~~ Loving You, Secretly... ~~

11.21.00

Dengan tergesa Shilla menyusuri koridor di kampusnya. Langkahnya cepat, dengan pandangan mata yang lurus ke depan. Belum sampai di ruang kelas yang ditujunya, sebuah suara yang memanggil namanya menghentikan langkah Shilla.

“Shil!”

Shilla berhenti, dan menoleh. Ozy mendekatinya dengan langkah panjang. Acha mengiringi Ozy agak di belakangnya.

“Eh…” kata Shilla, menyambut kedatangan Ozy.

Ozy berhenti dua langkah di depan Shilla. “Tugas makalahnya Pak Duta bawa kan? Kan hari ini dikumpulnya.”

Shilla tersenyum lemah. Ozy dan Shila memang tergabung dalam satu kelompok untuk mengerjakan tugas makalah itu, bersama-sama Acha juga. Tapi Shilla sebetulnya merasa enggan untuk bertemu dengan Ozy sebelum menyerahkan makalah itu.

“Bawa kok…” sahut Shilla, mempererat genggamannya pada tali tote bag yang tersampir di bahunya.

“Mana?” tanya Ozy lagi sambil mengangsurkan tangannya ke arah Shilla.

Shilla mendesah kecil, harapannya agar Ozy tidak menyinggung-nyinggung tugas itu sebelum dikumpulkan tidak terkabul. Tapi Shilla toh tahu bahwa harapannya itu akan sia-sia. Ozy tipe orang yang perfeksionis, yang selalu memastikan bahwa tugas yang akan dikumpulkan telah diselesaikan sebaik mungkin.

Shilla merogoh-rogoh tasnya, dan sesaat kemudian menyodorkan sebuah makalah yang telah dijilid rapi ke arah Ozy. Shilla tidak berani menatap Ozy langsung, dia hanya menunduk, tapi sempat sedikit melirik ke arah Acha yang berdiri di sebelah Ozy. Ada ekspresi kasihan yang nampak di wajah lembut Acha yang juga tengah memandangi Shilla.

Ozy menerima makalah itu, dan menimangnya. Dengan cepat Ozy membaca judul makalah tersebut, memastikan tidak ada kesalahan ejaan yang memalukan. Setelah selesai, tatapan matanya langsung tertumbuk pada keempat nama yang dituliskan di sampul makalah itu. Begitu melihat nama pada baris terakhir, Ozy mendecak kesal.

“Ini yang mau kamu kumpulkan ke Pak Duta?” kata Ozy tajam, mengacungkan makalah di tangan kanannya.

“Ya iya lah… yang mana lagi?” sahut Shilla, sedikit gemetar. Tapi Shilla berusaha menguatkan diri. Demi nama keempat itu…

“Ngapain nama Cakka masih dimasukkan di sini?” suara Ozy masih terdengar tajam.

“Kan dia juga anggota kelompok kita…” jawab Shilla, berusaha memberikan alasan atas tercantumnya nama Cakka di sampul makalah itu.

“Oh, iya ya? Aku sampai lupa. Kita udah berapa kali ya ngerjain tugas kita ini bareng-bareng? Empat kali kan? Aku gak pernah ketemu tuh sama Cakka…” dengan sinis Ozy melipat kedua tangannya di depan dadanya, menatap tajam ke arah Shilla.

“Dia… Emm… kebetulan aja kok pas kita janjian itu Cakka pas gak bisa dateng…” Shilla masih berusaha membela Cakka. Seperti yang selalu dia lakukan selama ini. “Lagian dia sebenarnya ikut ngerjain kok…” tambah Shilla dengan cepat.

“Bagian yang mana?” Ozy masih mengejar dengan pertanyaan. Nada suaranya masih datar, tapi terdengar semakin intimidatif di telinga Shilla.

“Yang bagian Kesimpulan, sama bagian batasan masalah…” sahut Shilla cepat. Dia tidak sepenuhnya berbohong kok. Toh dia mengetik bagian itu sambil menelepon Cakka. Yah, walaupun yang mereka obrolkan di telepon saat itu bukan tentang makalah itu, paling tidak Shilla jadi lebih bersemangat mengetik bagian itu. Dan itu artinya Cakka ikut membantu pengerjaan tugas itu kan? Meskipun secara tidak langsung, toh itu tetap salah satu bentuk bantuan kan?

“Oh. Jadi pengen tahu. Cakka tahu gak judul makalah kita apa?”

“Zy… sudahlah…” suara lembut Acha berusaha menengahi. Dengan lembut dia meraih lengan Ozy dan tersenyum, berusaha menenangkan kekasihnya itu. Shilla beralih memandang Acha dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

Ozy mendesah kesal. “Terserah deh. Gua gak mau ngurus lagi. Yang penting bagian gua udah gua kerjain.” kata Ozy, nada suaranya masih terdengar menyimpan ketidaksukaannya. Dia lalu membetulkan letak ransel di bahunya. Ozy mendecak kesal sekali lagi.

“Heran gua. Kalo kelakuannya kayak gini terus, gua ga ngerti. Sebenernya Cakka kuliah mau nyari apa sih? Nyari status doang? Ngapain bayar kuliah mahal-mahal kalo cuma nitip absen doang?”

“Zy…” Acha kembali berusaha menegur dengan lembut. Sementara di hadapan mereka, Shilla memilih untuk tidak menanggapi kata-kata Ozy tadi. Dia hanya diam dan menunduk.

“Bodo amat lah…” , nada tidak suka jelas terdengar dalam kata-kata Ozy. “Makalahnya gua yang bawa deh, biar nanti di kelas gua aja yang ngumpulin…” kata Ozy lagi. Tanpa menunggu jawaban Shilla, dia kembali melangkah menuju ruangan kuliah mereka.

Acha tidak langsung mengikuti Ozy. Dia hanya menghembuskan nafas panjang sambil memandangi punggung Ozy yang bergerak menjauhi mereka.

“Shil, sorry ya si Ozy tadi…”

Shilla mengangkat wajah, mendapati Acha menatapnya. Ada sedikit rasa iba nampak di ekspresi wajah Acha. Shilla tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan.

“Gak papa…” sahut Shilla. Dia bisa mengerti reaksi Ozy tadi. Apalagi Ozy selama ini memang dikenal sebagai mahasiswa yang cukup idealis di jurusan mereka. Beasiswa yang cukup bergengsi dari salah satu perusahaan terkenal yang diperolehnya merupakan salah satu bukti keseriusan Ozy dalam studinya. Kalau dibandingkan dengan Cakka, memang ada jurang perbedaan yang besar antara mereka berdua. Shilla sendiri sadar, seandainya dia tidak bersahabat dengan Acha, mungkin Ozy tidak akan mau menerima Shilla, apalagi Cakka, sebagai anggota kelompoknya.

