Part 28: Peri Kecil, dan Rumah yang Dia Tuju
Pagi hari, setelah acara kerusuhan di rumah Ozy yang melibatkan Ify dan usahanya yang gagal untuk menata rambut Ozy, Ozy mendatangi rumah Acha. Tanpa Acha sangka, Ozy mengajak Acha untuk pergi...piknik. Unyunyunyu...^_^
Hayooo... kira-kiraaaa... Ozy bakal berani ga nih akhirnya nyatain perasaannya sama Acha?
+++
Acha memandangi sekelilingnya dari bangku tua yang dia duduki. Sementara di sebelah kanannya, Ozy merogoh tas ranselnya untuk mengeluarkan kotak bekal andalannya, dan dua kotak minuman teh dalam kemasan yang masih nampak berembun. Semuanya dideretkan Ozy di sisi kanannya.
Acha memandang ke arah danau yang airnya berwarna hijau kebiruan di depannya. Bangku kayu yang dia duduki ini sepertinya sudah tua, buktinya catnya sudah terkelupas disana-sini. Tapi toh bangku itu tetap terasa nyaman diduduki. Sisi taman tempat bangku yang mereka duduki berada memang agak tersembunyi di sisi belakang taman, sekitar 300 meter dari gerbang taman tempat Ozy memarkir sepeda motornya tadi. Meskipun demikian, rumput-rumput yang hijau di sekitar tempat itu terlihat tidak terlalu berantakan. Mungkin petugas kebersihan yang mereka papasi di depan taman tadi masih sempat membenahi taman itu sampai di sebelah sini. Yang pasti, tempat ini terasa nyaman. Hijau. Teduh oleh segerombolan pohon yang daun-daunnya memayungi bangku yang tengah mereka duduki.
“Nih, buat Acha… Gua bikin sendiri tadi pagi.” Ozy menyodorkan setangkup roti berisikan selai stroberi ke arah Acha.
Acha menoleh dan mengambil roti itu dari tangan Ozy. Perlahan, dia menggigit dan mengunyahnya.
“Enak ga Cha? Gua jago ya bikinnya?”
“Yaelah Zy… cuma roti isi selai gini sih semua orang juga bisa bikin kaliii…” sahut Acha sambil tertawa geli.
“Yah, habis tadinya gua mau bikin klepon isi selai stroberi, malah didorong keluar dapur sama Nenek… Ya udah.. yang ada aja…”
“Lagian kamu itu lho Zy, sukanya aneh-aneh aja.” Komentar Acha sambil tersenyum geli dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun Acha tidak mau mengakuinya di depan Ozy, roti selai stroberi itu terasa jauh lebih manis dibandingkan roti isi manapun yang pernah dimakan Acha.
Selama beberapa menit selanjutnya, mereka hanya diam, menikmati bekal seadanya yang dibawa Ozy. Sambil menikmati air danau yang tenang tanpa riak di hadapan mereka.
“Nih…” kata Ozy sambil menyodorkan teh kotakan ke arah Acha. Acha menoleh untuk meraihnya, dan melihat ekspresi wajah Ozy yang tengah menerawang.
“Ozy? Mikirin apa?” tanya Acha sambil mengambil kotak minuman itu dari tangan Ozy. Ozy menoleh ke arah Acha, kemudian menaikkan kedua lututnya ke atas bangku dan meraih tas ransel yang ada di sebelahnya. Ozy merogoh ke dalam tas itu, mengeluarkan kertas tebal putih gading dan menyerahkannya kepada Acha. Sambil mengangkat alis, Acha menerima kertas itu dan mulai membaca isinya. Beberapa saat kemudian, Acha tertawa, dan menepuk pundak Ozy.
“Ozzzyyyyy… Ya ampuuunnn! Selamat yaaa… seneng banget! Jadi kamu tinggal mikirin UN aja dong, ga usah mikirin mau ke universitas mana lagi yaa.. Kan udah diterima disini…”
Ozy hanya tersenyum tipis. Memeluk kedua lututnya. “Kamu baca soal afiliasinya dual degreenya? Aku dapet jatah 2 semester terakhir di Melbourne, Cha…”
Acha membelalakkan mata, kemudian membaca ulang surat itu. Oh iya. Beberapa baris terakhir menyebutkan bahwa gelar kedua yang diterima Ozy dalam program dual degree ini akan diperoleh Ozy melalui kuliah selama 2 semester di Melbourne University. Acha menoleh kembali ke arah Ozy, yang masih memandang ke depan dengan tatapan menerawang.
“Wah, keren dong… ke luar negeri…”, dan di ujung kalimatnya, Acha merasa berat.
“Iya.” Sahut Ozy. Diam sesaat. Lalu menoleh ke arah Acha, “Yang artinya aku mesti ninggalin kamu…”
Acha termangu, menatap mata Ozy yang saat ini memandangnya. Sambil menggigit bibir, Acha menyerahkan kertas tadi kepada Ozy. Ozy memasukkan kertas itu kembali ke dalam ranselnya, lalu mengubah posisi duduknya hingga menghadap Acha, masih dengan kedua lutut yang dinaikkan ke atas bangku itu.
“Cha.. Aku mau minta maaf…”
Acha memandang Ozy, tidak memahami tujuan Ozy mengucapkan permintaan maaf itu.
“Minta maaf kenapa? Kamu dapet beasiswa gini kok malah minta maaf sih?”
“Cha, selama ini aku sudah bohongin kamu, aku sudah bohongin aku sendiri…”
Acha semakin tidak mengerti. Maka dia hanya berdiam diri, dan menunggu Ozy melanjutkan kalimatnya.
Ozy menumpukan dagunya di kedua lutut yang dipeluknya, tanpa mengalihkan pandangan dari Acha.
“Tau ga Cha, selama ini aku menganggap kamu seperti apa?”
Acha menggeleng. Tapi setengah mati ingin tahu.
Ozy menatap Acha dalam-dalam, dan tersenyum tipis, dengan ekspresi lembut. Perlahan, Ozy menyentuh poni Acha dan membelainya lembut.
“Kamu itu...kayak peri. Peri kecil yang bermain di taman bunga bersama kupu-kupu…” kata Ozy sambil membelai rambut di pelipis Acha. Begitu menyelesaikan kalimatnya, Ozy menarik tangannya kembali, dan menyelipkannya di bawah dagunya yang bertumpu pada kedua lututnya.
“Selama ini Cha, aku merasa bahwa aku cukup puas hanya menjadi satu diantara sekian banyak rumput di taman bunga itu, yang bebas mengamati kamu menari dan bermain disitu.”
Ozy tak sedetik pun melepaskan tatapannya dari bening kedua mata Acha. Sesaat dia menarik nafas, dan menyambung kalimatnya.
“Tapi lalu aku sadar. Kalau aku hanya sekedar menjadi rumput yang memandangi peri itu dari kejauhan, aku tidak bisa menjaga peri itu seutuhnya. Tidak bisa berlari untuk menangkap peri itu saat sayapnya mulai lelah dan terjatuh…”
“Acha.. “ kata Ozy perlahan lagi, dan memiringkan kepalanya sedikit ke sebelah kiri. “Aku boleh jujur ga?”
Acha perlahan mengangguk. Berusaha setengah mati menahan harapan yang kini mulai membuat dadanya serasa ingin meledak.
“Kalau dulu aku sudah puas sekedar jadi rumput biasa… aku…”, Ozy menghentikan kalimatnya sesaat. Ozy menarik nafas panjang, lalu meneruskan kalimatnya.
“Aku pengen jadi rumah yang dituju oleh peri itu.. Yang bisa menjaga si peri kecil dari apapun, melindunginya untuk melawan panas dan dingin dunia bersama-sama…”.
Ozy mengulurkan tangan kirinya ke wajah Acha, dan dengan lembut membelai pipi Acha dengan sisi dalam jari telunjuknya.
“Aku pengen menjadi rumah bagi peri kecil itu, menjadi tempat bagi dia untuk bersandar di saat lelah, menjadi tempat dimana dia bisa bercerita, menangis, bernyanyi, ataupun hanya sekedar duduk, diam, mendengarkan bisikan angin…”
Bahkan untuk bernafas pun Acha merasa tak sanggup. Karena dia merasa takut kehilangan saat-saat ini. Saat-saat dimana setiap aliran darahnya terasa beriak begitu kencang.
“Acha…”, Ozy meraih kedua tangan Acha, dan menggenggam jemari Acha.
“Aku tidak tahu apakah aku minta terlalu banyak. Aku tidak peduli Cha. Yang aku tahu, aku akan terus menerus mengulangi kesalahan bodoh kalau aku tidak pernah berani untuk menyatakan ini semua kepadamu. Semua perasaan yang selama ini aku biarkan untuk melangkah sendirian tanpa arah, padahal seharusnya perasaan itu berlari untuk menggapaimu Cha…”
Ozy menggigit bibir. Menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Kemudian Ozy mempererat genggamannya di jemari Acha.
“Acha… Aku… sayang sama kamu. Sayang banget. Melebihi dari sekedar sahabat…”
Bahkan bahagia pun tidak bisa benar-benar yang bisa menggambarkan perasaan Acha saat ini. Saat mengetahui bahwa perasaan sederhana yang sempat disembunyikan di sudut hatinya ternyata tak sendiri.
“Cha… Aku bener-bener sayang sama kamu. Boleh kan aku menemani kamu, menjaga kamu, menyayangi kamu lebih dari sekedar sahabat?”
Kalimat Ozy tadi, adalah pertanyaan terindah yang pernah didengar Acha. Maka tak ada yang lebih mudah untuk Acha lakukan, selain menganggukan kepalanya. Meskipun perlahan, Acha berharap, bahwa tatapan matanya dapat berbicara lebih dari sekedar gerakan kepalanya tadi.
