I Love You, I Love You Not : Part 15

11.05.00

Part 15: Hanya Karena Pulsa

(Maap. Ingkar janji. Tadinya mau besok aja. Tapi keburu gatel buat posting ^_^)
Perasaan Ozy campur aduk. Melihat Acha yang mengangguk ketika ditanya perasaannya terhadap Gabriel. Tapi waktu Ify menawarkan diri sebagai mak comblang, Acha malah menolak. Halah. Mau dibaaaawa kemana..hubungan iiiniiii???

+++

Semenjak kerja kelompok di rumah Ify itu, pertemanan mereka berkembang pesat. Sebenarnya Acha, Ozy dan Rio sendiri sudah cukup akrab semenjak mereka duduk dengan posisi berdekatan di kelas. Tapi perubahan sikap Ify yang cukup drastis, akhirnya membuat mereka berempat jadi jauh lebih akrab. Walaupun kadang-kadang masih terjadi upaya pembungkaman Ozy oleh Rio yang merasa kesal dengan kelakuan teman sebangkunya itu. Acha sendiri merasa senang dengan perkembangan ini.

Dia merasa hidupnya semakin berwarna dengan sahabat-sahabat barunya ini. Rio memang masih saja terlihat cool, seakan ada suatu rahasia di balik dirinya yang tidak ingin dia ungkapkan. Tapi paling tidak, dia tidak lagi bertengkar dengan Ify setiap hari seperti dulu. Ify juga jadi jauh lebih sering mengobrol dengan mereka. Kalau dibandingkan dengan sikapnya dulu yang seperti Ratu Salju, mencairnya sikap Ify ini sangat tidak diduga sebelumnya oleh Acha. Walaupun Ify masih rajin mengeluarkan komentar-komentar sarkastiknya setiap kali dia melihat tingkah Ozy.

Ozy…

Ah, Acha jadi tersenyum sendiri mengingat anak itu. Ozy yang selalu membawa bekal ke sekolah dengan alasan kafetaria adalah usaha terselubung pemiskinan siswa. Ozy yang yakin bahwa dia kembaran Dude Herlino (“Kami cuma beda nasib!”, komentar Ozy dengan wajah yakin). Ozy yang selalu melontarkan komentar-komentar lucu tentang berbagai hal. Ozy yang selalu bisa membuatnya tertawa. Derai tawa Ozy di telinga Acha terdengar seperti irama lonceng yang mengajaknya ikut tertawa juga.

Sudah 3 minggu berlalu semenjak mereka pertama kali berkumpul di rumah Ify. Dan minggu pagi ini, Acha kembali duduk di ruang tamu rumah Ify, menunggu kedatangan dua temannya lagi. Suara langkah kaki Ify yang menuruni tangga membuat Acha menoleh ke arah tangga.

“Dianter tadi Cha? Yang lainnya belum pada datang ya?” Ify melangkah mendekati Acha sambil mengikat rambut panjangnya. Dia lalu membanting dirinya di kursi tamu di sebelah Acha.

Acha mengangguk, “Iya, tadi dianterin Pak Wawan. Tapi ga tau tuh, Ozy sama Rio kok belum nongol ya?”. Acha memandang Ify yang bersandar di kursi. Acha mengamati Ify, lalu mengerutkan kening, “Kamu kenapa Fy? Kok kayaknya capek banget gitu?”

Ify memejamkan matanya sesaat, lalu membukanya lagi sambil menghela nafas. “Capek. Tadi malem kan biasa, pergi ama anak-anak gitu nonton bandnya Cakka manggung. Sampe malem banget gitu. Gua temenan, temenan sih sama Cakka. Tapi kalo mau jujur, gua ga begitu suka sama tipe musik bandnya dia. Japanese rock is so not my kind of music. Gua lebih seneng dengerin yang model-model jazz gitu. Tapi kata Angel, musik kayak gitu mah bukan selera anak muda banget…”, tiba-tiba Ify sudah mengeluarkan isi hatinya.