“Cha!” tiba-tiba suara Ozy terdengar kembali. Beberapa puluh meter di depan mereka, Ozy nampak berdiri dengan raut wajah tidak sabar.

Acha menepuk pelan pundak Shilla.

“Aku duluan Shill…”

Shilla kembali mengangguk pelan. Acha tersenyum kecil, lalu setengah berlari menghampiri Ozy. Begitu sampai di sisi Ozy, Acha nampak meraih jemari Ozy untuk menggandengnya. Bahkan dari jauh, Shilla bisa melihat Ozy tersenyum begitu Acha menggandengnya. Dengan sedikit miris, Shilla memandangi pasangan itu berjalan bergandengan menuju ruang kuliah. Tanpa bisa dicegahnya sebersit rasa iri menyelinap di benak Shilla melihat betapa Ozy dan Acha terlihat begitu dekat dan serasi satu sama lain.

Ah, seandainya saja…

Shilla menggelengkan kepalanya, mencoba membuang jauh-jauh pikiran itu di benaknya. Dia menghembuskan nafas keras-keras. Berusaha menerima kenyataan bahwa untuk saat ini, hanya yang seperti inilah yang bisa dijalaninya bersama Cakka. Sambil melangkah ke arah ruang kuliahnya, Shilla kembali menanamkan suatu keyakinan dalam dirinya. Dia hanya harus menunggu. Itu saja. Dia hanya harus menunggu.

***

Dengan gelisah, Shilla kembali melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat sepuluh menit sejak Pak Duta masuk dan mulai memaparkan materi perkuliahan hari itu. Pak Duta hanya memberikan toleransi keterlambatan 15 menit. Lewat dari 15 menit, hanya dengan isyarat tangan Pak Duta akan melarang mahasiswa yang terlambat untuk masuk ke dalam ruangan. Untuk kesekian kalinya Shilla melirik jam tangannya sambil menghitung dalam hati. Cakka hanya punya waktu kurang dari lima menit kalau dia memang ingin masuk kuliah.

Baru saja Shilla mengangkat wajahnya untuk memandangi whiteboard yang sudah terisi tulisan tangan Pak Duta, dia mendengar derap langkah kaki mendekati ruangan kuliah. Dengan penuh harap Shilla mengalihkan pandangannya ke pintu ruangan. Benar saja, beberapa saat kemudian, Cakka muncul di pintu. Pak Duta menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan Cakka di salah satu daun pintu yang dibiarkan tertutup.

“Misi Pak… Maaf terlambat…” suara Cakka tidak terdengar gemetar sedikit pun, bahkan ada sedikit nada tidak peduli dalam kata-katanya tadi.

Pak Duta tidak menyahut, hanya melirik sekilas ke arah jam dinding besar yang tergantung di dinding dihadapan beliau. Beliau lalu mengangguk sebagai isyarat mengizinkan Cakka masuk, lalu kembali melanjutkan penjelasannya. Dengan langkah santai, Cakka masuk dan menuju salah satu kursi yang masih kosong di deretan kedua dari depan. Sambil menduduki kursi itu, Cakka meletakkan ranselnya di lantai, di sebelah kursi.

Dari tempat duduknya, Shilla mengamati setiap detil gerakan Cakka, nyaris tanpa berkedip. Setiap hal, yang paling kecil sekalipun dari Cakka, selalu menimbulkan efek yang sama. Membuat deras aliran darah Shilla terasa semakin kencang. Ekspresi wajah Cakka yang seakan tidak peduli dengan sekitarnya. Gerak-geriknya yang nampak santai, seakan-akan dia yakin bahwa seluruh dunia bisa menunggunya. Bahkan berkas sinar matahari yang jatuh menimpa rambut Cakka yang nampak agak berantakan menimbulkan kesan bahwa dia nampak lebih berkilau dibandingkan orang lain yang ada di ruangan itu.

Tanpa mengalihkan pandangan dari Cakka, Shilla menggumamkan doa dalam hatinya. Sekali ini sepertinya doanya dengan cepat mendapatkan jawaban. Cakka menoleh tepat ke arah Shilla. Cakka tersenyum sekilas, lalu kembali memandang ke arah depan. Di kursinya, Shilla merasa jantungnya nyaris meledak melihat senyuman tadi.

Cukup sekilas senyuman itu saja sudah membuat Shilla merasa jauh lebih bersemangat. Merasa jauh lebih bahagia. Dengan hati berbunga-bunga Shilla kembali memandangi layar proyektor yang tengah menampilkan slide berisikan berbagai macam teori yang tengah dijelaskan Pak Duta. Sambil berusaha mendengarkan penjelasan Pak Duta yang tengah mencorat-coret whiteboard, Shilla melirik kembali ke arah Cakka. Cakka nampak bersandar santai di kursinya, tapi bukannya mencatat atau mendengarkan penjelasan Pak Duta, dia malah nampak asyik dengan blackberry di genggamannya.

Shilla mengerutkan keningnya melihat kelakuan Cakka, tapi perhatiannya teralihkan pada ponselyang diletakkannya di atas buku catatan. Layar ponselnya yang diset Shilla untuk berada dalam posisi silent nampak berkelap-kelip, menunjukkan bahwa ada pesan yang baru masuk. Shilla kembali merasakan degup kencang di dadanya ketika melihat siapa pengirim pesan itu. Cakka.

Dengan hati-hati, berusaha agar gerakannya tidak nampak kentara, Shilla meraih ponsel itu dan memencet beberapa tombol untuk membaca pesan yang masuk tersebut.

Sender: My Charming Prince

Message: Hei. Cantik juga kamu pake baju ungu gitu.

Shilla yakin, wajahnya pasti saat ini tengah memerah. Karena dia bisa merasakan betapa rasa panas menjalari wajahnya. Shilla menunduk, tapi sambil sembunyi-sembunyi kembali melirik ke arah si pengirim pesan. Cakka nampak duduk santai di kursinya, dengan kedua kaki yang dijulurkannya ke depan, mempertegas sosok tingginya meskipun tengah duduk. Wajahnya pun terlihat santai, seakan tidak ada apa-apa yang terjadi. Blackberry-nya masih di genggamannya. Seakan merasa bahwa dia diperhatikan, Cakka menggerakkan sedikit kepalanya ke arah Shilla. Begitu memergoki bahwa Shilla memang tengah melirik ke arahnya, Cakka kembali tersenyum kecil, lalu mengedipkan sebelah matanya ke arah Shilla. Detik selanjutnya Cakka sudah terlihat kembali menatap ke arah Pak Duta.