Sebuah senyum terlukis di bibir Ozy. Dia melepaskan genggamannya dari jemari Acha, dan menempelkan kedua telapak tangannya di kedua pipi Acha.
“Terima kasih Cha…” ucap Ozy perlahan, lalu menyambungnya lagi “Peri kecilku….”.
Acha merasakan semburat panas menyebar mulai dari telinga hingga pipinya. Tapi toh, Acha tidak peduli. Karena panas di wajahnya tidak sebanding dengan kebahagiaan yang hangat di hatinya.
Dan tiba-tiba saja Ozy tersenyum lucu, sambil mencubit kedua pipi Acha.
“Pipi Acha jadi meraaahh… Manisnyaaa…!!!”
“Aaahhh… Ozy gitu ah…” seru Acha kesal sambil memukuli pundak Ozy. Meskipun dalam hati dia merasa melayang. Senang.
Ozy tertawa sambil merubah posisi duduknya kembali menjadi bersandar kembali di bangku itu. Ozy meluruskan kedua kakinya ke depan sambil merogoh saku celananya.
“Untung aku tadi ga salah ngomong. Udah takut aja kalo tiba-tiba aku lupa yang mau aku omongin ke kamu Cha. Padahal tadi malam udah setengah pingsan sepertiga kejang gua ngafalin kata-katanya” kata Ozy sambil menarik keluar selembar kertas yang terlihat sudah kusut dari saku jeans hitamnya. Ozy lalu membuka lipatan-lipatan kertas itu dan menekuni isinya.
Dengan penasaran, Acha mendekatkan dirinya ke arah Ozy, ingin ikut melihat isi kertas tadi. Tulisan Ozy yang terlihat memenuhi kertas itu, lengkap dengan berbagai coretan disana-sini. Acha mengerutkan kening, meneliti beberapa kata yang sepertinya familiar, dan dua detik kemudian langsung tertawa.
“Ya ampun Zyyyy… jadi semua yang barusan kamu omongin ke aku tadi udah kamu siapin toh?” kata Acha sambil mendorong pundak Ozy.
“Eh, jangan salah. Udah dibilangin aku bingung banget nyari kata-kata yang pas. Ini perjuangan banget tau, nyari kalimat-kalimat romantis kayak gini! Gua aja sempet kepikir, kayaknya ngerjain 20 halaman soal trigonometri berasa lebih gampang daripada jadi mendadak romantis gini!” kata Ozy dengan badan sedikit condong ke samping akibat dorongan Acha tadi. Ozy masih mencermati kertas tadi dengan kening berkerut, lalu tiba-tiba menoleh ke arah Acha.
“Eh, Cha! Kayaknya akhirnya tadi malah banyak yang spontan deh. Soalnya banyak banget kata-kata yang ternyata ga sama kayak rencana aku semula. Terus yang bagian ‘menemanimu meskipun hanya dengan sebatang lilin’ juga ketinggalan… Aku ulangin ngomongnya ya… Biar lebih romantis gimanaaa… gitu!”
“Kalo kamu ulangin, jawabannya aku ganti lho…” Acha setengah mengancam, meskipun sambil tertawa geli.
“Yah, pake ngambek dia… Ayolah Cha, kapan lagi coba aku jadi romantis gini??”
Acha semakin tertawa. Hingga akhirnya Ozy ikut tertawa. Setelah tawanya reda, Ozy menoleh kembali ke arah Acha, masih dengan sebuah senyuman.
“Tapi kayaknya, aku bikin contekan atau enggak, aku ngafalin mau ngomong apa, tetep ga ngaruh. Soalnya begitu aku ngeliat wajah kamu tadi, semua hafalanku hilang begitu aja… Yang ada di pikiranku cuma satu, aku harus mengatakan semua yang selama ini aku rasakan ke kamu Cha, meskipun itu mungkin sama sekali ga kedengeran romantis bagi kamu. Yang ada di pikiran aku, aku bener-bener ga pengen kehilangan kesempatan untuk menjadi seseorang yang tidak hanya sekedar mengagumi dan menyayangi kamu dari jauh, tapi juga untuk menjadi sesorang yang bisa selalu menemani dan menjaga kamu…”
Acha tidak menjawab, hanya membalas senyuman Ozy. Acha tahu, Ozy tidak perlu kata-kata untuk mengerti, bahwa senyuman Acha berarti satu hal: Acha sama sekali tidak keberatan atas pilihan kata Ozy, karena toh semua kata itu bermuara pada suatu makna yang sama. Bahwa perasaan mereka tak perlu lagi menari sendiri di jalan masing-masing.
“Cha, pulang yuk. Ntar keburu panas di jalan…” kata Ozy sambil berdiri. Dia berbalik menghadap Acha, dan mengulurkan tangannya ke arah Acha.
Acha tersenyum, dan meraih tangan Ozy saat dia bangkit untuk berdiri.
“Eh, ntar Cha...” kata Ozy sambil melepaskan tangannya dari jemari Acha. Ozy merogoh ke saku kanan jeansnya, mengeluarkan sesuatu yang dibungkus kertas kado berwarna ungu bergaris-gari pink dan menyerahkannya kepada Acha. “Buka deh… buat Acha…” kata Ozy saat Acha meraih bungkusan itu.
Acha merobek kertas kado itu, dan menemukan sebuah bros mungil berbentuk bunga berkelopak lima, dengan sebuah lingkaran mengelilingi bunga itu. Di bawah cahaya matahari, kristal-kristal warna-warni yang menghiasi bros itu nampak berkilau. Acha memandangi bros itu, lalu mengangkat wajahnya menatap Ozy sambil tersenyum.
“Makasih ya Zy…”
Ozy mengangguk kecil, kemudian melepaskan syal yang melilit di lehernya, dan mengalungkannya melingkari pundak Acha. Dia lalu mengambil bros yang ada di tangan Acha tadi, dan menyematkannya di syal yang melingkari pundak Acha. Setelah itu, Ozy mundur sedikit ke belakang, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memandangi Acha sambil tersenyum.
“Peri kecilku…” kata Ozy sekali lagi. Lalu mengulurkan tangannya lagi. “Pulang yuk…”
Acha mengangguk, dan meraih tangan Ozy. Untuk melangkah bergandengan.
Sambil berjalan bergandengan, Ozy bersiul-siul dengan riang. Tapi tiba-tiba, tanpa menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah Acha.
“Eh Cha, kayaknya ada satu hal lagi deh yang aku mesti jujur ke kamu…”
“Apaan?”
“Tapi kamu jangan marah yaa…”
Acha menoleh, sambil mengangkat alis. Sementara Ozy malah membuang pandangan, menatap lurus ke depan.
“Apaan Zy?”
“Syal yang sekarang kamu pake itu lho, itu kan yang nemuin di lemariku si Ify. Aku aja udah lupa beli syal itu pas kapan dan dalam rangka apa. Kayaknya udah lama banget gitu…”
“Trus?”
“Nah, jadi aku juga lupa, kapan terakhir kali syal itu dicuci…”
“Ozzzyyyyyy…” Acha mulai memukuli pundak Ozy lagi dengan tangan kirinya yang masih bebas.
“Eh, tapi begitu Ify tau, dia langsung nyemprot syal itu pake parfumnya dia kok..! Kan kamu tau sendiri kalo parfum Ify mahal-mahal gitu, pasti wangi kok!!”
“Ah, Ozy gitu deh… Nyebelin aaahhh…” dengan gemas Acha mendorong pundak Ozy, meskipun Ozy tetap menahan jemari tangan kanan Acha dalam genggamannya sambil terus berjalan.
“Acha… kan tadi udah dibilangin jangan marah.. Jangan marah dong Sayaaaang…”
“Hah? Apa kamu bilang tadi??”
“Saaayaaaaang…. Jangan marah doooongg…” kata Ozy menggoda Acha.
“Aaaah… Geli tau, dengernya!!!”
“Saaaayaaaangg…” kata Ozy lagi sambil mencondongkan kepalanya sedikit ke samping hingga menjadi lebih dekat ke telinga Acha dengan senyuman jahil.
“OZY! GELI, TAUK!!!”
“Hahahaha… tapi kamu mesti belajar membiasakan diri mendengarnya lho Chaaa…” sahut Ozy sambil tertawa.
Acha tidak bisa menahan senyumnya. Dia terus melangkah, sambil balas menggenggam jemari Ozy yang ada di sisinya. Dia tahu, tidak akan sulit baginya untuk terbiasa merasakan kehadiran Ozy di sisinya. Untuk terus menjaga perasaan sederhana mereka terus tumbuh mengelilingi hati mereka berdua.
Berdua.
Karena sang peri kecil kini sudah punya rumah untuk dituju, rumah yang akan menyambutnya dengan kehangatan pancaran cahaya matahari yang mengisi setiap sudut di hati peri itu.
Layaknya gelap malam, yang indah karena bintang
Layaknya sang penyair, yang elok karna puisi
Bagiku kau bintang, selayak puisi…
Tetaplah disini peri kecilku
Bagiku kau bintang, selayak puisi
Temani aku selamanya…
Selamanya…
(Temani aku, by Sheila On 7)
=== TAMAT ===
Yeiyyyy!!! *keplok-keplok*. Akhirnya tamaaattt!!! Senangnyaaa liat Ozy akhirnya ga ngegantung lagi nasibnya…
Gimana.. Gimana…. Seneng ga nih dengan ending kayak gini? Daripada endingnya kayak Part 23, hayooo?
Ngeeenihoooww…
Boleh dong, kalo di Part Terakhir ini penulis berpesan sponsor ria? Hehehe… Bukan sih, bukan pesen sponsor. Cuma pengen memanfaatkan kesempatan untuk berterimakasih.