Entahlah, semenjak dia mulai akrab dengan teman-teman barunya ini, Ify baru merasa lebih nyaman untuk bercerita lebih terbuka tentang apa yang sebenarnya dia rasakan.

Acha mengangkat alis. “Walah, mana malam Minggu pasti macet gitu ya… “

Ify mengangguk, menaikkan kakinya ke atas sofa dan memeluk kedua lututnya, “Masih untung gua sama Gabriel. Jadi paling nggak gua ga usah nyetir sendiri…”, Ify tiba-tiba menatap Acha, lalu tersenyum simpul, “Eh, tapi lo ga papa kan gua tadi malam pergi sama Gabriel? Lo ga jealous-jealous gimaaaa..gitu kan?” goda Ify.

Acha merasakan semburat hangat di pipi yang merambat ke telinganya, “Ya ga lah Fy… Ngapain jugaaaa…”

Ify tertawa, tepat pada saat Ozy melangkah masuk sambil tersenyum lebar.

“Tenang..tenang sodara-sodara… Bang Ozy sudah datang, semua senang!” seru Ozy. Tiba-tiba dia lalu berbalik lagi ke arah luar, dan melambai ke arah pintu gerbang.

“Pak Eca! Enak ga kleponnya? Kalo suka, minggu depan saya bawain lagi Pak!” seru Ozy pada Pak Eca yang masih setia menunggui gerbang rumah Ify. Ozy lalu berbalik, dan melangkah ke arah kursi-kursi tamu, dan duduk di sofa.

“Lo nyogok satpam gua? Pake klepon?” Ify memandang Ozy sambil mengangkat sebelah alisnya.
Ozy meraih tas ranselnya, dan dengan wajah tidak peduli menjawab pertanyaan Ify sambil mengeluarkan map plastik berisi kertas-kertas yang dipenuhi berbagai coretan. “Habisnya, daripada gua bawa-bawa map dituduh minta sumbangan melulu, mending gua sekalian bawa sajen buat satpam elo Fy…”. Tiba-tiba Ozy mengangkat wajah ke arah Ify sambil mengerutkan kening, “Eh, tapi antara klepon sama martabak telur, satpam elo lebih suka yang mana ya?”.

“Do you really want to know?” sahut Ify dengan nada sarkastiknya. Ify lalu menoleh kembali ke arah pintu, menunggu Rio masuk. Ozy ikut menoleh ke arah yang sama dengan Ify, lalu baru menyadari suatu hal.

“Oh iya, gua tadi ga sama Rio. Kemaren waktu mau pulang dia bilang sama gua kalo ga usah jemputin dia. Lagian kalo hari Minggu motor bapaknya kan ga dipake, jadi dia bilang dia pinjem motor Bapaknya aja…” Ozy menjelaskan pada Acha dan Ify.

“Oh. Ya udah. Yuk, sambil nunggu kita mulai aja yuk…” sahut Acha sambil mulai meneliti kertas-kertas yang dibawa Ozy. Ify menurut dan ikut bergabung dengan Acha dan Ozy, walaupun sempat mendesah kecewa.

Empatpuluh lima menit sudah berlalu dari jam yang mereka sepakati bersama, tapi Rio masih belum muncul juga. Entah kenapa, Ify merasa semakin resah. Terus menerus melirik ke arah pintu yang sengaja dibuka Ify lebar-lebar. Sambil terus berusaha menenangkan hatinya yang gelisah.

Sampai akhirnya 5 menit sebelum jam 11, terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Diiringi dengan sosok Rio yang menerobos pintu, dan langsung menghampiri mereka dengan nafas terengah-engah.

"Sorriii…. Sorriii….” Kata Rio dengan wajah bersalah.

Ify tidak bisa menahan diri, “Lo ga punya jam ya? You’ve been late for almost an hour!”