Mendapat kedipan mata seperti itu, Shilla merasakan degupan jantungnya semakin tak beraturan. Dengan sembunyi-sembunyi, Shilla kembali berkutat dengan ponselnya, sekali ini untuk mengetik balasan SMS tadi.

To: My Charming Prince

Message: Gombal. Eh, kok telat?

Begitu pesan itu terkirim, Shilla menegakkan posisi duduknya sambil meletakkan ponsel itu di atas buku catatannya. Dia berlagak memusatkan perhatiannya pada teori asal komunikasi yang tengah dijabarkan Pak Duta di depan kelas. Meskipun demikian, entah berapa kali dia melirik ke arah Cakka.

Lima menit kemudian, layar ponselnya berkelap-kelip lagi. Shilla menarik ponsel itu mendekat ke arahnya, lalu menunduk seakan-akan menekuni catatannya, meskipun sebenarnya yang dia lakukan adalah berkutat dengan ponsel itu.

Sender: My Charming Prince

Message: Biasalah. Kemaren maen sampe malem banget. Ngomong2 tugas yang ini udah beres kan?

Membaca kalimat terakhir dari pesan Cakka tadi, Shilla menggigit bibir. Namun dengan cepat dia mengetikkan balasannya.

To: My Charming Prince

Message: Sudah dong. Udah dikumpulin Ozy tadi

Shilla masih menunduk, tapi perhatiannya tidak lagi tertuju padap penjelasan Pak Duta. Dari sudut matanya dia bisa melihat Cakka memainkan Blackberry di genggamannya, membaca pesan masuk yang baru saja dikirimkan Shilla tadi. Sesaat kemudian, Shilla merasakan hatinay berdegup kegirangan ketika Cakka menoleh ke arahnya. Sambil tersenyum, Cakka mengangkat sebelah ibu jarinya. Mulutnya bergerak tanpa menimbulkan suara.

“Thanks”

Shilla bisa membaca gerakan bibir itu. Shilla mengangguk kecil sebagai jawaban. Cakka kembali pada posisinya semula. Duduk dengan santai. Wajah menatap lurus ke depan, tetap dengan ekspresi datar, seakan tidak peduli pada keadaan di sekitarnya.

Dari tempat duduknya, Shilla tersenyum kecil. Cakka ada di ruangan yang sama dengannya. Itu sudah cukup bagi Shilla. Meskipun Shilla hanya bisa memandanginya dari jauh. Tapi bukankah tadi ada sekilas senyuman yang ditujukan Cakka hanya untuknya?

Senyum itu sudah sangat cukup bagi Shilla sebagai alasan untuk merasa bahagia.

***

Shilla mengetuk-ngetukkan pulpen di genggamannya pada lembaran fotokopian materi kuliah yang ada di depannya. Tapi pandangannya tertuju pada jam dinding bulat berwarna merah tua yang tergantung di dinding kamarnya. Dalam hati dia menghitung. Sekarang sudah lewat 20 menit dari jam 11 malam. Tadi malam saat Cakka menelfonnya, dia sudah memberitahu Shilla bahwa Silver Arrow, band dimana Cakka menjadi seorang gitaris, akan membawakan 6 lagu di café tempat mereka manggung malam ini. Kalau memang jadwal acara tepat waktu, dari jam 9 tadi, mestinya sekarang mereka sudah selesai manggung. Mungkin sekarang mereka masih ada di backstage. Atau mungkin malah mereka sedang bersantai setelah selesai manggung di café itu.

Sambil mendesah keras, Shilla berdiri dari kursinya. Dia meraih ponselnya dari atas meja, lalu dengan ponsel tersebut di genggaman, Shilla membanting dirinya ke tempat tidur. Dengan posisi menelungkup beralaskan dua buah bantal yang ditumpuknya menjadi satu, Shilla memain-mainkan ponsel tersebut di tangannya. Bimbang.

Akhirnya Shilla mengambil keputusan. Dengan cepat ditekannya sejumlah tombol di ponsel itu yang sudah begitu lekat di ingatannya. Shilla mendekatkan ponsel itu ke telinganya, mendengarkan nada sambung yang mulai terdengar dengan rasa gugup yang bercampur harapan.

“Aaahhh…” dengan kesal Shilla menekan tombol untuk mengakhiri panggilan, Tidak ada gunanya, Cakka tidak mengangkat telfonnya tadi. Dengan sedikit putus asa Shilla mengetuk-ngetukkan ponsel itu di atas kasur sambil memejamkan matanya, berusaha menelan kekecewaan.

Cakka mungkin tidak mendengar kalau ponselnya berbunyi, pikir Shilla, berusaha mencari alasan. Pasti, suasana café kan ramai. Mungkin ponsel itu diletakkannya dalam ransel, sehingga bunyinya semakin tidak terdengar oleh Cakka.

Shilla membuka matanya kembali sambil menghembuskan nafas keras-keras, lalu sambil menggigit bibir, mencoba lagi.

Please God, please…. Let him answer my call… bisik Shilla lirih sambil mendengarkan nada sambung dari ponsel tersebut.

“Halo?”

Nafas Shilla nyaris terhenti mendengar sahutan Cakka di ujung sana setelah deringan keenam.

“Cakka?”

“Halo? Halo? Siapa nih?”

“Cakka? Ini aku…” kata Shilla, mengubah posisinya dari berbaring menelungkup menjadi duduk bersila di atas kasur. Shilla menajamkan suaranya. Selain sahutan Cakka tadi, Shilla bisa mengenali beberapa suara lainnya samar-samar di latar belakang. Yang tengah tertawa itu pasti Ray, Shilla hafal dengan suara tawa drummer di band Cakka itu yang terdengar begitu khas. Lamat-lamat dia juga bisa mendengar suara Alvin, salah satu vokalis, tengah menyerukan sesuatu, yang langsung disambut derai tawa.

“Halo? Ntar, sinyalnya jelek nih… aku keluar dulu…” suara Cakka terdengar lagi.

Shilla menggigit bibir, merasakan torehan rasa perih yang tiba-tiba muncul di dadanya. Bukan, bukan sahutan Cakka tadi yang membuat Shilla merasakan sakit yang muncul kembali untuk kesekian kalinya itu. Tapi suara yang lamat-lamat terdengar oleh Shilla diantara suara-suara lainnya. Suara tawa seorang gadis. Shilla menarik nafas dalam-dalam, berusaha melupakan suara tadi.

