di Part 10.
Part 10, besok sore :D
Silakan berkomen ria...supaya saya tetep semangat posting lanjutannya...

~ ~ ~ ~ ~ ~

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/i-love-you-i-love-you-not-9

You Might Also Like

0 comments