“Iyaa…iya… Maap.. Tapi sekarang gua udah dateng kan…” kata Rio sambil mengambil salah satu gelas minuman yang masih penuh di atas meja, dan langsung meneguknya. Setelah menarik nafas lagi, dia berusaha menjelaskan, “Tadi gua ada urusan bentar…”

“At least you can give us a call. Lo kan bisa nelfon…” Ify masih menanggapi dengan nada tajam.

“Pulsa gua abis…” sahut Rio sambil meletakkan kembali gelasnya.

“Beli dong! Apa susahnya sih? Paling cuma duapuluh rebu perak doang…”

“Duapuluh rebu juga duit, tau!” Rio memandang Ify, wajahnya terlihat mulai kesal.

“Halah. Cuma segitu doang. Apa perlu gua yang beliin?” Ify tidak mau kalah.

“Heh! Ga usah belagak jadi orang kaya deh lo!” nada suara Rio kini mulai meninggi.

“Gua? Belagak kaya? Excuse me, but I AM rich. Gua ga usah belagak jadi orang kaya…” Ify berdiri tanpa melepaskan pandangannya dari Rio. Kedua tangan Ify terlipat di depan dadanya.

“Terus, kalo lo kaya, apa berarti lo berhak buat jadi sengak gitu? Lagian lo mesti inget, yang kaya bukan elo, tapi ortu lo! Lo belum ada apa-apanya Fy, ga usah sombong!” Rio ikut berdiri dengan tinju yang terkepal di sisi tubuhnya.

“Eh, it wasn’t my fault that I was born with a silver spoon in my mouth. Bukan salah gua dong terlahir dalam kondisi yang beruntung kayak gini!”

“Emang. Ga salah. Yang salah itu sikap elo terhadap kondisi elo!”

“Halah! Lo kalo ngiri sama gua, ga usah sok bijaksana gitu deh!”

“Denger ya.. Gua. Ga pernah. Ngiri. Sama elo. Sama kehidupan elo yang palsu.Ataupun sama temen-temen borjunya elo yang bisanya cuma seneng-seneng dan ngabisin duit ortunya. Gua punya kehidupan yang jauh lebih berharga dibandingkan kehidupan kalian yang semu itu. Jadi ngapain gua ngiri sama elo?” Rio terdengar menggeretakkan giginya dengan penuh amarah.

“Terus, ngapain lo masih disini?”

“Tenang aja. Gua bentar lagi cabut. Gua ga punya waktu cuma untuk berdebat ga jelas sama cewek manja kayak elo…” sambil menuntaskan kalimat terakhirnya, Rio menyambar ranselnya yang tergeletak di lantai.

Dengan langkah-langkah panjang, Rio menerobos pintu depan, keluar menuju halaman depan. Beberapa detik kemudian, suara derap langkah Rio digantikan suara sepeda motor yang dipacu dengan kencang. Menjauh pergi. Meninggalkan Ify, yang kini tengah berdiri sambil menggigit bibir. Sambil setengah mati berusaha menahan tetesan bening itu meninggalkan sudut matanya.

Acha tidak berani berkata apa-apa. Bahkan untuk bernafas pun dia sempat ragu. Acha tidak pernah suka bertengkar, bahkan melihat orang beradu pendapat pun dia sudah merasa ketakutan. Dan pertengkaran antara Rio dan Ify tadi nyaris membuatnya terisak.

Begitu Ify dan Rio mulai berdiri tadi, tanpa sadar dia meraih lengan kiri Ozy yang duduk di sebelah kirinya untuk menyalurkan ketegangannya. Dan saat Rio sudah pergi, baru Acha sadar. Bahwa selama ini dia menggenggam lengan itu erat-erat, seakan mencari kekuatan dari sana.