“Halo? Shil? Belum tidur?” suara Cakka terdengar kembali, kali ini lebih jelas. Sepertinya Cakka sudah berpindah dari tempatnya tadi ke tempat yang lebih sepi. Suara-suara lain masih terdengar, tapi tidak lagi sejelas tadi.

“Emm.. belum… Nungguin kamu selesai manggung dulu…”

Sahutan Shilla tadi disambut derai tawa oleh Cakka. Shilla membalikkan tubuhnya, ditatapnya langit-langit kamarnya yang bercat biru tua. Dia bisa membayangkan ekspresi wajah Cakka yang tengah tertawa. Matanya akan sedikit menyipit, dan sedikit poni di dahinya akan ikut bergetar seiring dengan tawanya itu.

“Lha, ini sudah selesai manggung…” kata Cakka akhirnya.

“Gimana manggungnya tadi?”

“Not bad…” sahut Cakka dengan santai. “Penontonnya asyik-asyik…”

“Oh… Bagus dong?”

Cakka kembali tertawa. Tiba-tiba, dia berkata, “Tadi bawain Loving You Secretly lho…”

Shilla tersenyum kecil. Tanpa bisa dicegahnya, perasaan tersanjung menyeruak begitu saja di hatinya. Cakka pernah bilang kalau lagu itu ditulis Cakka khusus untuknya.

“Aku nyanyi, pas reff.. sambil mikirin kamu…” sambung Cakka lagi. Membuat Shilla merasa semakin terbang melayang.

“Makasih…” kata Shilla, tersipu, tapi menikmati getaran halus yang merayapi urat nadinya.

Loving you, secretly, mysteriously, and tonight I’m whispering my wishes about you so softly… No one will understand about how I secretly love you and the stars trapped in your eyes…” Cakka dengan lembut menyanyikan reff lagu itu.

Shilla menutup matanya. Menikmati setiap kata yang membawanya semakin jauh dari kenyataan, mendekati mimpi dan harapannya.

“Sekarang kamu tidur ya Cantik…” suara Cakka terdengar kembali, masih begitu lembut, seakan masih ingin membuai Shilla dalam mimpi indahnya tentang mereka berdua.

“Iya…” jawab Shilla, sedikit enggan mengakhiri percakapan mereka. Terlalu singkat. Selalu terlalu singkat.

“Sweet dreams, my lady…” kata Cakka lagi.

Shilla mengangguk, meskipun sadar bahwa Cakka tidak akan bisa melihat gerakan kepalanya itu. Detik selanjutnya, yang terdengar dari ponsel yang masih menempel di telinga Shilla tinggal nada panjang yang menandakan bahwa Cakka telah memutuskan sambungan.

Shilla mendesah panjang, lalu mematikan ponselnya. Perlahan diletakkannya ponsel itu di sebelah bantalnya. Shilla berbaring menyamping, memandangi ponsel itu. Memutar kembali setiap jejak kata dari percakapan singkat mereka. Suara Cakka, kata-katanya, tawanya, dan nyanyiannya bergaung dengan jelas dalam kepala Shilla, seperti suatu mantra yang tak mau pergi dari ingatan.

Shilla memejamkan mata, lalu bersenandung lirih.

Only time holds the answer, of how long in the shadows we should stand …

This simple love of us is too complicated for them to understand.

So for now, let the shades of the night keep this secret, about how I love you, secretly, mysteriously…”

Sebutir air mata jatuh di sudut mata Shilla. Mengalir perlahan, meninggalkan jejak bening di pipinya.

Adakah yang lebih menyesakkan ketika cinta tak bisa ditunjukkan pada dunia?

***

Shilla mematut dirinya di depan cermin besar yang menempel di pintu lemari pakaian. Sambil sedikit memiringkan kepala, disikatnya kembali rambutnya. Sinar matahari pagi yang jatuh lewat jendela nampak membentuk petak-petak cahaya di karpet hijau kamarnya.

Sambil menyikat rambutnya, Shilla hanya setengah menyimak suara dari televisi di kamarnya yang tengah menayangkan infotainment di pagi itu. Dia tidak betul-betul memperhatikan isi beritanya. Paling-paling masih sama dengan edisi kemarin, artis yang baru saja menggugat cerai pasangannya, masalah perebutan hak asuh anak, atau artis yang melaporkan rekannya ke polisi dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.

Tapi begitu mendengar pembawa acara infotainment menyebut-nyebut nama Silver Arrow, Shilla tersentak. Dengan sedikit tergesa, dia duduk di tempat tidurnya, dan memusatkan perhatiannya pada televisi di depannya. Shilla menduga, pasti infotainment ini tengah menyajikan sekilas liputan tentang penampilan Silver Arrow di café Blue Sky tadi malam.

Benar saja, layar televisi nampak menyajikan cuplikan penampilan band yang telah meluncurkan dua album tersebut. Silver Arrow memang baru merilis dua album. Tapi keduanya mencetak angka penjualan yang cukup fenomenal, sehingga langsung membawa Silver Arrow sebagai band papan atas, meskipun terbilang masih baru.

Shilla tersenyum kecil ketika melihat beberapa kali Cakka disyut saat tengah memainkan gitarnya. Dalam kondisi apapun juga, Cakka sebenarnya sudah sangat menarik. Tapi saat tengah beraksi bersama gitarnya, ada aura lain yang ikut muncul. Seakan Cakka dan gitarnya adalah satu, menjadi jiwa satu sama lain.

Belum puas rasanya Shilla memandangi wajah Cakka di layar di hadapannya, berita sudah beralih dari liputan mengenai penampilan Silver Arrow.

Deg.

Shilla merasa dadanya terisi lapisan-lapisan tajam es yang menyerpih. Infotainment tersebut masih menayangkan berita tentang Cakka. Tapi bukan lagi tentang penampilan Cakka bersama Silver Arrow tadi malam.

Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, Shilla menatap tayangan di depannya. Cakka yang tengah berdiri berdampingan sambil bergandengan tangan dengan seorang gadis berparas manis. Rambut gadis itu nampak mengombak dengan cantik, terurai di sekeliling wajahnya. Sepasang mata bulat yang nampak begitu sempurna di wajah gadis itu, yang nampak tertawa sedikit malu saat sang reporter infotainment menanyakan hubungan antara gadis itu dengan pria yang tengah menggandeng tangannya.

Cih. Reporter bodoh. Seorang gadis, mendampingi Cakka saat dia manggung. Dan mereka kini bergandengan tangan pula. Untuk apa masih menanyakan hubungan macam yang ada di antara mereka?