Terima kasih, tentu saja, untuk kalian SEMUA. Yang dengan betah dan tabah mengikuti cerita ini, semenjak jaman Prolog sampai Part 28. Seandainya ada kata yang maknanya lebih dalem daripada terima kasih, itulah yang ingin saya sampaikan.
Terima kasih banyak untuk semua perhatian kalian dan komentar kalian, baik lewat fansite, lewat facebook, atau lewat twitter (bahkan ada yang lewat SMS :D). Tanpa kalian semua, ILYILYN hanya sekedar menjadi file berjudul “PROYEK 4” di harddisk saya.
Can’t thank you enough, but I mean it when I say it. And I also mean it when I say I love you guys!
Terima kasih terutama untuk my sweet adorable sister, Cut Rizky Ananda, yang masih tabah aja jadi humas-nya saya di Facebook (hugs). Buat Alda, yang udah bikinin grup segala di Facebook *kirain becanda doaaanggg!!!*. Buat semua temen-temen lain yang ngasih masukan, Yuliana Indriani., Tri, Annie *kau dan cintapitri mu itu lho… hahahaha…*. Juga buat my silent readers *terutama salah seorang silent reader yang merasa terinfeksi…mhuahahaha… get some antibiotics, then!*.
Buat temen-temen di Twit… mulai dari Sakura yang Twitnya bikin kangen, fazazaza *yang begitu memahami betapa terobsesinya saya sama Om Duta*, muthiaTM, isnaam, supereiner *yang udah ngasih inspirasi soal Titanic-selera pasar*, and of course, Tia dan Lira *gals, LOVE your comments about this story on Twits! thanks udah nerima saya sebagai anggota pasukan pelempar tomat ;p*. Juga semua temen-temen lain di Twit yang ga sempet kesebut… kalian semua memang SERU abis!
Yang pasti, salah satu yang paling menyenangkan dari ILYILYN ini adalah bisa ketemu sama kalian semuaaa, yang sudah bener-bener ngasih warna warni cerah dalam hidup saya…
Emm.. walopun mungkin mereka ga tau, yang pasti, I owe TONS of thanks to… OZY, ACHA, RIO, IFY!!! Untuk sudah jadi inspirasiii…
Juga buat Om Duta (maap yee… obsesi sejak dulu sih ^_^), karena lagu-lagu SO7 lah yang seringkali membangkitkan mood dan inspirasi saya…
One last thing: I LOVE YOU ALL!
Cheers!
= Ami =
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
NB : Sebenarnya malu sih, kak Ami pake bawa bawa nama asli... Tapi, ga pa pa deh...
SUMBER : http://idolaciliklovers.ning.com/
Part 27: Ayo Piknik!
Betewe, sampe lupa, kalo ada yang ngerasa belum baca part 26, cek aja disini: http://idolaciliklovers.ning.com/forum/topics/i-love-you-i-love-you...
Ozy berhasil memperoleh beasiswa. Ify berusaha meyakinkan Ozy, bahwa prestasi Ozy selama ini sudah cukup untuk menjadikan sesuatu yang membanggakan bagi Acha. Selain itu, Ify meyakinkan Ozy bahwa sesungguhnya Acha juga memerlukan kehadiran Ozy untuk menemani Acha.
Wah, sepertinya, Ozy mulai percaya diri. Kira-kira... Kira-kiraa....
Apa yang bakal terjadi yaaa???
+++
Acha membolak-balik majalah di pangkuannya tanpa benar-benar memperhatikan isinya. Untunglah hari ini libur nasional. Jadi dia tidak perlu memikirkan harus bersikap bagaimana di hadapan Ozy di sekolah nanti.
“Acha…” tiba-tiba kepala Mama tersembul dari balik pintu Acha yang setengah terbuka. “Ada temenmu tuh di bawah…”
Acha menaikkan alis, lalu bangkit dan melangkah keluar kamar, turun ke lantai dasar rumahnya. Ruang tamu kosong, tapi dari jendela Acha bisa melihat sosok seseorang yang tengah duduk berdiri sambil bersandar pada tiang. Meskipun posisi sosok tersebut membelakangi jendela, Acha bisa mengenali sosok itu. Dan Acha merasakan jantungnya yang berdebar-debar tak menentu. Perlahan Acha melangkah keluar melalui pintu depan yang terbuka.
“Hei…”
Mendengar suara Acha, Ozy berbalik, dan tersenyum lebar.
“Achaaa…! Ga kemana-mana Cha?”
Acha tersenyum, dan memandangi Ozy. Hmmm. Ada yang berbeda dengan Ozy kali ini. Kemeja merah cerah dengan lengan yang digulung sampai batas siku, dilapisi vest rajutan warna hitam bercorak motif geometris putih-biru di bagian dada. Bahkan ada selembar syal warna putih yang diselempangkan Ozy di lehernya. Jeans hitamnya terlihat pas dengan kemeja dan vest itu, Bahkan sepatu kets hitam Ozy terlihat lebih bersih daripada biasanya.
Acha belum pernah melihat Ozy yang seperti ini. Ozy yang…keren. Beuh. Bisa juga si juragan kue itu tampil kayak artis Korea gitu.
“Kamu udah sembuh beneran Zy? “ tanya Acha, melihat wajah Ozy yang terlihat sedikit pucat. Meskipun agak pucat, sebuah senyuman lebar khas Ozy masih ada di wajah manis itu.
“Ya..gitu deh. Tapi udah lumayan banget kok.” jawab Ozy. “Buktinya gua udah nyampe sini kan?” katanya lagi sambil tersenyum lucu.
“Kamu…mau kemana, atau habis dari mana sih? Tumben banget rapi gitu?” tanya Acha sedikit penasaran.
Ditanya seperti itu, sontak wajah Ozy memerah. “Emang kenapa? Ga pantes ya? Kata Ify udah bagus kok…”
Acha mengangkat alis, semakin heran. “Ify? Kamu tadi ke rumah Ify dulu atau gimana sih?”
“Enggak sih, Ify yang singgah doang bentar ke rumah gua. Ya gitu… Tapi dia sama Rio kok ke rumah gua. Ga sendirian.” Ozy terlihat semakin gugup. Pikirannya melayang kembali pada keributan tadi pagi di kamar Ozy.
Tadi pagi Ify lah yang membongkar lemari pakaian Ozy dan memilihkan ‘kostum’ yang menurut Ify paling layak. Rio yang saat itu juga (tentu saja) ada di tempat kejadian, terus menerus tertawa puas melihat Ozy yang gelabakan saat Ify berusaha mendandaninya. Tapi paling tidak Ozy berhasil mencegah Ify berbuat lebih banyak dari sekedar memilihkan pakaian. Walaupun Ify berusaha mati-matian meyakinkan Ozy bahwa dengan bantuan sedikit gel dia bisa membuat rambut Ozy jadi ‘oh-jauh-lebih-keren-daripada-gaya-ala-kadarnya-yang-sekarang-ini’, dengan tegas Ozy menolak Ify menyentuh rambutnya.
Oh, oke. Bukan hanya Ozy.
Rio pun langsung protes dan mengamankan Ify dari menyentuh rambut Ozy, dengan alasan, hanya rambut Rio lah yang berhak dibelai oleh Ify. Ozy sebetulnya juga ingin menolak untuk memakai syal putih yang ditemukan Ify terselip di bagian bawah lemari Ozy. Tapi apa daya, dengan wajah dingin Ify berkata dengan mantap, “Gua serius waktu gua bilang lo cocok pake syal ini Zy. Dan sumpah, I swear by my newest shirt from Mango Zy, kalo lo ga mau pake syal ini, gua bakalan makein sendiri ke leher elo dengan sedikit terlalu ketat, sampe lo ga bisa nafas… And you know me so well, that you know I will definitely do it…”.
Bisa ditebak, daripada mati mendadak karena dicekik Ify dengan selembar syal, Ozy pun mengalah dan menyelempangkan syal itu.
Ingatan Ozy akan kerusuhan tadi pagi di kamarnya dipupuskan oleh pertanyaan lanjutan dari Acha.
“Emang Ify sama Rio ngapain ke rumah kamu pagi-pagi?”
“Hah? Oh, mereka berdua..um… mau ngajakin gua maen ular tangga…”
“Apa? Ular tangga Zy?”
“Eh, salah. Ngajakin maen monopoli…”
“Ozyyy…”
“Lo mau maen monopoli juga ga Cha?”
“Ozy aaahh…”
“Ga mau ya? Ya udah. Bagus deh kalo gitu, soalnya gua kesini bukan mau ngajakin elo maen monopoli Cha.”
Acha terdiam. Merasakan hatinya berdebar. Senang.
“Terus kamu kesini mau ngapain?”
“Mau ngajakin elo piknik…”
Acha terpana memandang Ozy. Apa kata Ozy tadi? Piknik? Sedetik kemudian, Acha tertawa geli. Membuat Ozy semakin merasa kikuk.
“Yah, Acha ga mau ya?”
Acha masih tertawa sebelum menjawab, “Kamu itu lho Zy, kayak tahun 70an gitu… Piknik…”
“Mau ga nih Cha?”
Acha tersenyum, kenapa tidak? Toh hari ini cerah. Dan siapa yang bisa menolak jika diajak pergi oleh Ozy? Kalau ada yang menolak, yang pasti bukan Acha. Karena Acha mengangguk kecil sambil menjawab pertanyaan Ozy. “Boleh deh Zy… Mau kemana?”
“Gimana entar deh… Yuk… berangkat!”
“Eh, aku ganti baju dulu kali Zyyy…”
“Kenapa emangnya? Lo berasa ga pede ya berdampingan sama gua yang lagi keren-kerennya gini Cha?” kata Ozy sambil bergaya membetulkan rambutnya.