Ozy menoleh sekilas ke arah Acha, lalu melemparkan pandangan kembali ke arah pintu, dimana sosok Rio baru saja menghilang. Tapi Ozy tidak berusaha melepaskan lengannya dari genggaman Acha. Bahkan kini tangan kanannya membelai rambut Acha perlahan, seakan berusaha menenangkan Acha. Acha menunduk, walaupun sebetulnya yang dia inginkan saat ini adalah menangis di pundak Ozy.

Ify terduduk di kursinya semula. Lalu menangkupkan kedua telapak tangannya di wajahnya. Ify menarik nafas panjang berkali-kali. Pundaknya nampak bergetar sesekali. Acha memandang Ify, lalu menoleh ke arah Ozy. Ozy mengangguk ke arah Acha, lalu memberi isyarat agar Acha mendekati Ify.

Acha menghela nafas, melepaskan genggaman tangannya dari lengan Ozy, lalu berjalan mendekati Ify. Acha duduk di sebelah Ify, lalu meraih pundak Ify ke dalam rangkulannya dan perlahan mengusap-usap punggung Ify. Ify diam. Tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, masih menunduk dengan telapak tangan menutupi wajahnya.

“Udahlah Fy… Ntar kalo udah tenang, biar kita ngomong baik-baik sama Rio.”

“My fault. Gua mestinya ga ngomong kayak gitu… That was so rude.” suara Ify terdengar lirih dan bergetar.

“Yah Fy, kalian sama-sama lagi capek deh kayaknya. Makanya ngomongnya ga kekontrol…”
Ify melepaskan tangannya dari wajahnya, dan berusaha tersenyum. “Sorry guys, mau dilanjutin nih ngerjainnya? Yuk…”

Ozy menggeleng sambil melempar senyum ke arah Ify, lalu mulai membereskan kertas-kertas yang berserakan. “Ga usah lah Fy. Ntar aja lagi kita sambung. Kalo semua moodnya udah enakan…”

Acha mengangguk, merangkul pundak Ify sekali lagi. “Udah, kamu istirahat aja dulu.” Ify hanya mengangguk. Acha berdiri, dan melangkah ke arah Ozy. Dia lalu meraih tasnya yang disodorkan Ozy ke arahnya. Acha lalu berbalik ke arah Ify.

“Kita pulang dulu aja deh. Biar lo bisa bener-bener istirahat…” kata Acha.

“Lo pulangnya gimana? Nunggu disini dulu aja sampai dijemput sopir elo. Biasanya kan lo baru dijemput jam 2 gitu kan? Sekarang baru jam setengah dua belas.” kata Ify sambil melemparkan pandangan ke arah jam besar di ruangan itu.

“Biar gua yang nganter Acha…” kata Ozy tiba-tiba. Acha berbalik menatap Ozy, dengan perasaan yang berdebar. Ify mengangguk kecil.

“Ya udah deh. Gua nitip temen gua ya Zy. Ati-ati…” kata Ify. Ozy mengangguk.

“Yuk Cha…” kata Ozy sambil menyelempangkan ranselnya dan berjalan keluar. Acha mengikutinya dari belakang.

Ify berjalan pelan ke arah pintu, bersandar di pinggiran pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. Memperhatikan Ozy yang tengah menstarter motornya, sementara Acha duduk menyamping di belakangnya. Ify mengangguk kecil waktu Acha melambai ke arahnya. Begitu motor itu berlalu, Pak Eca menutup gerbang. Ify berbalik, lalu melangkah menuju kamarnya.

Saat ini Ify hanya ingin menangis hingga tertidur. Hal yang terakhir kali dilakukannya sepuluh tahun yang lalu.

+++

Percayalah, penulis pun ga suka adegan berantem seperti ini... Kacau banget sih, kok Rio dan Ify malah berantem sih? Tapi Acha malah sempet megang-megang Ozy tuuuhh..
Baiklah, sekali ini saya akan memegang teguh janji saya...
BESOK SORE baru akan saya posting Part 16...
Oke? Oke?
Sip!

Cheers!
= Ami =

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/i-love-you-i-love-you-not-15

You Might Also Like

0 comments