Shilla sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melemparkan apa saja yang bisa diraih tangannya ke arah televisi. Menghancurkan wajah manis yang nampak tersipu malu itu hingga berkeping-keping.

Tidak. Tidak boleh. Tidak mungkin. Shilla memejamkan mata, berusaha menahan luapan emosi. Berusaha membendung cemburu.

Keke. Gadis yang tengah mengucapkan deretan kalimat (entah apa, Shilla tidak mendengarnya, Shilla tidak ingin mendengarnya) itulah alasan kenapa Shilla hanya bisa menyimpan rapat setiap detik yang pernah dilaluinya bersama Cakka, hanya sebagai sebuah rahasia.

Keke. Gadis yang memulai karirnya sebagai seorang artis sinetron, dan kini mulai muncul pula di beberapa film layar lebar. Tapi tidak hanya itu. Ayahnya, Joe, telah dikenal sebagai orang yang paling berpengaruh di industri musik dalam dua dekade terakhir ini. Kemampuannya untuk meramalkan musik yang akan menjadi trend, dan tangan dinginnya untuk menemukan bakat-bakat baru di dunia musik danmengorbitkan mereka merupakan kombinasi yang sempurna. Dan kesuksesan fenomenal Silver Arrow adalah salah satu bukti nyata betapa Joe sangat berpengaruh di industri ini. Maka tidak ada yang terkejut ketika anak gadis satu-satunya dari Joe terlihat semakin sering muncul dalam berbagai pertunjukan Silver Arrow. Dan 8 bulan terakhir ini, sudah jelas terlihat bahwa Keke sepertinya jauh lebih akrab dengan gitaris band itu dibandingkan dengan personil lainnya.

Dengan wajah datar Shilla menekan remote untuk mematikan televisi di depannya. Dia berdiri, lalu merapikan roknya. Shilla meraih tasnya, lalu melangkah keluar. Bunyi ponsel dari dalam tasnya menghentikan langkahnya sebentar di depan tangga. Sambil menuruni tangga, Shilla memeriksa ponselnya.

Sender: My Charming Prince

Message: Shill, aku gak kuliah deh kayaknya.Cpek bangt. Tp katanya Bu Winda ngasih tugas ya? Dikmpl hari ini?

Masih sambil menggenggam ponsel itu, Shilla memeriksa isi tasnya, memastikan bahwa semua barang yang diperlukannya ada di dalam tas itu. Bagus. Tidak ada yang tertinggal. Ada dua rangkap tugas di dalam tasnya. Dengan cepat Shilla mengetik balasan SMS tadi.

To: My Charming Prince

Message: Iya. Tapi tenang aja. Punyamu udah kubikinin kok.

Shilla melangkah menuju pintu rumah. Belum sempat dia menutup kembali pintu itu, SMS dari Cakka sudah masuk kembali.

Sender: My Charming Prince

Message: Makasih Cantik. I don’t know how my life’s gonna be without you.

Shilla memasukkan ponselnya ke dalam tas, danmenutup pintu di belakangnya. Dengan langkah cepat, dia berjalan menuju mobilnya yang sudah disiapkan oleh sopirnya.

Dia berusaha tidak peduli bahwa saat ini cinta mereka hanya rahasia yang terlalu rapuh untuk disampaikan pada dunia. Yang penting dia bisa berguna untuk Cakka. Dan dia bisa menunggu. Shilla tahu, dia hanya perlu bersahabat dengan waktu. Untuk bersabar, dan menunggu.

***

Shilla mengangkat kepala dari rangkaian bunga yang tengah ditatanya ketika mendengar langkah kaki disertai suara lembut yang memanggilnya.

“Shil?”

“Eh, Cha…”, Shilla tersenyum menyambut kedatangan sahabatnya itu. Sementara Acha malah terlihat sedikit takjub menatap meja makan beralaskan taplak putih yang ada di ruang makan itu.

“Sama siapa?” tanya Shilla.

Acha menggeser salah satu kursi dan duduk di situ sebelum menjawab. “Sama Ozy. Dia masih di luar tuh, tadi lagi nerima telfon gitu…”

“Oh…” sahut Shilla. Dia lalu meneruskan kesibukannya, diisinya kedua gelas kristal yang ada di atas meja itu dengan air es. “Kenapa Cha?” tanya Shilla sambil bergerak dengan lincah di sekeliling meja, memastikan semua yang ada di atas meja itu terlihat sempurna, sesuai keinginannya.

“Mau balikin diktat ini…” jawab Acha, merogoh ke dalam tas lalu mengeluarkan sebuah buku tebal. Diletakkannya buku itu di atas meja. “Udah aku fotokopi… Makasih ya Shill…”

Shilla hanya mengangguk. Perhatiannya masih terpusat pada serbet yang tengah dilipatnya menjadi sebuah bentuk geometris yang cantik.

“Kok sepi Shil? Tadi kata Bi Okky waktu bukain pintu Mama sama Papa mu lagi pergi ya?”

“Iya, nengokin Ka Sivia di Bandung…” jawab Shilla. Sesuai keinginannya, malam ini berarti hanya dia sendiri di rumah, selain kedua pembantunya dan seorang sopir. Shilla ingin malam ini berlangsung sempurna, dan dia tidak ingin diganggu oleh siapapun, termasuk oleh orang tuanya sendiri. Bahkan diam-diam Shilla berharap dalam hati agar Acha segera pulang.

“Terus? Ini buat siapa? Kok kamu kayak mau makan malam berdua gitu?” tanya Acha hati-hati. Meskipun dia sebenarnya sudah bisa menduga jawaban Shilla. Belum sempat Shilla menjawab, Ozy sudah muncul di ruangan itu. Melangkah ringan sambil bersiul kecil.

Sama seperti Acha, Ozy sedikit tercengang ketika melihat meja makan yang telah ditata Shilla dengan cantik untuk dua orang. Tidak hanya beberapa jenis makanan yang terlihat menggoda dan menguarkan aroma sedap. Di salah satu sudut meja itu bahkan nampak sebuah rangkaian bunga yang terdiri dari selusin bunga mawar merah, dikelilingi sejumlah bunga lili putih bergaris merah. Cantik. Di tengah meja, sebuah tempat lilin dari kristal juga nampak berkilau. Dengan 9 buah lilin yang siap disulut.

“Wetsah! Lo nyiapin ini buat gua sama Acha nih?” tanya Ozy asal saja. Tangannya bergerak menuju salah satu mangkok porselin kecil yang penuh berisi strawberry yang besar. Warna merah strawberry itu membuatnya terlihat begitu menggiurkan.