“Aku ga jadi ikut nihhh…!”
“Eh.. eh… Jangan pake ngambek gitu ah! Ya udah sana, ganti baju… Jangan lama tapi ya Cha, nanti keburu gua jadi arca!”
Acha hanya tertawa, sebelum berlari kecil memasuki rumah dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Di kamar, Acha dengan tergesa-gesa membuka lemari pakaiannya. Menggeser-geser pakaiannya yang tergantung disana, dengan setengah panik berpikir, apa yang mesti dia pakai sekarang ya? Apa gaun yang dipakai waktu nonton sama Gabriel kapan dulu itu aja ya? Ah, ga cocok ah. Itu kan gaun malam gitu… Sedangkan ini masih jam 10 pagi, dan kayaknya ga nyaman banget pake gaun itu kalau naik motor sambil boncengan sama Ozy.
Euh, Boncengan sama Ozy.
Tiba-tiba Acha merasakan debaran jantungya kencang kembali. Sambil menggelengkan kepalanya untuk membuang rasa gugup, Acha kembali memilih-milih pakaiannya. Sampai akhirnya Acha menarik sebuah gaun selutut lengan pendek berwarna hitam dengan corak kembang-kembang mungil berwarna merah. Hmm.. masa sih pagi-pagi gini pake warna hitam, pikir Acha. Tapi, kayaknya gaun ini serasi dengan baju yang dikenakan Ozy tadi.
Acha merasakan kembali wajahnya tiba-tiba panas. Untuk apa coba dia mencocok-cocokkan bajunya dengan baju Ozy? Tapi.. tapi… Ah, sudahlah… Dengan cepat Acha mengganti bajunya dengan gaun itu. Kemudian memandangi wajahnya dicermin. Acha melepaskan karet yang mengikat rambutnya, dan dengan terburu-buru menyisir rambutnya, sambil berpikir akan diapakan rambutnya nanti. Acha mengikat kembali rambutnya menjadi sebuah buntut kuda, dan tengah membuka laci meja riasnya untuk mengambil salah satu pita yang ada di dalamnya.
Tiba-tiba saja, ponsel Acha berdering nyaring, membuat Acha terloncat kaget. Dengan kesal, Acha mengambil secara acak tiga buah pita yang ada di laci tadi sekaligus dan beranjak ke tempat tidur untuk meraih ponselnya yang tergeletak di sebelah bantal. Tanpa melihat nama si penelepon, Acha langsung memencet tombol untuk menerima telfon yang masuk tersebut.
“Halo?”, Acha tidak bisa menahan sedikit nada ketus dalam suaranya. Lha orang lagi buru-buru gini kok…
“Achaaa!!! Kok lama bangeeettt… Lo ganti baju atau sekalian gali sumur sih? Gua udah mulai berubah jadi ijo royo-royo nih gara-gara belumut nungguin elo!”, Ozy menyahut, dengan gayanya yang biasa. Mau tidak mau Acha tersenyum kecil mendengar suara Ozy.
“Ozy ih… sabaran dikit kenapaaaa...”
“Laper Cha, kalo bekelnya gua makan sekarang, nanti pas pikniknya kita makan apa dong?”
“Kamu bawa bekel Zy?”
“Kan mau piknik Cha. Kalo bawa cangkul sih namanya mau bertanam jagung.”
“Bawa apaan?”
“Ya makanya Acha cepetan turun dong, biar tau gua bawa apa.”
“Iya..iyaa… ini lagi turun…” kata Acha lagi sambil menyambar tas kecilnya dari gantungan di pintu dan melangkah keluar. Seraya berlari kecil menuruni tangga, Acha mematikan sambungan dan melangkah ke teras, dimana Ozy tengah duduk di bangku teras menunggunya. Begitu melihat Acha muncul, Ozy langsung tersenyum lebar.
“Akhirnyaaa… gua tadi udah mau nawarin sekop lho Cha, gua kirain lo lagi gali sumur pake sendok nasi, makanya lama…”
“Kamu ni lho, ga sabaran banget” sahut Acha, setengah kesal setengah geli.
“Itu bawa-bawa pita mau diapain? Mau dipake apa mau dilelang?” Ozy menunjuk pada 3 lembar pita yang masih digenggam Acha.
“Kamu sih Zy pake acara nelfon segala, jadi aja aku ga sempet makenya…” jawab Acha.
Ozy menarik salah satu pita yang berwarna putih dari genggaman Acha, dan mengacungkannya. “Pake yang ini aja ya?”
Tanpa menunggu jawaban Acha, Ozy memegangi kedua pundak Acha dan memutar badan Acha, sehingga Acha sekarang berdiri membelakangi Ozy. Sebelum Acha sempat protes, Ozy sudah mengikatkan pita yang diambilnya tadi ke rambut Acha. Merasakan gerakan tangan Ozy di kepalanya, Acha bisa merasakan panas menjalari seluruh wajahnya. Selesai memasangkan pita di rambut Acha, Ozy kembali memutar pundak Acha agar mereka kembali berhadap-hadapan. Sambil tersenyum lebar Ozy memasukkan kedua tangan ke dalam saku jeans hitamnya.
“Ciee… Manisnyaaa…” kata Ozy memandangi Acha.
Acha mencoba tersenyum kecil, “Ya udah, mau berangkat sekarang?”
“Ga pamit dulu Cha?”
Tepat pada saat Ozy menyelesaikan kalimatnya, Mama keluar sambil menenteng sebuah baki berisikan dua buah gelas tinggi berisikan sirup merah dingin.
“Pamit kemana? Baru juga dateng… Diminum dulu dong…” kata Mama sambil meletakkan kedua gelas itu di atas meja teras.
“Eh, Mama.. Ini temen Acha Ma…” kata Acha, yang tiba-tiba merasa gugup. Dalam hati Acha berdoa supaya Ozy tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Mengajak Mama ke Monas, misalnya. Atau tiba-tiba menunjukkan bahwa ada Spiderman yang nemplok di jendela.
“Eh, Tante… Kenalkan Tante… saya Ozy, temen sekelasnya Acha.” Ozy menyalami Mama Acha sambil tersenyum lebar.
Mama Acha balas tersenyum saat menyambut uluran tangan Ozy. Entah kenapa, senyuman teman anak gadisnya ini terlihat begitu ramah, membuat orang yang melihatnya jadi ingin ikut tersenyum juga.
“Oh iya Tante, saya mau minta izin ngajakin Acha jalan-jalan. Boleh ga Tan? Nanti Acha dibalikinnya ga kemaleman, ga kurang suatu apa, dan ga berubah wujud kok. Janji!”
Sementara Acha membelalakkan mata ke arah Ozy, Mama Acha justru tertawa mendengar rentetan kalimat Ozy.
“Boleh… Lagian hari libur gini kok… Acha juga kayaknya udah siap tuh?” kata Mama, sambil melirik ke arah anak gadis satu-satunya yang berdiri di sebelahnya.
“Makasih Tante…” sahut Ozy dengan nada riang, “Tapi, boleh nanya dulu ga Tan?” lanjut Ozy tiba-tiba.
“Kenapa?” Mama Acha balik bertanya.
“Itu, sirupnya boleh saya minum dulu ga ya?”
Mama Acha tertawa kembali mendengar pertanyaan Ozy tadi. “Ya boleh dong… Minum dulu gih sebelum berangkat…”
“Makasih Tantee…” dengan wajah berseri-seri Ozy duduk kembali dan meraih gelas yang ada di atas meja.
Mama Acha tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Ya udah deh, Mama masuk dulu ya Cha…”, kata Mama Acha sebelum melangkah masuk kembali ke dalam rumah.
Acha duduk di kursi teras yang dipisahkan meja dari kursi yang ditempati Ozy, dan memandangi Ozy yang tengah menghabiskan isi gelasnya dalam beberapa kali tegukan. Setelah menutaskan isi gelasnya, Ozy meletakkan gelas itu kembali di atas meja, dan menoleh menatap Acha.
“Udah?” tanya Acha. Ozy terkekeh, dan mengangguk. Acha tersenyum, dan mengangkat kedua gelas itu untuk mengembalikannya ke dalam rumah. Beberapa saaat kemudian, Acha kemabli keluar, dan menutup pintu.
“Yuk!” kata Ozy sambil melangkah menuju sepeda motor. Acha mengikutinya dari belakang. Entah kenapa, merasa bahwa hari ini akan menyenangkan.
+++
Cie cie cieee.... ada yang mau piknik nihh... Ikut yuuuk :D!
Aawww... penulis jadi deg-degan nih, emang ada maksud apa ya Ozy jadi ngajak Acha piknik? Apa mau ngajakin maen monopoli?
Heuehueehu... mari kita liat besok yaaa..
Lagian kan besok re-run Rapor GF tuuuhh... Bisa liat Ozy lagi dooong!!! Nah, habis liat Ozy, pasti tambah semangat buat baca PART 28 yang adalah part TERAKHIR dari cerita ini.
Oke?
See you tomorrow, folks!
=Ami=
Part 26: Seorang Cowok Sederhana dengan Segelas Air Putih di Tangannya
Dengan resminya hubungan Rio dan Ify, resmi pula status Gabriel menjadi single and available. Tapi Acha justru tidak mempedulikan hal itu. Acha malah lebih khawatir saat Ozy sakit dan tidak masuk sekolah. Acha lalu menengok Ozy.
Saat menengok Ozy itulah, akhirnya Acha menyadari, bahwa selama ini Ozy lah matahari yang menghangatkan hati Acha. Tapi, kenapa sih Ozy masih ga berani aja buat menyatakan perasaannya?