“Enak aja…” sahut Shilla, menjulurkan lidahnya ke arah Ozy. “Ngayaaalll….”

“Strawberrynya enak…manis…” kata Ozy sambil sekali lagi menjulurkan tangannya ke arah buah-buahan itu, seakan tidak peduli dengan Shilla yang kini tengah melotot menatapnya.

“ZY! Jangan diambil! Itu buah kesukaan Cakka!” seru Shilla, sedikit kesal melihat kelakuan Ozy.

Begitu nama tadi tercetus, suasana langsung hening. Ozy menghentikan gerakan tangannya. Dia menatap Shilla, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

“Okay. I get it. Jadi lo nyiapin dinner buat berdua sama dia?” kata Ozy.

“Terserah gua dong. Dan iya, ini buat gua sama dia. Terus apa urusannya sama elo? Masalah?” sahut Shilla defensif, melipat kedua tangannya di depan dada. Sekali ini dia tidak ingin rencananya dirusak oleh siapapun. Termasuk oleh Ozy, yang memang selalu sinis mengenai hubungannya dengan Cakka.

Ozy memutar-mutar bola matanya. “Gua sih gak masalah. Yang masalah itu justru elo, dan cowok itu. Elo yang gak ngerasa, atau gak mau nyadar, kalo elo dimanfaatin aja sama cowok brengsek itu. Dan dia, masalah karena kelakuannya yang gak beres.”

“Gak usah komentar macam-macam!”

“Fine! I’m out of here. I’m sick of seeing this anyway. I don’t care…” sahut Ozy, mendecak kesal, lalu berbalik dan melangkah keluar.

“Zy…!” Acha berdiri dengan tergesa, lalu setengah berlari menyusul Ozy keluar. Meninggalkan Shilla yang masih merasa emosinya mulai mendidih mendengar kata-kata Ozy tadi.

Untuk beberapa saat, Shilla berusaha mengatur nafasnya yang agak tersengal akibat amarahnya tadi. Dia lalu duduk, mencoba menjernihkan pikiran. Mencoba melupakan kata-kata Ozy tadi. Walaupun ada suara kecil yang menjerit jauh di dalam lubuk hatinya bahwa mungkin, mungkin saja, apa yang dikatakan Ozy tadi benar.

Tidak, dia tidak boleh menyerah. Shilla sudah merencakan makan malam ini semenjak seminggu yang lalu. Dan Cakka juga sudah tahu. Shilla melirik jam antik yang berdiri tegak di pojokan ruang makan. Setengah jam lagi Cakka akan datang.

“Shil…” suara Acha terdengar lagi. Meskipun pelan, Shilla sedikit terkejut, mengangkat wajahnya dan menatap sahabatnya yang tengah berjalan mendekatinya.

“Shil… Maafin Ozy tadi… Dia…memang kadang-kadang suka keras kepala…”.

Shilla menatap Acha yang kini berdiri di dekatnya sambil tersenyum lembut. Ah, entah untuk keberapa kalinya Shilla merasa iri pada sahabatnya itu. Betapa irinya Shilla melihat betapa Ozy tidak pernah merasa malu untuk menunjukkan pada semua orang bahwa Acha lah satu-satunya gadis yang mampu menaklukkannya. Sementara Shilla sendiri….

“Dia gak berhak ikut campur urusan aku Cha…”

Acha terdiam sejenak, lalu menyahut dengan suara lembutnya. “Dia cuma khawatir sama kamu Shil… Seperti juga aku…”

Shilla melengos. Memilih untuk memandangi lukisan abstrak yang dipajang di dinding.

“Shilla, kamu nyiapin ini semua, untuk kamu dan Cakka? Dalam rangka apa?”

Shilla tersenyum kecil, meskipun tidak menoleh ke arah Acha.

“Hari ini anniversary kami yang pertama…”

Mendengar jawaban Shilla tadi, Acha menggigit bibir. Dia tidak bohong saat dia berkata dia mengkhawatirkan Shilla. Karena itulah yang dia rasakan selama ini melihat apa saja yang terjadi di antara Shilla dan Cakka.

“Anniversary, maksudnya… kalian, sudah setahun…pacaran…?” tanya Acha dengan hati-hati. Kejelasan hubungan Cakka dan Shilla memang selalu menjadi topik yang sensitif.

Di depannya, Shilla tertunduk sesaat, tapi lalu dia mengangkat kepalanya kembali.

“Setahun yang lalu dia bilang dia sayang sama aku Cha…” jawab Shilla, tanpa memandang Acha. Pandangannya nanar menatap dinding di hadapannya, seakan tengah berbicara dengan dinding bisu itu.

Acha menghela nafas. Dia menyayangi Shilla seperti saudaranya sendiri. Tapi toh, berbagai pemberitaan mengenai Cakka yang bukan hanya sekedar gosip…

“Setahun yang lalu? Kamu… masih merasa kalau sekarang pun dia mas..”

“Cakka masih sayang sama aku Cha. Sama seperti aku sayang sama dia…” potong Shilla sebelum Acha menyelesaikan pertanyannya.

“Lalu, bagaimana dengan Ke…”

“Jangan sebut nama itu!” tukas Shilla dengan nada tinggi, sambil menoleh ke arah Acha dengan tatapan tajam. Shilla benar-benar tidak ingin mendengar nama itu disebut-sebut.

Melihat tatapan gadis itu, Acha justru merasa semakin iba. Sebersit kemarahan pada Cakka mulai muncul di hati Acha. Dia ingat berbagai pengorbanan Shilla untuk Cakka. Cakka mungkin sudah lama mendapat peringatan dari kampus jika bukan karena Shilla. Dan lihatlah, semua yang dilakukan Shilla itu hanyalah untuk suatu hubungan harus ditutup-tutupi. Acha tahu, Shilla gadis yang baik. Sangat baik. Gadis yang terlalu baik untuk laki-laki semacam Cakka.

“Shil, kalau memang Cakka benar-benar sayang sama kamu, dia tidak akan memperlakukan kamu seperti ini. Apalagi sampai pacaran dengan orang lain…”

“Keke itu… Cakka pacaran sama Keke cuma untuk urusan bisnis! Cakka sendiri yang bilang seperti itu! Itu cuma buat karir dia Cha. Kamu harus ngerti itu!” seru Shilla, nada suaranya kembali diwarnai emosi. “Di depan umum mungkin dia pacaran sama Keke. Tapi dia sayangnya cuma sama aku Cha. Cuma sama aku! Bukan sama Keke atau siapapun. Cakka cuma sayang sama aku!”