+++
Mata Ozy masih terpejam, tapi dalam keadaan setengah sadar, dia bisa merasakan sesuatu menjawil pundak kanannya. Diiringi sebuah suara yang memaksanya untuk benar-benar sadar dari tidurnya.
“Heh… Lo beneran sakit ya?”
Dengan malas Ozy membuka matanya, dan menoleh ke arah kanan dari bantalnya. Begitu melihat Rio yang tengah duduk di sampingnya, dengan cepat Ozy mengambil guling di sebelahnya dan menutupkan ke wajahnya.
“Aaaahhh…kalo lo yang dateng mah, gua bener-bener tambah pendarahan otak tauuuu…!” seru Ozy dari balik guling.
Suara tawa Ify membuat Ozy menjauhkan guling itu dari wajahnya.
“Eh, ada si Eneng… Habis disembur apa sama si mbah dukun sampe lo mau ikut dia kesini Fy?” tanya Ozy pada Ify yang duduk di pinggir tempat tidur Ozy.
“Lo untung banget dah lagi sakit gini… Kalo ga, lo udah gua jadiin umpan ikan paus!” kata Rio sambil menonjok perlahan pundak Ozy.
“Sakit apa Zy?” tanya Ify.
“Akhirnyaaa.. lo inget juga untuk menanyakannya…” jawab Ozy sambil bangkit dari posisinya yang semula masih berbaring menjadi duduk bersandar.
“Basa-basi doang kok…” tukas Rio.
“Ah, kalo Ify yang nanya mah, gua yakin dia beneran nanya…”
“Yaelah Zy… gua nanya apa, lo jawabnya pake keliling Pulau Jawa dulu. Lo sakit apa sih?” tanya Ify lagi sambil tertawa geli.
“Kata dokter sih gejala tipes gitu… Jadi ya udah. Disuruh istirahat dulu. Sebenernya ga enak juga sih. Kasian fans-fans gua di luar sana. Pasti mereka bosen menghadapi dunia ini yang terasa sepi tanpa kehadiran wajah ganteng gua…”
“Lo lagi sakit gini insap dikit kek…” kata Rio, sekali lagi mendorong pundak Ozy perlahan.
“Tumben kalian berdua inget buat nengokin gua? Kirain semenjak jadian, istilah garing bahwa dunia hanya milik berdua itu bener-bener kalian terapkan..”
“Siapa bilang kita mau nengokin elo? Kita cuma mau nagih jatah kue hari ini kok…” sahut Ify dari ujung tempat tidur. Tapi tiba-tiba wajah Ify berubah serius.
“Acha udah kesini Zy?”
Senyum Ozy menghilang. Perlahan dia mengangguk. Rio yang duduk di sebelahnya terbatuk pelan, lalu tersenyum kecil. Dia sudah mengenal Ozy begitu lama. Semenjak SMP dulu. Maka kali ini dia memilih untuk tidak berkomentar apa-apa.
Paling tidak selama 3 detik.
Karena stelah tiga detik, Rio tidak bisa menahan diri untuk langsung berkata dengan wajah jahil, ”CIE! CIE! CIE! Trus, lo langsung sembuh dong!!!”
Ozy menoleh dengan kesal ke arah Rio, lalu memukulkan guling yang masih dipeluknya ke arah Rio.
“Ah, elo Zy… pake sok ga naksir segalaaa… Udah lah… akuin aja! Ga rugi kok! Liat aja gua, akhirnya bisa dapet Ify kan?”
“Woi! Itu juga lo pake sombong segala, minta dikejar-kejar di tengah hujan gitu…” seru Ify.
“Emm.. halo? Gua lagi sakit lho… Kalian lagi pada nengokin gua lho… Ga bisa apa adegan pertengkaran pasangan yang dimabuk cinta ini jangan dilakukan di depan gua?” kata Ozy sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Halah, bilang aja lo ngiri…” sahut Rio, lalu merogoh ke dalam ranselnya. Rio kemudian menarik keluar sebuah amplop putih panjang, dan menyerahkannya pada Ozy.
“Dari Pak Duta…” katanya. Kali ini dengan nada serius, tapi dengan sebuah senyuman. Ozy menatap Rio dengan tatapan bertanya saat mengambil amplop itu dari tangan Rio, lalu memandangi amplop itu. Sebuah amplop berlogo perguruan tinggi bergengsi di Jakarta. Tulisan “Yth. Sdr. Ahmad Fauzy Adriansyah” tercetak dengan jelas di amplop itu.
Dengan sedikit tergesa, Ozy merobek amplop itu, mengeluarkan kertas tebal berwarna putih gading yang ada di dalamnya dan membacanya dengan cepat. Semakin lama, sebuah senyum terkembang semakin lebar di bibirnya. Sampai akhirnya dia menengadahkan kepalanya ke atas sambil berseru kecil,
“Alhamdulillah…!!!”
Rio tertawa sambil menonjok pundak Ozy. Ify pun ikut tersenyum lebar dari tempatnya duduk sekarang.
“Lo gimana Yo? Keterima juga?” Ozy menoleh ke arah Rio.
Rio mengangguk, “Teknik Informatika, Afiliasinya sama NTU di Singapur… Lo jadinya Arsitektur ya? Afiliasinya kemana?”
Sekarang balik Ozy yang mengangguk. “Iya, arsitektur… Terus jatah semester akhirnya di Melbourne University…” sahut Ozy dengan wajah cerah. Beasiswa inilah yang selama ini dia tunggu-tunggu.
“Selamat Zy, you deserve it…” kata Ify dengan senyuman tulus. Rio sudah menceritakan semuanya pada Ify, tentang betapa Rio dan Ozy sudah begitu berjuang untuk memperoleh beasiswa ini.
“Thanks Fy.” Sahut Ozy. Senyum lebar tak bisa pupus dari wajahnya.
Ify menatap Ozy dengan serius, sebelum berkata lebih lanjut. “Zy, it’s now or never. Now you have it…”
Ozy mengerutkan kening, “Maksud lo Fy? Soal apaan?”
Ify menghela nafas, “Soal Acha… Lo pernah bilang kalo lo ngerasa ga bisa bikin Acha bangga. Sekarang lo sudah punya sesuatu yang bisa bikin dia bangga Zy…”
Ozy tercenung. Kembali menekuri surat yang baru saja diterimanya. Yang menyatakan bahwa Ozy diterima di sebuah Universitas terkenal dalam program Dual Degree melalui jalur beasiswa.
“Gua cuma punya ini Fy…”
“Zy, itu bukan sekedar ‘cuma’. Apa yang sudah elo capai sekarang, itu adalah hasil dari elo sendiri. Hasil perjuangan ELO. Bukan perjuangan orang lain. Apa lagi sih yang bisa lebih membanggakan selain sesuatu yang kita peroleh sebagai hasil perjuangan kita sendiri?” nada suara Ify terdengar tegas. Membuat Ozy merasa ingin mempercayainya.
“Dan Zy… Selama elo selalu siap untuk ada buat Acha, gua yakin, itu jauh lebih berharga daripada apapun. Gua heran deh kenapa cowok selalu segitu gengsinya mikir bahwa cewek itu cuma nyari yang namanya ganteng lah, yang ngetop lah, yang tajir… Enggak. Yang kami pengen, adalah orang yang selalu siap menyediakan bahunya untuk kami sandari di waktu kami sedang ngerasa capek. Orang yang selalu siap menggenggam tangan kami untuk meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja…”
Ozy menggigit bibir.
Ify menyambung kembali kalimatnya. Kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Zy, Acha memerlukan elo Zy. Entah dia sadar atau enggak. Tapi elo harus sadar. Elo yang dia perlukan Zy… Untuk menemani dia. Sekarang. Nanti. Selamanya.”
Selama beberapa detik, kamar Ozy hening. Seakan-akan semua memberikan kesempatan bagi Ozy untuk memahami semua yang dikatakan Ify tadi. Untuk meneguhkan hati Ozy.
Sampai suara Rio terdengar, “Seperti elo memerlukan gua ya Fy?”
“Rio, lo bener-bener merusak momen romantis deh…” tukas Ify dengan kesal sambil menoleh ke arah Rio. Rio sendiri tengah menyeringai sambil bersandar dan melipat kedua tangannya di dada.
“Yaaa… momen romantis apaan coba? Lo ngapain romantis-romantisan gitu sama Ozy? Mestinya sama gua Fy…” sahut Rio.
“Gua heran deh, kalian ini sebenernya kesini niatnya benerin nengokin gua, atau cuma mindahin lokasi pacaran doang sih?” tanya Ozy sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya makanya… Lo nyatain gih ke Acha. Jadi lo bawaannya ga sirik mulu sama kita…” sahut Rio, masih menyeringai. Rio kemudian berdiri. “Udah malem Zy, gua balik dulu. Sekali lagi, selamet ya…” kata Rio sambil menepuk pundak Ozy.
“Makasih Yo…”
“Cepet sembuh Zy… Biar lo bisa nyelesain urusan lo sama Acha”, kata Rio lagi, sekali ini dengan nada serius.
“Yah, gua ga ngerti dah soal itu. Gua pengen semuanya ngalir aja… Just go with the flow…” sahut Ozy pelan.
“Zy, bahkan air sungai yang ngalir pun tau dia bakal ngalir kemana. Ngalir ya ngalir, tapi lo mesti punya tujuan ke arah mana perasaan itu mengalir, untuk sampai dimana…”, Ify yang juga sudah berdiri tiba-tiba menanggapi kata-kata Ozy tadi.
“Zy, kadang-kadang, sering malah… Yang diinginkan seorang cewek, bukanlah seorang pangeran berkuda putih yang menjemputnya sambil membawa peti harta karun. Kadang-kadang, yang diinginkan seorang cewek, hanyalah seorang cowok sederhana yang menyodorkan segelas air putih ketika cewek itu merasa begitu lelah…”
Ozy mengangkat wajah, menatap Ify yang tengah memandangnya dengan ekspresi sungguh-sungguh. Ozy lalu tersenyum. Mulai menabur harapan di hatinya. Mungkin Ify benar. Mudah-mudahan Ify benar.
“Thanks Fy…” kata Ozy dengan tulus.
Ify balas tersenyum dan mengangguk.
“Fy, lo lagi capek? Nih, gua sebagai seorang cowok sederhana punya segelas air putih buat elo…” tiba-tiba Rio menyodorkan gelas yang tadinya ada di meja belajar Ozy ke arah Ify, sambil tersenyum lebar.
Ify memandang ke arah Rio, lalu menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi putus asa. “I’ve said it, but I’m gonna say it again. Elo Yo, betul-betul tukang rusak suasana romantis.”
“Lagian, mana ikhlas gua ngeliat elo romantis-romantisan sama Ozy. Udah ah, balik yuk! Katanya mau nonton…” sahut Rio sambil meraih pundak Ify dengan salah satu tangannya untuk membimbing Ify berjalan keluar.
“Beuh. Udah maen rangkul-rangkulan aja ya sekarang…” seru Ozy pada Rio dan Ify yang berjalan menuju pintu kamarnya.
“Ga usah ngiri…” sahut Rio diiringi derai tawanya.
Ify masih sempat menoleh ke arah Ozy dan tersenyum kecil sambil melambaikan sebelah tangannya. Dengan tangan kanannya yang masih bebas, Rio menutup pintu kamar Ozy.
Meninggalkan Ozy sendiri. Beberapa saat kemudian, Ozy dapat mendengar lamat-lamat suara Rio dan Ify yang berpamitan pada Nenek dan Ibunya Ozy. Diiringi suara motor yang distarter, dan beranjak pergi.
Ozy menghela nafas, dan berbaring kembali. Memikirkan banyak hal. Acha. Kata-kata Ify. Beasiswa tadi. Acha. Perasaan yang menyesakkan Ozy.
Ozy menutup matanya. Tapi bayang-bayang wajah Acha tidak akan tertutup hanya oleh sepasang kelopak mata. Karena wajah Acha ada di hati Ozy. Dan kini hati Ozy terbuka lebar. Untuk menerima dan mengakui perasaan yang sedari dulu menari dalam sepi. Saat ini, hanya satu keinginan Ozy, tak lagi membiarkan dirinya hanya sekedar menatap dinding kamar saat perasaan itu memohon untuk diungkapkan.
+++
Yak! Yang tadinya ngarepin bakal ada adegan romantis di Part ini. maaf mengecewakan. Secara si Rio entah kenapa justru selalu merusak momen romantis itu... Hohoho...
Tapi baguslah, akhirnya Ozy kayaknya mulai percaya diri tuuuuhhh... Percaya dirinya bisa sampai menyatakan perasaan ke Acha ga yaaa??
Ayo dong Zy... Go Ozy Go Ozy GO!!
Ozy goes to... PArt 27!
Diposting besok sore!
Btw, makasiiiiih banget yang kemaren udah share soal part yang paling berkesan..
Seneng banget kalo tau bahwa kalian masih mau dan suka baca cerita ini *secara saya akhir-akhir ini lagi merasa tidak kreatip*
Once again, makassiiiiihhh... banget.
Love you all,
= Ami =
Part 25: Bangku Ozy yang Kosong
Di tengah hujan, Ify mengejar Rio untuk meminta Rio tetap bersamanya. Mendengar pengakuan Ify, akhirnya Rio pun yakin bahwa perasaan yang sesungguhnya Rio miliki tidaklah bertepuk sebelah tangan.
B.a.i.k.l.a.h.
Bang Ozy apa kabar yak? Teman sebangkunya sukses jadian dengan si ratu salju, apakah Ozy juga akhirnya bisa mengatasi ketidakpercayaan dirinya dan menyatakan perasaannya terhadap Acha?
Mari kita tengok kabar abang tukang kue yang satu itu...
+++
Citra Nusa gempar. Ify si selebritis sekolah yang ratu es itu tiba-tiba melewati koridor sekolah sambil menggandeng seseorang. Seandainya yang digandeng Ify adalah Gabriel, mungkin tidak akan ada yang gempar. Hanya sekedar permakluman. Tapi ini, yang digandeng Ify adalah seseorang yang begitu jauh dari image Ify sebagai selebritis sekolah. Tapi toh Ify tetap berjalan dengan kepala tegak, tanpa melepaskan tangannya dari genggaman Rio.
So be it. Sudah resmi. Rio dan Ify.
Kegemparan itu tentu saja diikuti dengan gosip yang beredar di kalangan siswa putri: kalau Ify sama si Rio, artinya Gabriel? Gabriel sama siapa dong? Selama ini Gabriel selalu bersama Ify. Kalau sekarang Ify mengesahkan hubungannya dengan Rio, artinya Gabriel single and available dong?
Dan tiba-tiba saja jumlah penonton Gabriel di lapangan basket meningkat secara signifikan. Jumlah orang yang secara “kebetulan” lewat di depan kelas Gabriel mendadak melonjak naik. Acha berusaha untuk tidak ikut-ikutan peduli dengan berita itu. Tapi adalah sangat sulit untuk tidak peduli jika ada Ozy yang selalu menggodanya dengan mengatakan bahwa Gabriel itu sudah “publicly available”. Ozy yang terus-terusan menjawilnya kalau Gabriel lewat di depan kelas mereka, sambil berbisik, “samber aja Cha…”. Meskipun selalu merasakan wajahnya merona tiap kali Ozy bertingkah seperti itu, Acha sebetulnya merasa berterima kasih kepada Ify. Entah kenapa, Ify akan selalu menatap Ozy dengan galak setiap kali Ozy selalu memanas-manasi Acha tentang status ketersediaan Gabriel sebagai seorang “most-wanted-jomblo” di Citra Nusa. Dan Acha lebih bersyukur lagi, karena semenjak hari setelah dia menonton berdua dengan Gabriel, Ify tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal Gabriel di depan Acha. Entah kenapa. Acha pun tidak ingin mengungkit-ungkitnya.
Yang Acha tahu sekarang, dia tidak suka kalau Ozy menggodanya soal Gabriel. Karena Acha semakin menyadari, bahwa dia sebetulnya tidak peduli. Dia sudah tidak peduli lagi Gabriel sedang apa, berada dimana, atau bersama siapa.
Acha tidak lagi memedulikan Gabriel. Terutama hari Sabtu ini, ketika bangku Ozy kosong sepanjang hari. Rio pagi itu datang dengan membawa surat keterangan bahwa Ozy sedang sakit. Hanya satu kata yang menggambarkan hati Acha: sepi.
Acha sebenarnya tidak ingin pergi, tapi dia tidak bisa menolak saat Ify dan Rio mengajaknya ke kafetaria. Rio dan Ify setengah memaksa Acha, mengingatkan dia bahwa penyuplai makanan mereka sedang tidak ada. Di kafetaria, dengan malas-malasan dan tidak bersemangat, Acha mengaduk kembali es tehnya. Memperhatikan butiran-butiran gula yang belum larut, menyebar di antara es batu dalam gelas itu. Gula. Manis. Seperti senyum Ozy, pikir Acha. Yang membuatnya malu sendiri. Untuk apa dia memikirkan Ozy seperti itu?
“Hei…”
Sebuah sapaan, yang tidak jelas ditujukan pada siapa membuat Acha menghentikan lamunannya dan mengangkat wajah. Di kursi di depan Acha, Ify dan Rio yang tadi sedang sibuk membahas apakah cabe rawit berwarna hijau lebih pedas daripada cabe merah keriting, ikut menghentikan perdebatan tidak penting mereka.
Ada Gabriel tersenyum ke arah mereka. Sambil menenteng teh botolan di tangannya.
“Boleh ikutan duduk ga?” tanya Gabriel.
Rio merapatkan posisi duduknya di sebelah Ify. Entah sadar atau tidak, sebelah tangannya meraih jari-jari Ify di atas meja dan menggenggamnya. Seakan-akan menegaskan bahwa Ify adalah miliknya. Tapi toh, Rio tersenyum tipis sambil menunjuk bangku di sebelah Acha dengan dagunya.
“Duduk aja Yel…”
Ify juga mengangguk. Sementara Acha hanya menoleh sekilas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada es tehnya.
“Tumben ga sama-sama Cakka, Yel?” tanya Ify.
“Cakka lagi promo album band-nya gitu. Jadi izin seminggu gitu deh…” sahut Gabriel, lalu menyeruput minumannya.
“Eh Yel, masih inget Sivia ga? Yang sepupu gua ituuu… Anaknya Tante Maria…” tiba-tiba Ify bertanya pada Gabriel.
Gabriel mengangguk. Yang disambut Ify dengan rentetan kalimat lagi.
“Minggu malem besok nonton bareng sama gua sama Rio yuk, sama si Sivia juga! Lagian kan Senin besoknya libur, tanggal merah gitu” ajak Ify pada Gabriel. Gabriel tersenyum kecil.
“Boleh deh… aku juga ga ada rencana kok…” sahut Gabriel sambil mengangguk. Gabriel lalu menoleh ke arah Acha, “Kamu mau ikut juga ga Cha?”
Acha masih terpaku pada gelasnya sampai Ify menendang kakinya di bawah meja.
“Woi, Cha! Mau ikutan ga lo?”
Kaget dengan tendangan tadi, Acha mengangkat wajah sambil berseru kecil, “Hah? Apa Zy?”.
Begitu kalimat tadi terlontar, Acha langsung merasa wajahnya panas. Dia cepat-cepat meralat kalimatnya, “Eh, apa Fy?”