Acha merasa semakin miris mendengar kata-kata sahabatnya itu. Apalagi melihat tatapan Shilla, yang terlihat begitu rapuh.

“Shilla, kalau dia memang betul-betul sayang sama kamu, dia ga akan nyakitin kamu kayak gini..”

“Emang lo pikir gua sakit hati? Siapa bilang? Gua baik-baik aja kok!!” seru Shilla, kali ini nada suaranya semakin tinggi.

“Shil..”

“Elo gak ngerti apa-apa. Cowok lo yang sok itu juga gak ngerti apa-apa. Jadi ga usah ikut campur urusan gua sama Cakka! Kalo lo emang ga ngerti apa-apa, just stay away.. okay? Is that too much to ask?” potong Shilla, kali ini dengan nada datar. Shilla yakin, mereka semua salah. Mereka hanya bisa menuduh, karena mereka semua tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang mengerti apa yang harus dilewati oleh Cakka. Hanya Shilla yang bisa mengerti itu semua. Hanya Shilla yang betul-betul bisa mengerti Cakka.

Acha menggigit bibir. Menahan dirinya untuk tidak berkomentar lebih panjang lagi. Dia tahu, akan sia-sia untuk berusaha membuat Shilla mengerti maksud Acha yang sebenarnya, bahwa Shilla tidak pantas diperlakukan seperti ini.

Shilla membuang wajah dari Acha, melipat kedua tangannya di depan dada. Dadanya terlihat naik turun, menyimpan emosi.

“Shil…” Acha mencoba sekali lagi.

“Mendingan lo pulang sekarang deh Cha….” Tukas Shilla, tanpa menoleh ke arah Acha. Acha mendesah. Perlahan dia lalu melangkah mendekati Shilla. Shilla bisa mendengar langkah Acha yang terdengar mendekat. Shilla berusaha tidak peduli. Dia masih terlalu sibuk berusaha sekuat tenaga menahan air matanya yang seakan siap meluruh kapan saja dari sudut matanya.

Tapi tiba-tiba, Shilla merasa rangkulan Acha yang memeluknya dari belakang. Shilla sedikit tersentak, terkejut karena sikap Acha.

“Shil… Terserah kamu deh. Aku cuma pengen kamu tahu, bahwa kapanpun kamu ngerasa sudah gak kuat lagi, kapanpun kamu ngerasa perlu seorang temen, masih ada aku Shil…” kata Acha dengan lembut.

Punggung Shilla sedikit menegang dalam pelukan Acha. Perasannya campur aduk. Sebagian dari dirinya ingin menyerah, ingin melimpahkan tangis dalam pelukan Acha yang kini tengahmenawarkan tempat untuk bersandar. Tapi masih ada bagian dari Shilla yang tahu bahwa dia harus tetap bertahan. Demi Cakka.

“Aku… aku gak papa kok….” Sahut Shilla perlahan, meskipun suaranya terdengar begitu gemetar.

Acha mengangguk, tapi tidak melepaskan pelukannya dari Shilla. “Aku tahu… You’re a strong girl… You’ll make it through…” bisik Acha, lalu perlahan melepaskan pelukannya.

“Aku pulang dulu Shil…”

Shilla tidak berani menoleh. Entah kenapa, dia merasa bahwa jika dia menatap Acha, mungkin air mata ini akan jatuh tanpa bisa dicegahnya lagi. Shilla hanya mengangguk kecil, dengan tatapan masih menerawang menatap lukisan abstrak yang tergantung di dinding di hadapannya.

Acha tersenyum kecil, meskipun tahu bahwa Shilla tidak melihatnya. Perlahan dia menepuk pundak Shilla. “Take care…” katanya dengan suara lembutnya. Acha lalu berbalik, dan melangkah keluar.

Begitu langkah kaki Acha tak lagi terdengar, Shilla menghela nafas panjang. Dengan cepat dia menyusut sudut matanya sebelum cairan bening itu sempat mengalir turun. Shilla mengangkat wajah, memandangi jam antik yang berdiri tegak di sudut ruangan. Lima belas menit menjelang jam tujuh, yang berarti lima belas menit lagi Cakka akan datang. Jika dia memang bisa datang sesuai janjinya kemarin. Tapi toh, seandainya pun Cakka terlambat, Shilla masih bisa mengerti. Bukankah selama ini itulah yang selalu dilakukan Shilla? Berusaha memahami Cakka dan dunianya. Sepenuhnya. Sebagaimana adanya Cakka. Shilla menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri, dan mencoba tersenyum. Dia harus terlihat sempurna di mata Cakka jika mereka bertemu nanti. Sebentar lagi. Shilla kembali melirik jam antik itu. Ya, sebentar lagi. Sebentar lagi Cakka pasti akan datang, dan mereka bisa saling menganyam rindu yang hadir di setiap detik waktu mereka.

***

Mata nanar Shilla terus menatap layar ponsel itu, berharap ponsel itu akan berkelap-kelip dengan nada panggil yang telah disettingnya khusus, hanya untuk satu nama. Tapi hanya keheningan yang menyambut harapan Shilla.

Entah untuk keberapa kalinya, Shilla kembali menekan sejumlah tombol di ponselnya. Kembali seperti yang sudah-sudah, hanya suara mekanis operator yang menyahut. Memberitahukan bahwa nomer yang dia hubungi tidak aktif. Dengan kepahitan yang terasa semakin menyesakkan dadanya, Shilla memencet tombol untuk memutuskan sambungan. Diletakkannya ponsel itu di atas meja, lalu dengan satu gerakan telunjuknya, dijauhkannya ponsel itu.

Shilla lalu mengangkat wajahnya untuk memandang jam antik yang terus membisu. Lima menit menjelang tengah malam. Yang berarti lima menit lagi hari ini akan berakhir.

Kursi di hadapannya masih kosong. Shilla tertawa pahit. Sungguh suatu paradoks, betapa kekosongan bisa terasa begitu menyesakkan.

Shilla lalu menarik nafas panjang. ‘Happy anniversary, Cakka, my one and only…” lirih suara Shilla nyaris tak terdengar. Matanya menatap denganpandangan menerawang ke kursi di hadapannya. Dimana seharusnya Cakka duduk, menikmati malam ini yang telah dipersiapkan oleh Shilla, hanya untuk mereka berdua.

Tak ada sahutan apapun. Hening hanya diisi detikan jam yang terasa terlalu nyaring, seakan tidak peduli bahwa rasa sepi mulai membunuh hati, perlahan dan menyakitkan.

“Kamu dengar itu Cakka? Aku cinta kamu!” seru Shilla, sekali ini jauh lebih nyaring daripada tadi.

“AKU CINTA KAMU CAKKA! AKU MENCINTAI KAMU! CUMA KAMU!!”, kali ini Shilla betul-betul berteriak. Meluapkan seluruh perasaan dalam teriakan itu, berusaha meluruhkan rasa sakit ketika rindu tak ujung bermuara.

Dengan satu gerakan kasar, Shilla menepiskan semua benda yang ada di atas meja di hadapannya. Riuh suara piring dan gelas yang beradu dengan lantai keramik yang dingin memecah kebekuan malam. Shilla tidak peduli. Dia larut dalam tangis , menelungkupkan wajahnya di kedua tangannya yang terlipat di atas meja.

“Aku cinta kamu Cakka. Dan kamu juga kan? Kamu juga kan? Lalu kenapa kamu gak ada disini sekarang Cak?” Shilla berbicara pada dirinya sendiri di sela isakannya yang tak terbendung.

Dua belas dentangan jam menemani isak tangis Shilla, menegaskan bahwa hari itu berlalu. Shilla masih sendirian. Ditemani sebuah bangku kosong di hadapannya. Sementara pecahan kaca yang terserak di lantai membisu, seakan menemani aliran deras bening yang membanjir dari mata Shilla.

Cinta dalam kebisuan selalu terasa menyakitkan.

***

Shilla membuka tirai jendelanya asal-asalan. Membiarkan hangat matahari pagi menyentuh wajahnya. Shilla menghela nafas. Dia berbalik, meraih tasnya yang tersampir di kursi belajarnya. Sebelum melangkah keluar kamar, Shilla memandangi wajahnya di cermin. Saputan concealer tadi cukup berhasil menyembunyikan lingkaran hitam di bawah matanya.Tapi toh tatapan matanya yang terlihat kuyu menjadi jejak pertanda tangisannya tadi malam.

Sambil menghembuskan nafas panjang, Shilla menegakkan tubuhnya. Dia cuma bisa berharap di kampus nanti Acha tidak bertanya macam-macam. Shilla betul-betul tidak ingin membicarakan hal ini dengan siapapun. Termasuk dengan sahabatnya sekalipun. Apalagi entah kenapa, berbagai komentar Ozy terus menerus terngiang di benak Shilla, makin lama terasa makin menyudutkan.

Shilla melangkah keluar kamar dan menuruni tangga dengan sedikit malas. Dengan sekali lirik ke arah jam tangannya, Shilla yakin, dia pasti akan terlambat sampai di kampus. Shilla tidak peduli, toh Bu Romy termasuk salah satu dosen yang cukup baik hati soal keterlambatan mahasiswa.

Sampai di pintu, Shilla menarik gagang pintu untuk membukanya, dan terperangah. Cakka berdiri di teras rumahnya, bersandar pada salah satu pilar. Sebuah buket besar bunga lili putih nampak di genggamannya. Melihat Shilla yang terkejut, Cakka tersenyum. Senyum yang nampak begitu indah di wajah tampannya.

“Pagi cantik…” sapa Cakka.

Shilla masih sedikit ternganga. Tidak tahu harus mengatakan apa.

Cakka melangkah mendekati Shilla, lalu mengecup ringan pipi Shilla. “Happy anniversary ya, my lady…”

Cakka lalu menyodorkan buket lili di tangannya, yang diterima Shilla dengan tangan sedikit gemetar.

“Sorry, tadi malem gak jadi dateng. Mamanya Keke tiba-tiba minta ditemenin ke acara charity gitu. Aku ga enak nolak. Mana batre hapeku mati…” kata Cakka dengan santai.

“Iya, gak papa kok…” sahut Shilla. Dengan suara yang seperti datang dari orang lain. Suara yang bukan milik hatinya.

Sudah berapa kali dia mengatakan hal semacam itu? Berkata bahwa dia tidak apa-apa, di saat sering kali dia merasa sudah terlalu lelah dengan semua ini.

“Ah, aku tau kalo kamu pasti ngerti…” Cakka tersenyum semakin lebar. Dia lalu mengecup pipi Shilla sekali lagi

“Kita ganti aja kapan-kapan ya… Janji deh, pasti aku dateng…” ucap Cakka lagi.

Shilla mengangguk. Seperti yang selalu dilakukannya setiap kali Cakka menjanjikan sesuatu.

“Ya udah. Aku balik dulu ya…Kamu kuliah kan?”

Shilla mengangguk sekali lagi sebagai jawaban atas pertanyaan Cakka tadi.

“Nitip absen buat kuliahnya Bu Romy ya. Aku sejam lagi mesti ngisi acara gathering gitu…”

Cakka. Kenapa dia harus berkata seperti itu? Toh, tanpa diminta pun itulah yang selama ini selalu dilakukan Shilla. Tapi sekali lagi, Shilla hanya mengangguk.

Cakka menjawil dagu Shilla, “Bye, gadis cantikku…Have a nice day ya…”.

Tanpa menunggu jawaban Shilla, Cakka berbalik, lalu dengan langkah panjangnya yang terlihat luwes menuju Yaris Silvernya. Beberapa detik kemudian, mobil itu sudah menghilang.

Shilla menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dia memejamkan matanya sesaat. Apa yangbaru saja terjadi seperti mimpi. Tapi memang, sepertinya setiap detik yang bisa dilaluinya bersama Cakka memang selalu terasa seperti mimpi. Terlalu singkat, terlalu rapuh, dan siap untuk berai sewaktu waktu.

Shilla membuka matanya, dan tersenyum kecil saat menatap buket lili yang ada di genggamannya. Harum.

Sambil menggigit bibir, Shilla berbalik, masuk kembali ke dalam rumah. Dia tahu, dia hanya perlu menunggu. Hingga nanti, saat dia dan Cakka akan betul-betul bisa berdua tanpa harus menjadikannya sebagai rahasia. Bukankah selama ini Shilla sudah begitu sabar menunggu?

Waktu. Shilla tahu, hanya itu yang dia perlu. Dan sampai saat itu tiba, Shilla akan tetap menunggu. Karena dia mencintai Cakka.

Dan cinta, tak pernah peduli pada rintangan yang disebut waktu.

Just gonna stand there and watch me burn,

but that's allright because I like the way it hurts

Just gonna stand there and hear me cry

but that's allright because I love the way you lie

I love the way you lie...

(Love the Way You Lie - Eminem & Rihanna)

*** THE END ***

Regards

=Ami=

You Might Also Like

0 comments