Ify memutar-mutar bola matanya, lalu melirik ke arah Rio. Rio hanya mengangkat bahunya sedikit. Merasa tidak perlu berkomentar. Hanya Gabriel yang mengulangi pertanyaannya.
“Kamu mau ikut juga? Nonton bareng kami?”
Acha menggeleng pelan. “Sorry deh. Tapi kayaknya enggak deh. Lagi males…”.
“Oh, ya udah…” sahut Gabriel sambil tersenyum kecil. Tapi senyuman itu luput dari perhatian Acha. Karena Acha kembali memandangi gelasnya, berharap menemukan bayangan senyum Ozy di pantulan gelas itu. Sementara Rio, Ify dan Gabriel mengobrol kembali, Acha tidak ikut ambil bagian. Karena saat ini, yang dia rindukan hanya derai tawa Ozy.
***
“Pak Ony tunggu sini aja dulu ya Pak…” kata Acha saat turun dari mobil sambil menenteng seplastik apel. Gang dimana rumah Ozy berada tidak terlalu nyaman untuk dilewati mobil. Maka Acha masih harus berjalan beberapa ratus meter, sebelum akhirnya membuka pintu pagar rumah Ozy. Dengan ragu, Acha mengetuk pintu itu sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa lama, Acha mengetuk kembali. Kali ini tidak perlu waktu lama, pintu itu berderit membuka. Senyuman ramah dari nenek Ozy menyambutnya.
“Eh, Acha kan ya?”
Acha tersenyum. “Iya Nek… Ozy katanya sakit ya Nek?”
Neneknya Ozy membukakan pintu lebih lebar, “Iya… dari kemaren sore demam. Tadi pagi juga masih panas. Masuk aja Cha… Ozy lagi tiduran di kamarnya…”
Acha mengikuti sang nenek ke kamar Ozy. Nenek Ozy kemudian membukakan pintu kamar Ozy, membiarkan Acha melangkah masuk.
“Acha, ga papa sendirian ya… Nenek mau ke dapur dulu, masih ada pesenan kue…”
Acha mengangguk, dan wanita tua itu pun meninggalkan Acha sendiri. Acha melangkah mendekati tempat tidur Ozy, dimana Ozy tengah berbaring sambil menutup mata. Nafas Ozy yang teratur menunjukkan bahwa dia masih terlelap. Perlahan Acha mendekati tempat tidur, dan berlutut di sebelah tempat tidur itu Kedua belah tangannya terlipat di sisi tempat tidur. Dengan perasaan campur aduk, Acha memandangi wajah Ozy yang begitu pucat.
Acha menempelkan telapak tangannya di kening Ozy, merasakan panas yang ada disana. Acha berharap dapat memindahkan sebagian dari panas itu ke dirinya, sehingga Ozy tidak harus menderita seperti ini. Dengan lembut, Acha menggerakkan jemarinya untuk membelai rambut Ozy yang sedikit ikal. Kepala Ozy sedikit bergerak saat jari-jari Acha menelusuri jejak-jejak rambut di batas kening Ozy. Sekilas Ozy seperti membuka kedua matanya, yang segera tertutup kembali.
Acha menghela nafas dan membiarkan jari-jarinya tangan kanannya terus membelai rambut Ozy. Kepala Acha bersandar pada tangan kirinya yang terlipat di sisi tempat tidur, terus memandangi Ozy yang masih bernafas teratur dengan tenang. Acha membiarkan beberapa menit berlalu dalam keheningan. Seandainya saja rasa damai di sisi Ozy seperti ini tidak terjadi saat Ozy terbaring pucat seperti itu, Acha pasti merasa lebih bahagia.
Acha melirik ke arah meja belajar Ozy, dan melihat sebuah mangkok dengan selembar handuk kecil di dalamnya. Acha bangkit, mengambil mangkok itu dan melangkah keluar. Perlahan, Acha menutup pintu kamar, dan melangkah menuju dapur.
***
Ozy membuka mata, dan memandang ke sekeliling. Sepi. Hanya dirinya sendiri. Ozy jadi menyesal, kenapa mesti terbangun. Karena sepertinya tadi dia bermimpi, ada Acha di sisinya, tengah membelai rambutnya. Tapi pasti mimpi. Karena sekarang dia masih sendirian di kamar. Ozy meraba keningnya sendiri, masih terasa panas. Kepalanya masih terasa berat. Ozy menghela nafas. Benar juga, demam semacam ini bisa membuat orang berhalusinasi. Ozy menutup matanya kembali, mencoba untuk tidur lagi. Tapi sebuah pikiran aneh terlintas di benak Ozy: sepertinya tadi ada plastik di atas meja belajarnya. Punya siapa ya?
***
Acha membuka pintu kamar, dan melongok ke dalam. Ozy masih tidur sepertinya, walaupun posisi berbaringnya sedikit bergeser. Acha melangkah masuk sambil membawa sebuah piring, sebilah pisau dan mangkok berisi air dingin. Setelah meletakkan semua bawaaannya di atas meja, Acha perlahan menggeser kursi dari depan meja belajar ke sisi tempat tidur Ozy. Acha duduk di kursi itu, mencelupkan handuk kecil ke dalam mangkok berisi air itu.
Perlahan Acha memeras handuk itu, dan dengan lembut meletakkannya di kening Ozy, sambil mengucap doa sepenuh hati. Perlahan, telunjuk Acha menelusuri batas rambut di kening Ozy. Menikmati tiap lekuk wajah Ozy dari dekat.
Tiba-tiba, Ozy membuka mata, melihat wajah Acha yang begitu dekat di hadapannya. Ozy membuka mulut, setengah ternganga tanpa suara melihat pemandangan yang ada di hadapannya.
Acha tertegun, begitu mendapati Ozy membuka kedua matanya yang kini menatap langsung ke arah Acha.
Selama dua detik, mereka bertatapan dengan rasa terkejut, sampai akhirnya…
“HUAAAA!!!” Ozy setengah berteriak dan langsung bangkit untuk duduk di tempat tidurnya. Handuk kecil yang tadi diletakkan Acha di kening Ozy terjatuh ke pangkuannya. Ozy menatap Acha dengan wajah tidak percaya. Acha sendiri menutup mulutnya dengan tangan. Rasa terkejutnya karena Ozy yang bangun tiba-tiba semakin ditambah dengan reaksi Ozy tadi.
Ozy perlahan menyentuhkan telunjuknya ke lengan Acha, dan begitu merasakan bahwa yang duduk di kursi itu benar-benar Acha, Ozy dengan nada tidak percaya berkata dengan nada suara lebih lirih dari teriakannya tadi.
“Acha? Ni beneran? Lo bukan dakocan yang menyamar jadi Acha kan?”
Acha tertawa kecil dan sedikit mendorong pundak Ozy.
“Kamu tu lhooo… udah ditengokin bukannya seneng…”
Ozy terkekeh, melipat kedua tangannya di dada sambil memandang Acha. “Ga sih, ga nyangka aja. Kirain gua mimpi doang ada elo…”. Ozy lalu menoleh ke arah pintu. “Lo sama siapa Cha? Sama Rio sama Ify juga?”
Acha menggeleng, “Sendirian, tadi dianterin Pak Ony…”
Ozy mengangkat alis, berusaha menekan perasaan senang yang mulai muncul di dadanya. “Beuh, Rio sama Ify… mentang-mentang baru jadian, lupa dah sama gua…”
Acha tersenyum kecil, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Udah makan Zy? Mau apel ga?” tanya Acha sambil beranjak ke meja belajar dan mengambil sebutir apel dari kantong plastik yang dibawanya tadi.
“Oh, plastik itu tadi lo yang bawa Cha? Pantesaaan… Kok tadi berasa ada yang lain di atas meja itu…”
Acha mengangguk, “Iya, tadi sempet singgah bentar di supermarket gitu sebelum kesini…” kata Acha sambil mulai membelah apel tadi menjadi 4 bagian dengan pisau yang dipinjamnya dari neneknya Ozy tadi. Acha mengambil salah satu potongan apel, membelahnya lagi menjadi dua dan mulai mengupasnya. Ozy mengamati setiap gerakan Acha. Menikmati setiap saat dimana dia bisa melihat peri kecil itu berada di dekatnya seperti ini.
Acha mengacungkan potongan apel yang sudah selesai dikupasnya, “Jadi dimakan ga?”
Ozy terkekeh. “Eh, beneran dikupasin sama dia… Sekalian disuapin dong…”
Acha menggigit bibir. Lalu menyorongkan apel itu ke bibir Ozy. Sambil berusaha tersenyum.
“Nih… ayo dimakan…”
Ozy ternganga. Tapi tidak menolak. Perlahan, Ozy menggigit potongan apel di tangan Acha itu. Lalu mengunyahnya pelan-pelan sambil tersenyum menatap Acha. Acha merasakan wajahnya merona. Tapi dia tidak sanggup mengalihkan pandangannya dari senyuman Ozy, karena tak hanya bibirnya, sepasang mata Ozy yang tengah menatapnya itu juga tersenyum. Dan Acha tidak ingin kehilangan sedetik pun saat dimana dia bisa menatap senyum itu.
Ozy menelan apel di mulutnya, dan berkata lembut, “Makasih ya Cha…”
Acha tersenyum, dan kembali mendekatkan sisa apel yang masih ada di tangannya ke bibir Ozy. Ozy kembali menggigit apel itu, dan menikmatinya tanpa melepaskan pandangan dari Acha. Selama beberapa lama mereka diam, merasa tak perlu mengatakan apa-apa, karena hanya dengan berdua seperti inipun sudah terasa nyaman. Tanpa perlu kata-kata apapun.
“Mau lagi?”, tanya Acha setelah sepotong apel yang dikupasnya tadi telah dihabiskan oleh Ozy. Ozy menggeleng, meskipun masih tersenyum.
“Nggak usah Cha, makasih…”
Dalam hatinya, Acha menelan sedikit rasa kecewa. Tapi Acha tetap membalas senyum Ozy. Acha beranjak kembali ke meja belajar Ozy dan meraih gelas minuman yang ada disana, lalu menyerahkannya pada Ozy.
“Minum dulu gih Zy…”
Ozy mengangguk saat meraih gelas itu. Ozy meneguk isinya perlahan-lahan, kali ini pandangannya menerawang. Acha duduk kembali di kursi sebelah tempat tidur Ozy. Pandangan Acha lalu jatuh ke sebuah buku yang ada di sebelah bantal Ozy.
“Kamu lagi sakit gitu masih aja baca Zy?” kata Acha sambil meraih buku itu dan menelitinya. Sebuah buku tebal berbahasa Inggris, isinya penuh dengan gambar-gambar berbagai bangunan.
“Lah, daripada gua jadi reog? Mending gua ganttin si Dude Herlino kali….” jawab Ozy, membuat Acha tertawa kecil.
“Tapi emang kamar kamu isinya buku semua gini sih Zy…” kata Acha sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Lalu menoleh ke arah Ozy dengan pandangan menggoda.
“Kurang satu lagi nih di kamar kamu…”
“Hah? Kurang apaan? Gua udah ganteng kayak gini udah cukup bersinar dah kamar gua, ga usah diapa-apain lagi…”
“Kok ga ada foto ceweknya sih? Digantung dimanaaa…gitu… Biar dindingnya rada segeran dikit..”
Bukannya menjawab, Ozy malah tertawa. Walaupun akhirnya sambil meletakkan gelasnya di atas meja belajar, Ozy menyahut, “Yah, lagian foto siapa coba yang mau gua gantung?”
“Ya mana aku tauuu… Hmm… Widy Vierra, mungkin?”
“Yaelah… si Widy lagi dia bawa-bawa…”
“Lah, habis kayaknya kamu kalo ngomongin Widy kayak yang naksir abis gitu…”
“Beuh, jeles ya lo Cha? Sama Widy gua ngepens kali..ngepeeeensss…”
“Ga naksir?”
Ozy tertawa lagi. “Ya beda lah, antara naksir, sayang sama cuma ngefans doang….”
Acha mengangkat alis. “Bedanya gimana?”
Ozy menegakkan punggungnya lagi dan menatap Acha sebelum menjawab. “Ya beda lah Chaaa.. Kalo cuma sekedar naksir sih, gugupnya beda kali ya sama kalo sekedar ngefans ajah… Apalagi kalo udah sayang…”
Acha tidak mengatakan apa-apa. Menunggu Ozy menyambung kalimatnya.
“Kalo sayang, jauh lebih dalem kali ya Chaa…” tiba-tiba nada suara Ozy terdengar berbeda. Nada suaranya menjadi lebih rendah, memberi kesan bahwa Ozy sedang membicarakan hal yang serius.
“Aku sih mikirnya, kalo aku sudah sayang sama seseorang, itu karena aku merasa nyaman di sisi orang itu… Dan aku juga pengen dia merasa nyaman di sisi aku. Aku ngebayanginnya, kalo aku sedang bersama orang yang aku memang bener-bener sayang, kami bakal merasa nyaman, meskipun ga ngapa-ngapain. Meskipun cuma duduk sebelahan, ga sambil ngomong apa-apa. Karena aku yakin, kalo memang udah sama-sama sayang… yang namanya kata-kata itu udah ga perlu lagi. Yang penting adalah dia ada untuk aku, aku ada untuk dia…”
Ozy menggaruk-garuk belakang telinganya, “Eh, sorry Cha… aku jadi melantur kemana-mana gini ya ngomongnya?”
Acha tersenyum, “Gapapa kok Zy… Lanjutin aja…”
Ozy menghela nafas, mengalihkan pandangan dari Acha ke rak buku di hadapannya. Tatapannya menerawang.
“Kalo misalnya aku memutuskan menjalin hubungan yang serius, yah, katakanlah pacaran… aku pengen orang yang aku sayang bener-bener merasa nyaman di sisi aku, merasa bangga bahwa dia sudah memilih aku.”
Hening sesaat. Ozy dengan pikirannya sendiri, dan Acha dengan kesadaran yang perlahan merayap di hatinya. Bahwa selama ini, cahaya yang menghangatkan hatinya berasal dari sepasang mata yang kini tengah menerawang itu.
Ozy tiba-tiba menoleh kembali ke arah Acha, dengan ekspresi lembut yang jarang sekali dilihat Acha sebelumnya.
“Yang pasti Cha, kalau aku sudah sayang banget sama seseorang, aku cuma pengen satu hal. Melihat orang yang aku sayang itu bahagia. Itu saja. Itu sudah sangat cukup buat aku. Meskipun itu bukan bersama aku.”
Acha ingin menyerah. Untuk menitikkan air mata. Entah kenapa kata-kata Ozy tadi terasa menohok. Seandainya saja Ozy mengerti. Tapi Ozy tidak akan mengerti. Karena Acha sendiri pun masih belum benar-benar mengerti kenapa semua perasaan di hatinya ini seperti begitu menyesakkan.
Ozy tersenyum. Acha hanya mampu menunduk sambil menggigit bibir. Setelah menarik nafas beberapa kali, Acha mengangkat wajah. Yang dilihatnya adalah Ozy yang tengah memijat kedua pelipisnya dengan jari-jarinya.
Dengan khawatir Acha pindah dari kursi yang semula didudukinya, berlutut di sebelah Ozy.
“Ozy? Kamu ga papa? Kenapa? Pusing ya?”
Ozy menoleh, dan berusaha tersenyum. Meskipun wajahnya terlihat pucat.
“Ga kok… gapapa… cuma rada kecapean ajah…”
“Tidur lagi gih…” Acha meraih gelas yang tadi diletakkan Ozy di meja belajar dan menyorongkannya ke arah Ozy. “Minum dulu Zy, kamu mesti banyak minum, biar panasnya cepet turun.”
Ozy tidak menjawab, hanya mengangguk sambil mengambil gelas itu dari tangan Acha, dan menghabiskan setengah isinya dalam beberapa kali tegukan. Acha meraih gelas yang kini kosong itu dari tangan Ozy dan meletakkannya kembali di meja.
Ozy yang tadinya duduk bersandar, kini berbaring kembali. Acha kembali duduk setengah berlutut di sisi tempat tidur Ozy. Kedua tangan Acha terlipat di sisi tempat tidur.
“Cha…” suara Ozy terdengar lemah saat dia menggerakkan kepala untuk menoleh ke arah Acha dari atas bantal.
“Ya Zy? Kenapa? Pusing banget ya?” tanpa sadar tangan Acha bergerak kembali ke arah kening Ozy, menyentuh perlahan rambut ikal Ozy
“Cha, temenin aku bentar ya…” kata Ozy dengan suara sedikit bergetar.
Acha mengangguk perlahan, sambil terus membelai rambut Ozy. Ozy tersenyum.
“Makasih Cha…” kata Ozy, sebelum menutup matanya. Acha balas tersenyum, melihat wajah itu. Yang nampak begitu damai, meskipun terlihat pucat.
Acha tidak melepaskan pandangannya dari Ozy. Sepertinya Ozy memang benar-benar lelah. Dadanya naik turun dengan teratur, menunjukkan bahwa dia sudah jatuh terlelap. Dengan lembut Acha membetulkan letak selimut Ozy, lalu berdiri perlahan-lahan. Sambil menghela nafas, Acha meraih tasnya, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. Sebelum keluar, Acha menoleh sekali lagi. Memuaskan diri memandangi Ozy yang masih terbaring dengan tenang. Dengan wajah yang menyiratkan kedamaian. Meskipun kedua matanya tertutup, Acha tahu, ada sepasang bola mata yang selalu menyiratkan kehangatan.
Tiba-tiba saja Acha sadar. Bahwa perasaan yang sederhana ini telah tumbuh begitu saja, entah sejak kapan. Mungkin sejak pancaran mata itu menjadi matahari bagi hati Acha. Acha tersenyum pahit, menyesali betapa dia begitu terlambat menggenapkan hati untuk menyadari arti rasa ini. Di saat kata-kata Ozy tadi menjadi pertanda, bahwa dia sudah menarik diri.
Ozy… Akankah kelak dia mengerti?
Acha berbalik, melangkah keluar, dan menutup pintu. Perlahan.
+++
Hah? Masih ngegantung aja??? *nepok jidat sendiri*
Penulis juga kayaknya masih tega aja sama Ozy. Kemaren di JADOJC Part 25 (eh, apa 24 yak?) si Ozy dibikin babak belur karena digampar, disini malah dibikin jatuh sakit.
Emang Ozy sakit apa sih?
Terus kayaknya juga masih ngegantung aja nih si Ozy, padahal kan Acha akhirnya nyadar kalo dia merasa gimanaaaa gitu sama Ozy... *Acha telat banget yak?*
Kira-kira... bakal ngegantung sampe kapan ya?
Moga-moga aja ngegantung sampai Jum'at malem doang ya, waktu Part 26 diposting... ^_^
Haha? Lama? Biarin... hahahaha...
Betewe, sampai sejauh ini, part paling berkesan bagi kalian part berapa sih? Pengen tau niiihhh...
Terus paling suka bagian apanya dari ILYILYN ini?
Kasih tau penulis dooong... Biar inspirasinya ga kering-kering amat..
Thanks ya! Ditunggu lhoooo komentarnya...
Cheers
=Ami=
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~